Menuju konten utama
Byte

Setelah Video, Konten Model Apa yang Akan Meraja?

Setelah sedikit banyak menggeser gelombang radio, arus konten video berbalik: terancam oleh teknologi lain yang lebih mutakhir. Salah satunya VR dan AR.

Setelah Video, Konten Model Apa yang Akan Meraja?
Ilustrasi konten video dan VR. foto/istockphoto

tirto.id - Video adalah raja. Sudah lama ia bertakhta sebagai wujud paripurna dari sebuah konten. Dari film, klip MTV, sampai tutorial TikTok, video menjadi wujud dari evolusi. Video diproduksi dan dikonsumsi sebagai perlambang dari setiap era teknologi.

Kini, teknologi berkembang jauh lebih pesat dari sebelumnya. Oleh karena itu, mungkin sudah waktunya kita mulai bertanya: apa yang akan jadi penguasa setelah era video berakhir nanti?

Kita hidup pada era ketika video bukan lagi sekadar bukti dokumentasi. Video adalah "bahasa". Ia memengaruhi cara kita berdebat, belajar, dan membentuk identitas.

Namun, setiap bahasa punya batasnya. Begitu juga video. Saat batas itu mulai terasa, orang-orang bakal mencari hal yang bisa memberi mereka pengalaman lebih dalam, lebih personal, dan lebih nyata.

Realitas Virtual sebagai Langkah Selanjutnya?

Masuklah realitas virtual (VR) dan realitas berimbuh (augmented reality/AR). Dulu, teknologi ini hanya populer di kalangan gamer dan tech junkie. Sekarang, ia telah menjadi panggung baru dalam urusan metode bercerita.

Studi yang terbit di Journal of Medical Internet Researchmenemukan, pengalaman VR/AR meningkatkan keterhubungan emosional dan membuat kita merasa hadir, benar-benar hadir di dalam cerita.

Penelitian lain yang dipublikasikan oleh ResearchGate bicara soal kemampuan VR dan AR dalam memperluas peran kita. Teknologi tersebut memungkinkan kita memengaruhi akhir dari sebuah cerita; bukan hanya sebagai penonton, melainkan aktor utama di dunia virtual.

Contoh paling simpelnya adalah konser VR. Bayangkan, Anda bisa berdiri di barisan terdepan—dengan keringat, sorakan, dan dentuman bass—tanpa harus meninggalkan ruang tamu. Lalu, dengan AR, jalanan kota yang membosankan bisa menjadi galeri seni yang dapat disentuh, digeser, dan dilihat, dari sudut mana pun. Frasa “dunia berada dalam genggaman Anda” pun seketika tidak lagi menjadi jargon kosong.

Ilustrasi konten video dan VR

Ilustrasi konten video dan VR. foto/istockphoto

Partisipasi Adalah Kunci

Bahkan tanpa kacamata VR sekalipun, interaksi sudah menjadi kata kunci. Itulah alasan keterlibatan di media sosial menjadi metrik emas baru, menggantikan jumlah pengikut dan penyuka. Konten yang bagus berarti konten yang mampu memicu keterlibatan serta interaksi konsumen.

Berpartisipasi dalam sebuah konten sebenarnya bukan konsep baru. Generasi yang tumbuh besar pada dekade 1990-an dan awal 2000-an barangkali familier dengan konsep ini karena, ketika itu, seri novel Goosebumps karya R.L. Stine sudah memperkenalkan seri interaktif dengan jalan cerita bercabang yang diberi titel Give Yourself Goosebumps.

Jika novel Goosebumps biasanya bercerita secara linier, Give Yourself Goosebumps memungkinkan pembaca memilih petualangannya sendiri. Jika Anda memilih A, buka halaman sekian. Jika Anda ingin B, buka halaman lainnya.

Apa yang dilakukan R.L. Stine itu kemudian “ditiru” Netflix ketika mereka meluncurkan Bandersnatch yang cara mainnya mirip dengan Give Yourself Goosebumps. Bedanya tentu saja terkait cara dan medium konsumsinya: kita tidak lagi membolak-balik halaman buku, melainkan menekan tombol remot. Di era digital, langkah Netflix ini terbilang revolusioner.

Selain di dunia hiburan, dunia jurnalisme pun sejatinya sudah mulai mengadopsi konten interaktif. Di sini kita bicara soal laporan panjang yang bukan hanya dibaca, melainkan dijelajahi. Sebuah artikel tentang krisis iklim, misalnya, bisa mengajak Anda menelusuri jejak data emisi dan melihat langsung proyeksi masa depan.

Makalah yang terbit di SAGE Journals menunjukkan bahwa fitur interaktif bermanfaat meningkatkan pemahaman pembaca, terutama ketika isu yang dibahas begitu kompleks.

Dunia yang Dibuat Mesin

Sekarang, coba bayangkan, Anda hanya perlu menulis beberapa kalimat, lalu terciptalah sebuah dunia virtual yang dibuat oleh mesin. Dengan peranti AI generatif, seperti ChatGPT dan Veo 3, menciptakan dunia virtual yang personal sama sekali bukan hal mustahil.

Di situ, Anda bisa berperan ganda, sebagai pengarah cerita sekaligus pembaca. Anda bisa mengkreasi karakter yang Anda inginkan, dunia dambaan Anda, lalu meminta mesin menghidupkannya dalam layar ponsel atau komputer.

