Menuju konten utama
Expose

Kisah Korban Gangguan Ginjal Akut Bertahan tanpa Hadirnya Negara

Korban anak gangguan ginjal akut belum sepenuhnya pulih. Mereka masih terus rawat sejalan selama setahun ke belakang. Kasus ini, sejatinya belum selesai.

Kisah Korban Gangguan Ginjal Akut Bertahan tanpa Hadirnya Negara
Header Expose Korban Gangguan Ginjal Akut. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Setahun pasca kasus gangguan ginjal akut pada anak (GGAPA), sejumlah korban anak masih terus menjalani rawat jalan. Mereka belum bisa beraktivitas normal seperti anak pada umumnya.

Tak bisa makan, berdiri, berbicara, hingga alami trauma. Hampir tiap hari, mereka harus bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah, terapi fisik dan konsultasi gizi. Para orangtua harus merogoh kocek jutaan rupiah tiap bulan demi pengobatan mereka, di luar yang bisa ditanggung BPJS.

Ini cerita mereka, anak-anak yang masih gagah berani melawan penyakitnya, cerita para orangtua yang masih berjuang merawat dan mencari keadilan untuk anak-anaknya.

Cerita Rayvan

Rayvan Aji Pratama (2), seorang anak korban gagal ginjal akut tampak lemas tergeletak di pangkuan sang ibu, Resty (28). Di pipi kirinya, tertempel selang Nasogastric Tube (NGT) atau selang khusus yang dimasukkan melalui hidung melewati tenggorokan lalu kerongkongan dan menuju ke dalam perut (lambung).

Bocah berbaju biru muda itu matanya tampak sayup. Terkadang melotot dengan tubuh tegang sambil mengepalkan tangannya. Sang ibu hanya terus menggendong dan menenangkan putra semata wayangnya itu.

Resty mengatakan jika saat ini kondisi Rayvan hanya bisa tengkurap saja. Kaki kirinya bengkok pasca diinfus dari dengkul lantaran nadi di tangannya sulit dicari.

"Dari situ kakinya Rayvan yang sebelah kiri sampai sekarang pun kalau kami nggak gerakin, dia nggak bisa gerak sendiri," kata Resty di kediamannya di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (15/10/2023). Air matanya mulai turun.

Selain itu, kondisi penglihatan Rayvan saat ini belum bisa fokus. Pendengarannya juga mengalami masalah. Resty saat ini terus bolak-balik berobat di Poli RSCM dua kali seminggu agar putranya dilatih penglihatan, pendengaran, dan gerakan.

Saat ini, Rayvan hanya bisa makan dengan bantuan selang NGT. Tetapi, sesekali Resty coba memberi makan putranya pakai bubur cair melalui mulut meski sedikit.

Resty menuturkan selama ini memang biaya pengobatan ditanggung BPJS Kesehatan. Namun, beberapa obat khusus, alat kesehatan, biaya transportasi, hingga kebutuhan sehari-hari untuk merawat Rayvan ditanggung pribadi.

Entah sudah berapa puluh juta rupiah biaya yang dikeluarkan olehnya dari Mei 2022 hingga Oktober 2023 ini.

Demi mengurus Rayvan secara total, sang ayah, Riang (29) rela keluar dari pekerjaannya. Ia bercerita aktivitas Rayvan sehari-hari. Setelah bangun tidur, pukul 6 pagi Rayvan langsung diberi susu, berjemur di sinar matahari, hingga olahraga kecil. Saban hari Riang melakukan itu demi merawat putra tercintanya.

"Kalau dibilang, nggak kuat lihat kondisi Rayvan, saya nggak kuat," kata Riang muram.

Selama ini, Resty mengaku tidak ada sama sekali pihak dari pemerintah yang berkunjung ke rumahnya untuk melihat kondisi sang buah hati.

Sementara itu Riang berharap kepada pemerintah agar memberikan pengobatan kepada Rayvan agar sang putra bisa sembuh dan beraktivitas normal.

"Kalau mereka (Pemerintah) bilang, 'Ya ini kan takdir'. Nah, ini bukan takdir, mereka yang buat kayak gini kan. Kalau takdir ya memang sudah bawaan dari lahir. Tapi ini kelalaian dari pihak yang nggak bertanggung jawab," pungkasnya.

Rayvan merupakan korban GGAPA karena mengonsumsi obat sirup Paracetamol dari PT. Avi Farma pada Mei 2022 saat dirawat di RSUD Cibitung, Jawa Barat.

Menurut hasil pemeriksaan yang dilakukan, penyebab kasus GGAPA diduga karena mengalami keracunan senyawa EG (Etilen glikol) dan DEG (Dietilen glikol) yang biasa dipakai sebagai pelarut dalam obat cair atau sirup.

Rayvan merupakan salah satu dari 326 anak yang menjadi korban GGAPA yang tersebar di 27 Provinsi di Indonesia. Dari angka tersebut, sebanyak 204 korban meninggal dunia dan 122 anak masih rawat jalan.

Korban GGPA Mencari Keadilan

Korban GGPA masih harus menjalani sejumlah perawatan dan mencari keadilan. (Tirto.id/Riyan Setiawan)

Alvaro yang Berjuang

Selain Rayvan, korban GGAPA yang menjadi survivor yaitu Alvaro Fidelis Sulu. Sore itu, Kamis (19/10) saya mengunjungi kediaman Alvaro di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Saat itu, terlihat bocah berusia 5 tahun yang mengenakan kemeja cokelat dan celana abu itu tengah bermain mobil-mobilan dengan sang bunda, Septiana Juwita Sari (30).

Sama seperti Rayvan, kondisi Alvaro begitu memilukan. Pipi kanannya ditempel selang Nasogastric Tube (NGT) atau selang khusus yang dimasukkan melalui hidung melewati tenggorokan lalu kerongkongan dan menuju ke dalam perut (lambung). Area tubuh bagian trakeanya juga di dibalut dengan plester putih.

“Kemarin 11 Oktober (2023) Alvaro baru saja selesai dioperasi lagi,” ucap Sepri kepada saya. Ia mengatakan, sejak Alvaro terkena GGAPA pada 3 Oktober 2022 akibat mengonsumsi Paracetamol dari PT. Afi Farma, sudah lima kali melakukan operasi.

Di tengah perbicangan itu, Septi mengajak Alvaro ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Demi memantau aktivitas sang anak yang baru saja kelar operasi, Septi tetap duduk di depan kusen pintu.

Septi bercerita saat ini putra semata wayangnya itu kesulitan makan. Walaupun makan, lauknya hanya seujung sendok saja.

Untuk kebutuhannya sehari-hari, Alvaro lebih banyak mengonsumsi susu. "Minum susu juga masih harus pakai selang (NGT)," kata Septi.

Kebutuhan menyajikan susu untuk Alvaro pun cukup rumit dan membutuhkan biaya yang tak sedikit. Susunya harus diracik dan dicampur dengan minyak. Diberikan tiga jam sekali. Total susu yang diberikan sehari sebanyak delapan gelas. Pengeluaran dalam sehari bisa mencapai Rp100.000.

Selain itu, Alvaro juga kini masih harus belajar cara berjalan lagi, motorik terganggu, hingga sulit berkomunikasi. Jika diperhatikan, hal tersebut memang benar. Alvaro lebih senang bermain dengan mobil-mobilannya. Sesekali merengek memanggil sang ibu. Hal tersebut membuat Septi harus bolak-balik untuk mengurus Alvaro.

Tak hanya itu, Septi mengaku Alvaro terkadang cenderung apatis atau masa bodo terhadap sesuatu.

“Matanya kurang bisa melihat sampai dipaksa melihat dan kuping sebelah kanan kurang bisa mendengar,” tuturnya.

