tirto.id - Mantan Ketua DPR Setya Novanto merasa menjadi "anak kos" setelah mendekam di Rumah Tahanan KPK Negara Klas 1 Jakarta Timur cabang Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia juga mengaku punya sejumlah tugas selama di rutan.
"Sekarang kita berbagi (tugas) ngepel, nyapu, nyuci piring, saya bagian cuci piring saja lah," kata Setya Novanto, menjelang sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (25/1/2018).
"Tadi makan supermie, sekarang kan jadi anak kos, sekarang rakyat jelata, makannya sama-sama," tambahnya.
Novanto sudah lebih dari sebulan menghuni rumah tahanan KPK. Ia ditahan sejak 17 November 2017 karena menjadi tersangka kasus korupsi KTP-Elektronik.
"Saya turun (berat badan) dua kilogram, ya namanya anak kos," ungkap Setya Novanto yang saat ini mengenakan batik warna merah yang tampak longgar itu.
Menurut Setya Novanto, selain makanan yang disajikan di rutan KPK, ia juga makan makanan kiriman dari keluarga.
"Menunya ya ganti-ganti tapi kita biasa dapat dari kiriman keluarga kita, lalu saling sharing satu sama lain, sama-sama susah kan," tambahnya. Ia pun mengaku merasa kangen dengan keberadaan istrinya, Deisty Astriani Tagor yang selalu setia hadir dalam persidangannya setiap Senin dan Kamis.
"Ada tuh (Deisty) datang barusan, ya idaman kita semua kan bisa bareng, tapi keadaan kita harus sadari semuanyalah," kata Novanto.
Bahkan ia sempat menceritakan gempa pada Selasa (23/1/2018) dengan kekuatan 6,1 SR.
"Iya berasa gempa, kaget lah, saya pikir saya pusing, penyidiknya yang keluar, kita sih tinggal berdoa saja lah ya," cerita Setya Novanto.
Dalam perkara ini, Setya Novanto diduga menerima 7,3 juta Dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu Dolar AS dari proyek e-KTP. Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, maupun rekan Novanto dan juga pemilik OEM Investmen Pte.Ltd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura, Made Oka Masagung.
Sedangkan jam tangan diterima Novanto dari pengusaha Andi Agustinus dan Direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Novanto telah membantu memperlancar proses penganggaran. Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp2,3 triliun.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri