tirto.id - Jika Anda berpikir bahwa AI (artificial intelligence/kecerdasan buatan) yang Anda gunakan saat ini sudah begitu canggih, Anda tidak salah. Faktanya, berbagai platform AI yang tersedia kini memang telah mampu menghasilkan output yang luar biasa, mulai dari gambar, video, tulisan, bahkan kode untuk pemrograman.
Akan tetapi, perlu dicatat baik-baik bahwa kemampuan AI yang eksis saat ini sama sekali belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan potensi yang mampu ia capai. Jika Anda penasaran dengan apa yang mampu dilakukan AI setelah ChatGPT, Grok, dan semacamnya, Anda bisa mulai tengok apa yang dilakukan Google dengan proyek AI-nya, Gemini.
AI yang banyak tersedia saat ini pada dasarnya adalah asisten yang patuh kepada majikannya. Apa pun yang Anda minta, asal tidak melanggar rambu-rambu yang ditetapkan pengembang, AI akan melaksanakannya. Ia tidak bisa berinisiatif, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, dan tidak bisa membuat rencana apa pun. Namun, tak lama lagi, itu semua akan berubah.
Dalam fase terbaru pengembangan Gemini, Google memperkenalkan AI yang bisa mengambil inisiatif sendiri. AI ini disebut Agentic AI. Setelah diberikan tujuan, sistem ini tidak hanya menghasilkan respons, tetapi juga menentukan cara mencapainya, menavigasi berbagai langkah, melakukan penyesuaian yang diperlukan, dan mengeksekusi tindakan dengan minim intervensi manusia.
Apa yang Membuat AI Menjadi "Agentic"?
AI tradisional bersifat reaktif. Anda memberikan perintah, dan AI merespons. Tidak ada perencanaan, strategi, atau penjelasan tentang proses, kecuali diminta secara eksplisit. Hubungan ini bersifat linier dan satu arah.
Sementara Agentic AI membawa penyelesaian tugas ke level yang berbeda. Jika AI tradisional membutuhkan prompt atau perintah di setiap langkah penyelesaiannya, Agentic AI bisa berinisiatif untuk mengambil langkah-langkah sendiri.
Ia bisa berpikir secara terstruktur, bahkan berubah pikiran apabila ia "merasa" ada jalan lain yang bisa ditempuh. Hasilnya pun bukan output biasa, melainkan output yang sudah melalui berbagai langkah berpikir layaknya makhluk berkesadaran.
Proyek eksperimental seperti AutoGPT dan BabyAGI yang sama-sama diluncurkan pada 2023, telah memulai langkah menuju Agentic AI. Anda bisa memerintahkan AutoGPT untuk "membuat rencana pemasaran", misalnya, dan ia akan memecahnya menjadi sub-tugas, mencari informasi di situs web, menyusun email, menganalisis data, dan melakukan iterasi. Proyek lain seperti Devin dari Cognition bahkan diklaim mampu membuat program secara penuh hanya dengan berbekal prompt yang berisikan goal atau tujuan.

ilustrasi Agentic AI. foto/istockphoto Misi "Agentifikasi" AI Google
Pada awal 2025, Google mulai mengintegrasikan model AI-nya, Gemini, langsung ke dalam Chrome. Peluncurannya dilakukan secara sederhana, hampir tanpa sorotan publik. Namun, implikasinya sangat besar.
Dengan terintegrasinya Gemini, pengguna dapat meminta Chrome untuk merangkum artikel panjang, mengekstrak poin-poin penting dari tab yang terbuka, bahkan menafsirkan konten video yang disematkan.
Tampilan antarmukanya memang sederhana, tetapi kemampuannya sangat canggih. Gemini tidak hanya menunggu pengguna menempelkan tautan atau menyalin teks. Ia bisa memahami konteks, menjangkau antartab, dan membuat inisiatif yang biasanya memerlukan prompt tambahan langkah dari pengguna.
Tak sampai di situ, Google pun kemudian memperkenalkan sebuah fitur bernama Deep Research (Riset Mendalam) ke platform Gemini. Fitur ini memang tidak bisa diakses langsung via Chrome. Pengguna mesti membuka langsung website Gemini atau menggunakan aplikasinya untuk mengakses fitur ini.
Berbeda dengan AI kebanyakan yang biasanya cuma memberikan satu respons sesuai prompt atau perintah, Deep Research milik Gemini mampu menjelajahi hingga ratusan sumber situs web, mengumpulkan temuan-temuannya, melakukan verifikasi silang (cross reference), dan memberikan respons final berupa jawaban komprehensif.
Menariknya lagi, di fitur ini, Anda bisa secara detail menelaah langkah-langkah apa saja yang dilakukan Gemini, lengkap dengan rasional yang mendasari pengambilan langkah tersebut.
Kendati fitur-fitur tersebut sudah bisa dinikmati pengguna Gemini sejak awal 2025, baru pada Mei ini Google benar-benar mengumumkan rencana besarnya. Dalam acara I/O 2025-nya, Google resmi memperkenalkan Agent Mode.
Dengan Agent Mode, Gemini tidak lagi hanya berfungsi sebagai chatbot atau asisten pencarian. Google benar-benar serius mengembangkan Gemini menjadi "agen" yang bisa menjalankan tugas secara mandiri layaknya seorang asisten pribadi. Google berniat menjadikan Gemini untuk memiliki kapabilitas seperti mengatur jadwal seseorang, mengirimkan email, merencanakan workflow, bahkan mengeksekusi perintah di dalam ekosistem produk Google.
Di sini, Google tidak sendirian. Berbagai framework AI open-source seperti LangGraph, CrewAI, Composio, dan LlamaIndex juga telah mengembangkan teknologi serupa. Para pengembang diberikan alat untuk menciptakan agen-agen skala kecil yang bisa beroperasi sendirian atau secara kolaboratif untuk memenuhi kebutuhan pengguna.
Bisa dikatakan, ini adalah sebuah era baru dari dunia digital di mana platform-platform yang tersedia tidak hanya menunggu instruksi tetapi juga mampu bertindak secara mandiri. Platform-platform ini benar-benar menjadi wakil sang pengguna di dunia maya.

Risiko dan Persolan Etika
Sepintas, Agentic AI menawarkan kenyamanan dan kemudahan yang tiada duanya. Siapa yang tidak ingin semua aktivitasnya bisa diselesaikan oleh AI hanya dengan sekali perintah?
Meski begitu, risiko senantiasa mengintai. Sebab, yang membuat Agentic AI begitu canggih, yaitu otonominya, adalah hal yang juga membuatnya jadi sulit dikontrol.
Siapa yang bisa mencegah AI tersebut menempuh langkah-langkah tidak etis? Siapa yang bertanggung jawab apabila hasil yang dicapai tidak sesuai harapan? Siapa yang bisa dipersalahkan seandainya Agentic AI ini bertindak di luar batas, sampai-sampai katakanlah, memanipulasi kebenaran?
Contoh gampangnya, apabila kita meminta AI untuk mempersiapkan liburan, lalu ia memesan tiket kereta atau pesawat serta hotel yang jauh di luar anggaran, siapa yang akan bertanggung jawab atas eror tersebut? Kekhawatiran akan hal ini sebenarnya sudah pernah diangkat dalam sebuah film fiksi ilmiah berjudul Afraid (2025) yang dibintangi Katherine Waterston dan John Cho. Hasilnya adalah AI yang bisa bermain tuhan dan justru membelenggu serta membahayakan manusia.
Lalu, apakah ini semua bisa diregulasi? Jawabannya tentu saja bisa. Akan tetapi, mesti diakui bahwa regulasi selalu datang terlambat, utamanya ketika sudah ada suatu kejadian yang benar-benar menghebohkan. Saat ini saja masih banyak pemerintah yang gagap menghadapi AI tradisional. Bayangkan betapa kelimpungannya mereka menghadapi AI yang bisa berinisiatif.
Akan tetapi, beginilah realitasnya. Perusahaan-perusahaan seperti Google tidak akan menunggu regulasi untuk melakukan inovasi. Realitasnya, Agentic AI sudah ada di hadapan kita. Realitasnya, Agentic AI memiliki potensi untuk menjadi kekuatan yang mengerikan. Dan rasa-rasanya, yang bisa mencegah Agentic AI untuk bertindak semau mereka hanyalah iktikad baik, baik dari pengguna sendiri maupun dari para pengembangnya.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































