tirto.id - "KUKIRA OBAT, TERNYATA RACUN #TRAGEDIOBATBERACUN".
Demikian tulisan pada kaus hitam yang dikenakan oleh para orang tua korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA).
Saat itu, Senin (16/10/2023), mereka tengah hadir dan meramaikan satu tahun persidangan class action kasus gangguan ginjal akut kepada pemerintah, perusahaan farmasi, hingga penyalur obat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Salah satu yang hadir yakni Soliha (37), orang tua dari Azkiara Anindita Nuha, korban GGAPA yang meninggal dunia pada 16 Oktober 2022 akibat keracunan obat paracetamol dari PT. Afi Farma.
“Tepat hari ini (16/10/2023), satu tahun anak saya usia 3 tahun 8 bulan meninggal, Mas,” kata Soliha kepada Tirto di lokasi.
Kuasa hukum yang mewakili 41 korban gangguan ginjal akut, Siti Habiba mengatakan pada persidangan hari ini, para tergugat menyerahkan administratif beserta bukti medis. Para tergugat yakni Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan PT. Afi Farma.
Sejumlah item yang diberikan: Kartu Keluarga (KK); KTP; Akta Kelahiran & kematian; hasil lab darah terdapat Cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG), hingga hasil laboratorium urine yang mengandung urium kreatin yang tinggi.
“Ada beberapa keluarga korban yang secara spesifik menulis jika obat paracetamol dari PT Afi Farma. Resume medis dari RSCM dia mengidap gagal ginjal dan sudah terkonfirmasi sejak diagnosa utama,” kata Habiba kepada Tirto di lokasi.
Ia menjelaskan gugatan perdata yang dilyangkan yaitu menuntut tergugat ganti rugi kepada para korban. Sebesar Rp3,4 miliar untuk korban yang meninggal dan Rp2,1 miliar untuk anak yang masih rawat jalan.
Penggugat juga meminta agar pemerintah mereformasi sistem kesehatan. Seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara tegas menyatakan jika EG dan DEG tidak diperbolehkan lagi sebagai campuran dalam obat sirup. Lalu Kemenkes dan BPOM tak boleh lalai meloloskan obat beracun.
Habiba bercerita jika beberapa waktu lalu para tergugat melayangkan eksepsi ke PN Jakarta Pusat. Tergugat berdalih jika penggugat salah alamat jika melayangkan gugatan ke PN Jakarta Pusat. Seharusnya pihak yang berwenang yakni Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena pemerintahlah sebagai pihak tergugat.
“Padahal kalau kita gugatan perdata dan penuntutan ganti rugi kepada korban, jadi sudah tepat di sini (PN Jakarta Pusat). Jadi syukur hakim objektif. Masa sudah satu tahun diproses malah ditolak gugatannya, enggak mungkin kan, proses sudah panjang,” tegas dia.
Habiba, berdasarkan pengakuan orang tua korban yang masih rawat jalan dengan kondisi kesehatan yang memburuk dan korban yang meninggal dunia, 41 kliennya yang merupakan korban gangguan ginjal akut sama sekali belum mendapatkan bantuan maupun santunan dari pemerintah.
Empat di antaranya adalah Resty (27), orangtua Rayvan Aji Pratama (2)”; Septiani Julia Sari (30), orangtua Alvaro Fidelis Sulu (5); dan Sri Wahyuningsih (40), orangtua Mahardika Ramadhan (5). Kemudian Soliha (37), orangtua dari Azkiara Anindita Nuha (3), korban GGAPA yang meninggal dunia.
Resty mengaku tidak ada sama sekali pihak dari pemerintah yang berkunjung ke rumahnya untuk melihat kondisi sang buah hati.
Sementara Septi mengeluh selama ini belum ada sama sekali kunjungan dari pemerintah ke rumahnya maupun bantuan pengobatan untuk Alvaro, anaknya.
"Nggak ada bantuan, apaan pemerintah. Pemerintah cuma ngomong doang. Kesel, nggak peduli (Pemerintah)," tegasnya.
Habiba berharap keluarga korban bisa mendapat hak mereka yang seadil-adilnya.
“Karena apa yang diderita mereka akibat ketidak kompetenan, harus dikuatkan lagi pengawasannya (Pemerintah),” pungkasnya.