Pasar untuk produk semacam itu tidak main-main. Laporan terbaru memprediksi nilai pasar konten imersif akan melampaui 56 miliar dolar pada 2030. Itu bukan sekadar tren, melainkan panggung baru yang menunggu dihidupkan.

Tentu saja ada pro dan kontra terkait “karya” yang ditelurkan oleh mesin AI. Selain itu, impak terhadap lingkungan juga menjadi persoalan tersendiri. Akan tetapi, suka tidak suka, AI memang berkapabilitas untuk menyediakan itu semua bagi kita.

Radio Killed the Video Star?

Meskipun video adalah raja, sebenarnya tidak jarang pula konten berbasis video tidak dinikmati dengan cara ditonton, melainkan hanya didengarkan. Konten berupa cerita, esai, dan siniar, misalnya, pada dasarnya memang tidak membutuhkan tampilan visual untuk bisa hidup karena esensinya adalah suara.

Konten berupa suara tidak pernah mati, sebab ia bisa dinikmati saat melakukan aktivitas lain, mulai dari memasak, bersih-bersih rumah, bekerja, bahkan saat berkendara.

Ilustrasi Radio

Ilustrasi Radio. foto/istockphoto

Apakah nantinya “radio” akan berbalik mematikan konten berupa video? Mungkin saja. Digitalisasi bukanlah sesuatu yang ramah untuk mata. Paparan konstan cahaya biru membuat mata mesti sering-sering diistirahatkan. Di sisi lain, dengan mata terpejam sekalipun, konten audio masih bisa dinikmati. Lebih-lebih lagi, sifat konten audio yang, menurut teori Marshall McLuhan, merupakan “media dingin”, alias media yang membutuhkan imajinasi untuk bisa dicerna secara penuh, membuatnya punya kekuatan tersendiri.

Selain cerita, esai, atau siniar, konten-konten audio berupa white noise juga belakangan makin diminati karena dinilai bermanfaat banyak, mulai dari meningkatkan konsentrasi sampai membantu seseorang agar tidur lebih cepat dan nyenyak. Per 2022 silam, nilai pasar konten ini sudah mencapai 1,39 miliar dolar AS. Pada 2030 nanti, diperkirakan nilai pasarnya bisa menembus angka 2,25 miliar dolar AS, menurut Grand View Research.

Teks Tak Pernah Pergi

Jika Anda perhatikan, di media sosial seperti TikTok dan Instagram, yang sejatinya merupakan platform untuk konten visual berupa foto atau video, teks sebenarnya tidak pernah benar-benar pergi. Entah di dalam gambar, video, ataupun di takarir, teks selalu eksis.

Di media sosial X, yang memang berbasis teks, utas-utas masih ramai dinikmati. Bahkan, salah satu pemantik awal popularitas film Indonesia terlaris sepanjang masa adalah konten berupa teks.

Di tengah dunia yang, konon, dikuasai oleh video dan gambar bergerak, rangkaian huruf dan kata tak pernah kehilangan kekuatan. Platformnya mungkin bakal senantiasa berubah. Mediumnya juga mungkin bakal terus berganti. Akan tetapi, konten berupa teks bakal selalu memiliki tempat yang tak tergantikan.

Mengapa? Karena teks tidak tergesa-gesa. Teks akan selalu ada untuk menuntun manusia memahami konteks yang terlewat. Teks akan selalu ada untuk menjelaskan duduk perkara secara komprehensif. Teks senantiasa memberi ruang bagi pembaca berhenti sejenak untuk memahami lebih dalam hal yang terjadi di sekitar.

Konten Transmedia

Video adalah raja dan, sebenarnya, memprediksi jenis konten macam apa yang bakal jadi suksesornya masih sangat sulit dilakukan. Namun, ada satu hal yang pasti. Hasrat untuk lebih terlibat dalam sebuah narasi tidak akan pernah mati. Keterlibatan dalam narasi itu bisa diwujudkan dalam beberapa wujud seperti, konten virtual, konten interaktif, serta penciptaan dunia personal dengan bantuan AI.

Di sisi lain, kelelahan digital bisa mendorong terjadinya evolusi popularitas konten. Ada kalanya ketika kita bakal kelelahan menggunakan lebih dari satu pancaindra untuk mengonsumsi dan mencerna sebuah konten. Di saat itulah konten yang lebih sederhana dari masa lalu, misalnya konten berbasis audio dan teks, bisa menyeruak ke puncak popularitas lagi.

Lantas, apakah dengan demikian video serta merta bakal ditinggalkan? Tentu tidak. Rasanya, masa depan dari konten itu sendiri tidak akan tertumpu pada satu jenis saja, melainkan saling melengkapi dan saling menyokong satu sama lain. Oleh karenanya, jangan heran apabila di masa depan nanti makin banyak kreator konten yang memproduksi konten transmedia.

Sejumlah kreator konten, misalnya RJL 5, sudah melakukan itu. Tak hanya memiliki kanal YouTube, dia juga menerbitkan buku. Hal serupa dilakukan oleh YouTuber kondang asal AS, Mr. Ballen. Hal yang mereka lakukan ini pun bukan hal baru karena waralaba besar macam Star Wars dan LEGO pun sudah lama melakukannya. Bedanya, kini produksi konten transmedia itu bisa dilakukan oleh individu, sebab teknologi sudah memungkinkannya.

Baca juga artikel terkait INOVASI TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Byte
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin