Menuju konten utama

Setahun Prabowo-Gibran: Ambisi Mandiri Energi Minim Partisipasi

Minimnya partisipasi swasta dalam kebijakan swasembada energi bisa berdampak pada kelangsungan banyak bisnis, terutama sektor pengolahan energi.

Setahun Prabowo-Gibran: Ambisi Mandiri Energi Minim Partisipasi
Petugas bersiap melakukan pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax Green 95 saat peluncuran BBM tersebut di SPBU MT Haryono, Jakarta, Senin (24/7/2023). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.

tirto.id - Ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai ketahanan energi nasional tak main-main. Demi menekan impor bahan bakar minyak (BBM) dan mengurangi ketergantungan terhadap suplai minyak mentah dari negara lain, Kepala Negara memberi lampu hijau bagi sejumlah langkah ambisius yang akan dijalankan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Salah satu langkah tersebut adalah mandatori penggunaan 10 persen etanol sebagai campuran BBM, yang disampaikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia kepada media baru-baru ini.

Secara garis besar, langkah ini sebenarnya sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencapai indeks ketahanan energi, yang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 skornya ditargetkan naik dari 6,64 pada 2024 menjadi 6,77 pada 2025, lalu melonjak hingga 6,95 pada 2029.

Terlebih, jika menengok laporan World Energy Council (WEC) 2023, skor ketahanan energi Indonesia dalam World Energy Trilemma Index kalah jauh dibandingkan negara-negara Asia Tenggara. Dengan poin 66,4, Indonesia menempati posisi ke-58 dari 99 negara—jauh di bawah Singapura di posisi ke-31, Malaysia pada peringkat ke-35, serta Vietnam di rangking ke-56.

Kondisi ini tak tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak mentah dan BBM. Skor Indonesia atas energy security berada di angka 66,4 dan tak banyak mengalami perubahan sejak tahun 2.000 yang berada di angka 63,99. Sementara pada periode sama, Malaysia mengalami peningkatan dari 55,92 ke 66,54 dan Singapura dari 25,4 ke 38,9.

Jika tak diatasi, menurut WEC dalam laporannya, permintaan energi domestik yang terus meningkat bisa membuat Indonesia berpotensi menjadi pengimpor bersih energi dalam beberapa tahun ke depan.

Meski demikian, program blending senyawa organik hasil fermentasi tumbuhan ke dalam bensin tersebut bukan barang baru. Jika dirunut ke belakang, gagasan ini juga sempat mencuat pada era pemerintahan Joko Widodo, ketika Luhut Binsar Pandjaitan masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Bedanya, narasi Luhut atas penggunaan bioetanol saat itu adalah pengurangan polusi kendaraan bermotor.

Dengan campuran etanol, kandungan sulfur pada BBM—yang ia sebut sebagai salah satu penyebab ISPA—dapat ditekan. “Pembayaran BPJS untuk penyakit tersebut bisa kita hemat sampai Rp38 triliun,” sebut Luhut dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, Selasa (9/7/2025).

Problemnya, ongkos realisasi kebijakan tersebut tak murah. Bahan baku bioetanol bisa menyedot biaya lebih besar dibandingkan impor solar, karena ketersediaan bahan bakunya di dalam negeri masih terbatas. Pasokan komoditas seperti tebu, aren, singkong, sorgum, dan jagung yang menjadi penopang utama program ini masih menghadapi masalah berulang di sisi hulu: mulai dari gagal panen hingga biaya tanam yang tinggi.

Hingga saat ini, berdasarkan data Pertamina New & Renewable Energy (NRE), kapasitas produksi bioetanol per tahun hanya mencapai sekitar 63 ribu kiloliter. Padahal, untuk memenuhi target campuran 10 persen, kebutuhan etanol diperkirakan melonjak menjadi 1 miliar liter per tahun pada 2029-2030.

Kondisi tersebut, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Migas dan Energi Baru Terbarukan (Aspermegas) Moshe Rizal, menggambarkan ketergesa-gesaan pemerintah dalam menetapkan mandatori campuran 10 persen etanol ke dalam bensin

“Produksi etanol kita saat ini tidak sampai ke level itu. Kebijakan 10 persen ini luar biasa dan tidak bisa dipaksakan begitu saja,” kata Moshe saat dihubungi Tirto, Kamis (16/10/2025). “Kalau tiba-tiba semua BBM wajib mengandung 10 persen etanol, dampaknya besar ke masyarakat, ke industri, dan juga ke SPBU swasta yang harus menyesuaikan formula bahan bakarnya.”

Di samping itu, hemat Moshe, E10—campuran etanol 10 persen—juga tidak serta-merta lebih ramah lingkungan seperti yang sering disebutkan pemerintah. Proses produksi etanol dari bahan baku seperti tebu dan singkong justru berpotensi menghasilkan emisi tinggi serta mendorong deforestasi.

“Produksi etanol memang bisa diperbarui, tapi tidak selalu sustainable. Produksi 7.000 liter saja butuh satu hektare lahan. Kalau untuk kebutuhan nasional 10 persen, lahan yang dibutuhkan bisa lebih luas dari Pulau Bali,” ujarnya. “Akhirnya hutan lagi yang dibabat.”

Ia juga menyoroti minimnya partisipasi pihak swasta dalam pembahasan rencana ini oleh Kementerian ESDM. Padahal, kebijakan etanol 10 persen, memiliki dampak besar bagi kelangsungan bisnis banyak perusahaan.

Jika kebijakan ini dipaksakan dan dilakukan tanpai kajian menyeluruh, ia khawatir risiko penambahan beban investasi bagi industri pengolahan energi tak bisa dimitigasi. “Kalau mau membangun kilang etanol, biayanya bisa miliaran dolar. Kita saja masih terseok-seok membangun kilang minyak, apalagi kilang etanol yang juga butuh lahan perkebunan bahan baku,” tambah Moshe.

Apa yang disampaikan Moshe tak berlebihan. Analisis serupa muncul dalam laporan “Menjalankan Kembali Program Bioetanol di Indonesia: Usulan Strategi dan Roadmap” yang disusun Tim Studi Bioetanol Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2022.

Studi itu menegaskan bahwa kapasitas produksi bioetanol nasional saat ini baru cukup untuk campuran E1, atau sekitar satu persen dari total kebutuhan bensin nasional. Dengan konsumsi bensin mencapai 36 juta kiloliter per tahun, kapasitas 400 ribu kiloliter etanol jelas tak cukup menopang E10. Target produksi 2,2 juta kiloliter etanol pada 2025 untuk program E5 saja dinilai belum realistis.

Tim ITB merekomendasikan agar pemerintah memulai program secara bertahap dengan memperkenalkan lebih masif “Pertamax E5”—yakni bensin dengan 5 persen campuran etanol yang memiliki kualitas setara Pertamax (RON 91), terutama di Surabaya, di mana sebagian besar pabrik etanol mutu gasohol berada. Pendekatan bertahap itu dinilai lebih rasional, memberi waktu memperluas kapasitas produksi, serta menyiapkan rantai pasok dan infrastruktur pendukung.

Selain tebu dan singkong, studi ITB juga mengajukan sumber bahan baku alternatif dari batang sawit tua hasil peremajaan kebun. Setiap tahun, sekitar 640 ribu hektare kebun sawit di Indonesia diremajakan, dengan potensi hasil bioetanol mencapai 5,6 juta kiloliter per tahun—cukup untuk memenuhi kebutuhan E5 nasional. Namun untuk E10, pemanfaatannya harus mendekati 100 persen, sesuatu yang sulit dicapai karena lokasi peremajaan kebun yang berpindah-pindah dan kebutuhan teknologi ekstraksi yang belum mapan.

Mengingat kondisi tersebut, Moshe menyarankan agar pemerintah membuka ruang bagi pasar untuk menentukan sendiri kesiapan adopsi etanol, bukan dengan pendekatan paksaan. “Kalau Pertamina mau mulai lebih dulu, silakan. Tapi masyarakat harus tetap punya opsi. Jangan dipaksakan semua harus ikut,” ujarnya.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menilai pemerintah perlu menerapkan kebijakan pencampuran etanol secara hati-hati dan komprehensif agar tidak memicu kenaikan harga pangan akibat peralihan bahan baku ke sektor energi.

“Kalau etanol itu kan bisa dari berbagai tanaman, tidak hanya tebu. Jadi potensi gangguannya ke pangan lebih kecil dibanding sawit untuk B40,” ujar Fahmy. “Tapi tetap, penerapannya jangan dipaksakan. Biarkan pasar yang memilih. Di Amerika, misalnya, SPBU menyediakan berbagai kadar campuran etanol, dan konsumen bebas memilih.”

Fahmy menambahkan, etanol memang terbukti dapat meningkatkan angka oktan bahan bakar sehingga lebih ramah lingkungan. Namun, kadar 10 persen belum cukup memberikan dampak besar terhadap kualitas udara. “Diversifikasi seperti E10 dan B40 baru akan terasa dampaknya jika dijalankan secara simultan dan konsisten,” katanya.

Selain itu, ia menyoroti perlunya komunikasi publik yang kuat untuk mendorong kesadaran konsumen. “Harga BBM beretanol pasti lebih mahal karena pencampurannya menambah cost of production. Jadi, pemerintah harus bisa menjelaskan ke masyarakat bahwa mereka membayar lebih untuk energi yang lebih bersih,” tutur Fahmy.

Sementara itu, untuk mengatasi masalah ketersediaan pasokan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan bahwa Kepala Negara telah memerintahkan jajarannya mengembangkan perkebunan energi khusus bahan baku etanol. Program itu rencananya akan beriringan dengan pembukaan hutan seluas 481.000 hektare di Wanam, Merauke, Papua Selatan, yang telah masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) di bidang pangan, energi, dan pertahanan.

“Baru saja kami ditargetkan Bapak Presiden untuk tanam ubi kayu, singkong, dan sejenisnya,” ujarnya di Istana Negara, Kamis (9/10/2025).

Baca juga artikel terkait BIOETANOL atau tulisan lainnya dari Hendra Friana & Natania Longdong

tirto.id - Insider
Reporter: Natania Longdong
Penulis: Hendra Friana & Natania Longdong
Editor: Hendra Friana