Selain di PN Jakarta Pusat, persidangan kasus gangguan ginjal akut juga berlangsung di Pengadilan Negeri Kota Kediri, Jawa Timur. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan, dalam dokumen persidangan bahwa dua batch propilen glikol yang diterima PT. Afi Farma dari Oktober 2021 hingga Februari 2022 untuk bahan baku obat sirop, mengandung 96% hingga 99% zat etilen glikol.
Etilen glikol dan propilen glikol sama-sama berfungsi sebagai zat tambahan untuk pelarut. Namun, propilen glikol merupakan zat yang tidak beracun sehingga banyak digunakan dalam obat, kosmetik dan makanan. Sedangkan etilen glikol bersifat beracun yang biasanya digunakan untuk cat, pulpen, dan cairan rem. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan batas aman untuk EG dan DEG adalah 0,1%. Standar ini diadopsi oleh Farmakope pada tahun 2020.
Atas kasus tersebut, Direktur Utama PT Afi Farma, Arief Prasetya Harahap (Terdakwa 1), dituntut 9 tahun penjara. Sedangkan tiga terdakwa lainnya yaitu Nony Satya Anugrah (Terdakwa 2), Aynarwati Suwito (Terdakwa 3) dan Istikhomah (Terdakwa 3) dituntut masing-masing 7 tahun penjara dan menjatuhkan pula pidana denda terhadap para terdakwa sebesar Rp 1.000.000.000 subsidair enam bulan kurungan sebagaimana tuntutan 4 terdakwa itu sesuai dengan dakwaan pertama, yakni, Pasal 196 juncto (jo) Pasal 98 ayat (2) dan (3) UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Dalam perkara kasus ini, Bareskrim juga telah menetapkan empat orang dan lima korporasi sebagai tersangka. Empat orang itu adalah Endis (E) alias Pidit (PD) selaku Direktur Utama CV Samudera Chemical dan Andri Rukmana (AR) selaku Direktur CV Samudera Chemical, Direktur Utama CV Anugrah Perdana Gemilang (APG), Alvio Ignasio Gustan (AIG) dan Direktur CV APG, Aris Sanjaya (AS).
Kemudian, lima korporasi tersangka adalah PT Afi Farma, CV Samudera Chemical, PT Tirta Buana Kemindo, CV Anugrah Perdana Gemilang, serta PT Fari Jaya Pratama. Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebelumnya juga telah menetapkan dua perusahaan sebagai tersangka yaitu PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Temuan TPF BPKN
Pada saat kasus tersebut mencuat, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) membentuk Tim Pencari Fakta untuk menginvestigasi kasus tersebut. Ketua BPKN, Rizal E Halim mengatakan erdapat delapan temuan soal gagal ginjal akut.
Pertama, ditemukan ketidakharmonisan komunikasi dan koordinasi antar instansi di sektor kesehatan dan farmasi dalam penanganan lonjakan kasus gangguan ginjal akut. Kedua, terdapat kelalaian otoritas sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran obat. BPKN menyimpulkan ada kelalaian instansi dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran produk obat.
Ketiga, penindakan oleh penegak hukum yang dilakukan kepada industri farmasi tidak transparan. BPKN menilai ada ketidakadilan karena ada korporasi yang sudah jadi tersangka dan belum. Keempat, tidak ada protokoler khusus penanganan krisis terkait persoalan darurat di sektor kesehatan seperti lonjakan kasus GGAPA.
Kelima, belum ada kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah. Keenam, belum ada pemberian ganti rugi kepada korban GGAPA dari pihak industri farmasi. BPKN menyebut pihak industri farmasi belum ada tanda-tanda memberikan ganti rugi terhadap korban gangguan ginjal akut. Ketujuh, nahan kimia EG dan DEG merupakan termasuk kategori berbahaya bagi kesehatan.
“Terakhir kedelapan, belum dilibatkan instansi lembaga perlindungan konsumen dalam permasalahan sektor kesehatan karena korbannya konsumen,” kata Rizal kepada Tirto, Senin (17/10/20230).
Sementara itu Ketua TPF BPKN, Muhammad Mufti Mubarok menambahkan, dalam investigasinya, ia mengatakan jumlah korban bukan 326 pasien. Tetapi berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), jumlah korban mencapai 1.200 lebih.
Ia mengkritisi peran BPOM yang tidak mengawasi pemberian certificate of analysis (COA), cara pembuatan obat yang baik (CPOB), dan syarat administratif lainnya. Tetapi, malah berkilah dan menyalahkan industri perdagangan.
“Kemudian dalam industri farmasi, hanya beberapa perusahaan saja yang ditindak, sementara perusahaan raksasa tidak tersentuh. Itu temuan kami yang menarik kalau digali,” kata Mubarock kepada Tirto, Jumat (20/10/2023).
Kemudian ia menyatakan jika perusahaan farmasi, penyalur obat, hingga pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan BPOM telah melanggar Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha harus bertanggung jawab terhadap para konsumennya.
Atas dasar itu, ia mengatakan BPKN memberikan empat rekomendasi kepada Presiden Jokowi. Pertama, sebagai bentuk empati dan simpati terhadap korban gagal ginjal akut, pemerintah dan industri farmasi harus memberi santunan dan kompensasi bagi korban. Pasalnya, ada korban yang telah meninggal dunia, dan ada juga korban yang masih mendapat perawatan meski sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit.
Kedua, BPKN meminta pemerintah menugaskan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan atau BPKP untuk melalukan audit secara menyeluruh dari terkait pengawasan dan peredaran produk obat-obatan. Termasuk penggunaan bahan baku pada obat di sektor farmasi.
Ketiga, BPKN meminta pemerintah melalui kepolisian untuk menindak tegas seluruh pihak yang bertanggung jawab dan terlibat terkait kasus gagal ginjal akut ini. Bahkan, polisi harus melakukan pengembangan kasus sehingga publik bisa tahu kasus gagal ginjal akut secara terang benderang.
"Empat, karena persoalan kesehatan ini menyangkut keselamatan publik yang sangat luas, untuk menjadi pemenuhan hak publik secara umum diperlukan penguatan lembaga yang melindungi konsumen secara mandiri," pungkasnya.
Saat kasus GGAPA tempo lalu mencuat, Ombudsman RI juga telah menyatakan Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin terbukti melakukan maladministrasi terkait dengan penanggulangan kasus gangguan ginjal akut pada anak.
Mulai dianggap melakukan penyimpangan prosedur, tidak kompeten dalam pengendalian penyakit tidak menular dengan pendekatan surveilan faktor risiko, hingga karena tidak menetapkan kasus gangguan ginjal akut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Selain itu, Ombudsman RI menyatakan Kepala BPOM, Penny Lukito terbukti melakukan maladministrasi karena terjadi penyimpangan prosedur dan tidak kompeten.
"BPOM RI tidak optimal dalam mengawasi kegiatan farmakovigilans dan kepatuhan industri farmasi terhadap aturan farmakovigilans yang baik," kata anggota Ombudsman Republik Indonesia, Robert Na Endi Jaweng di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Kamis (14/12/2022).
Komisioner Komnas HAM RI, Putu Elvina menyampaikan terdapat sejumlah pelanggaran HAM dalam kasus gangguan ginjal akut. Seperti beberapa hak yang tidak terpenuhi, antara lain hak untuk hidup, hak atas kesehatan, hak anak, dan hak memeroleh keadilan.
Putu mendorong jaminan terhadap akses untuk mendapatkan kesehatan secara optimal. Kemudian juga memberikan bantuan serta santunan terhadap para korban GGAPA.
“Negara mencantumkan dalam regulasi, hak atas kesejahteraan termasuk hak atas jaminan sosial. Kalau negara gagal memenuhi jaminan sosial, artinya pada saat pihak yang paling bertanggung jawab lepas tangan. Bicara soal kesejahteraan, jaminan sosial, itu diatur dalam undang-undang, maka tidak ada alasan untuk mengingkari mandat tersebut,” kata Putu melalui keterangan tertulisnya, Rabu (29/3/2023).
Pemerintah Klaim Siapkan Bantuan
Menteri Koordinator Pemberdaya Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy mengatakan jika bantuan dan santunan kepada 326 korban gangguan ginjal akut, baik yang rawat jalan maupun meninggal akan segera diberikan. Hampir seluruh prosedur pun, kata dia, sudah dipenuhi.
"Bapak Presiden sudah memberi persetujuan dalam rapat internal dua minggu yang lalu. Risalah rapat sudah diterbitkan oleh Seskab. Daftar pihak yang terdampak sudah diberikan oleh Kemenkes ke Kemensos," kata Muhadjir kepada Tirto, Selasa (17/10/2023).
Menteri Sosial (Mensos), Tri Rismaharini mengatakan pihaknya telah diminta untuk menyalurkan bantuan dan santunan kepada korban gangguan ginjal akut sebesar Rp19 miliar lebih. Ia pun mengaku telah bersurat ke Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani perihal anggaran tersebut.
Namun, ia tak merinci berapa besaran biaya yang akan diberikan kepada korban GGAPA yang masih rawat jalan maupun telah meninggal dunia.
"Seingat saya beda (Besaran bantuan untuk korban rawat jalan dan meninggal). Kalau enggak salah kisarannya, hitungannya ada," kata Risma di Kantor Kemensos RI, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2023).
Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI), Siti Nadia Tarmizi mengklaim jika untuk seluruh pengobatan telah dicover oleh BPJS.
Terkait obat khusus yang tidak dicover oleh BPJS, Nadia menegaskan jika seluruhnya seharusnya telah ditanggung.
"Bisa menyampaikan secara tertulis terkait ini ke Kemenkes atau rumah sakit yang bersangkutan. Nanti akan dikonfirmasi ke BPJS," kata Nadia kepada Tirto, Rabu (25/10/2023).
Kuasa Hukum PT. Afi Farma, Reza wendra Prayogo mengatakan saat ini gugatan GGAPA terhadap pihaknya masih berlangsung di PN Jakarta Pusat. Oleh karena itu, ia meminta untuk mengikuti proses hukum yang berlangsung. Termasuk perihal eksepsinya yang ditolak.
"Kita menghormati proses hukumnya saja, baik yang pidana maupun perdata, kita ikuti saja," kata Reza kepada Tirto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Ia mengatakan jika penggugat menuding obat dari PT. Afi Farma yang menyebabkan gangguan ginjal akut, pihaknya juga memiliki punya buktinya. Meski ia tak menjelaskan secara rinci apa bukti tersebut.
"Artinya kita yakin dengan posisi hukum kita. Semua obat yang kita jual itu sudah punya izin edar dan clear, dari BPOM juga, dari proses tahapan itu kita sudah ikutin," ucapnya.
"Masalahnya memang karena dari bahan tambahan EG DEG itu. Bahan tambahan itu kita tidak produksi sendiri, tapi ada dari PT. Tirta Buana Kemindo," tambahnya.
Perihal kunjungan dan bantuan, ia mengatakan sejauh ini PT. Afi Farma belum melakukannya kepada korban gangguan ginjal akut.
"Karena kami saat ini fokusnya masih di proses hukum, baik yang pidana maupun perdata ini," tuturnya.
Sementara itu Kuasa hukum PT Afi Farma, Yunus Adhi Prabowo mengajukan pembelaan atau pledoi atas tuntutan JPU di Pengadilan Negeri Kota Kediri, Rabu (18/10/2023).
Secara garis besar, lanjutnya, ada dua cara kematian, yakni kematian yang wajar akibat sakit dan kematian tidak wajar bukan akibat penyakit seperti pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, keracunan dan lain-lain.
Namun, tidak ada data hasil visum, autopsi, dan biopsi dari masing-masing korban yang menyatakan EG dan DEG adalah penyebab kematian gagal ginjal akut pada anak itu.
"Karena untuk mengetahui penyebab kematian pasti harus disampaikan hasil otopsi, rekam medis, biopsi, precondition berkaitan kondisi keluarga, kondisi gaya hidup anak, makanan anak, untuk mengetahui penyebab kematian anak secara pasti, Visum et Repertum disini berperan sebagai alat penerangan bagi hakim serta alat bukti yang cukup vital," pungkas Yunus.
Kami berupaya menghubungi BPOM dalam seminggu terakhir untuk dimintai klarifikasi terkait pengawasan EG dan DEG tersebut. Namun hingga artikel ini ditayangkan, BPOM tak kunjung memberi respons.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri