tirto.id - Di balik jeruji besi, Setya Novanto mengeluarkan surat yang isinya menunjuk Azis Syamsuddin untuk menggantikan dirinya sebagai Ketua DPR. Saat ini, pria yang berasal dari daerah pemilihan Lampung II tersebut bertugas di Komisi III - Hukum, HAM, dan Keamanan.
Menanggapi surat ini, kader Golkar beramai-ramai berkomentar. Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai sekaligus politikus senior Golkar Akbar Tanjung mengatakan bahwa surat tersebut tidak tepat, sebab surat tersebut ditandatangani oleh Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. Padahal, Novanto sudah tidak lagi menjabat. Ia digantikan Idrus Marham selaku Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Golkar.
"Plt sudah Idrus, seharusnya yang tanda tangan ya Idrus. Dia sudah dinyatakan sebagai Plt, berdasarkan persetujuan Setya Novanto juga," kata Akbar, di Jakarta, Minggu (10/12/2017).
Sementara itu, Ketua Gerakan Muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menilai surat tersebut ilegal. DPR, katanya, tidak seharusnya mengabulkan permintaan Novanto.
"Sekarang tinggal kita serahkan ke anggota dewan yang terhormat, apa mereka mau ikut mempermalukan lembaga mereka. Kalau mereka meloloskan keinginan itu, saya tidak tahu bagaimana citra DPR RI di mata publik dan internasional," kata Doli.
Menurut Wakil Ketua MPR, Mahyudin, menunjuk Azis secara tidak langsung berarti Novanto mundur dari posisinya saat ini. Terkait penolakan beberapa anggota Golkar, Mahyidin menilai masalah ini harus ditempatkan dalam konteksnya, yaitu Novanto yang sedang terjerat kasus korupsi.
Dalam kondisi normal, kata dia, mungkin saja Novanto membawa persoalan itu dalam rapat DPP Golkar. "Tapi sekarang kan kondisinya tidak normal. Tidak masalah Novanto menunjuk langsung ketua DPR penggantinya," kata dia.
Ini bukan kali pertama Novanto mengundurkan diri. Ia pernah melakukan hal yang sama dua tahun lalu, ketika terjerat kasus "Papa minta saham". Menteri ESDM saat itu, Sudirman Said, mengatakan bahwa Novanto mencatut nama Presiden Joko Widodo ketika meminta 20 persen saham PT Freeport Indonesia. Rekaman pembicaraan Novanto soal itu lalu diputar dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Ketika itu, Novanto sempat membantah.
Sebelum rapat pleno MKD pada 16 Desember 2015 memutuskan sanksi pemberhentian, Novanto telah terlebih dulu menyatakan pengunduran diri melalui surat. Kursi DPR lalu jatuh ke tangan Ade Komarudin yang juga politikus Golkar.
Saat itu, meme-meme soal "Papa minta saham" bermunculan, seperti ketika Novanto terbaring di RS Premier Jatinegara, atau ketika mobil yang ditumpangi Novanto menabrak tiang listrik dan kepalanya benjol.
Bukan cuma dari publik, tekanan juga muncul dari internal Golkar sendiri, salah satunya dari Jusuf Kalla.
Namun, Akom—panggilan Ade Komarudin—ternyata mengulang apa yang hampir dirasakan Novanto. Akom dipecat sebagai Ketua DPR oleh MKD karena terbukti melanggar etik anggota dewan lewat dua kasus. Satu kasus soal BUMN yang jadi mitra kerja Komisi XI, lainnya soal RUU Pertembakauan.
Pencopotan ini terjadi pada 30 November 2016, saat jabatan itu belum genap setahun diduduki Akom. Siapa yang menggantikannya? Tentu saja Novanto, melalui rekomendasi dari Golkar.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Maulida Sri Handayani