Selama melakukan rawat jalan di rumahnya, Alvaro sangat bergantung dengan alat kesehatan, seperti oksigen, NGT, alat bantu makan, dan sebagainya.

"Di sini (Kamar) tuh sudah kayak ruang rawat inap," ucapnya.

Meski melakukan rawat jalan bukan berarti Alvaro telah sembuh. Kenyataannya, Alvaro hampir setiap hari harus bolak-balik RSCM untuk pengobatan. Saat ini ia juga masih harus melakukan cuci darah dua kali seminggu karena racun di dalam tubuhnya masih ada. Cuci darah dilakukan setiap Rabu dan Sabtu.

Ketika melakukan cuci darah, Septi mengeluh karena waktu yang dikorbankan bisa seharian karena waktu tempuh dari rumahnya ke RSCM pulang pergi bisa 4 jam, cuci darah tiga jam, dan waktu lainnya yang dikorbankan ketika putranya cuci darah.

Akan tetapi, rasa lelahnya itu menurutnya masih sedikit. Dibanding ketika melihat sang putra tengah melakukan cuci darah, pengobatan, hingga operasi.

"Pokoknya dia tuh nangis. Setiap mau cuci darah dia tuh kayak ada rasa trauma-nya. Sekarang tuh kalau mau cuci darah harus dibujuk dulu," tuturnya.

Septi juga bercerita jika Alvaro pernah gagal cuci darah karena pembuluh darahnya sudah tidak bagus akibat sering ditusuk jarum infus, seperti di bagian tangan hingga selangkangan. Alhasil, Alvaro terpaksa harus melakukan cuci darah lewat perut atau continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD).

Kemudian setiap Selasa Alvaro ke Poli nutrisi, mata, telingga, hidung, tenggorokan (THT) untuk melatih motoriknya. Lalu setiap Jumat ia harus rehab medis, berlatih jalan, dan motorik.

"Tapi sekarang karena saya itu sebagai orang tua, tiap hari ke sana memperjuangkan anak, demi anak jadi emang ibaratnya apa aja itu dilakuin seminggu itu saya kemarin full sampai sekarang ini Alvaro udah bisa jalan walaupun masih kayak robot pelan-pelan," tuturnya.

Selama ini, kata Septi, seluruh keperluan Alvaro memang dicover oleh BPJS. Namun hanya biaya pengobatan saja. Sementara biaya lain tidak ada dan ditanggung sendiri. Seperti obat untuk pemulihan otak Alvaro karena apatis dan DHA yang harganya masing-masing sekitar Rp1 juta.

Korban GGPA Mencari Keadilan

Korban GGPA masih harus menjalani sejumlah perawatan dan mencari keadilan. (Tirto.id/Riyan Setiawan)

Selain itu, Septi juga membeli perlengkapan kesehatan, susu, biaya transportasi pulang pergi rumahnya ke RSCM menggunakan taksi online, hingga operasional lainnya. Ia tak menghitung secara rinci berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk itu semua.

“Kadang mikir duit dari mana? Bapaknya (Alvaro) doang yang kerja dengan gaji UMR doang. Semua tercukupi begitu berkat dari Tuhan,” ujarnya.

Dirinya mengaku selama ini belum ada sama sekali kunjungan dari pemerintah ke rumahnya maupun bantuan pengobatan untuk Alvaro.

"Nggak ada bantuan, apaan pemerintah. Pemerintah cuma ngomong doang. Kesel, nggak peduli (Pemerintah)," tegasnya.

Selama merawat Alvaro, berdampak juga pada Septi yang mengalami keguguran. Awal mula Alvaro dinyatakan GGAPA, usia kehamilan Septi 3 bulan. Saat merawat, ia mengalami stres yang begitu berat. Hal tersebut berdampak terhadap kelahiran anak keduanya yang terkena penyakit Hypoplastic left heart syndrome (HLHS) adalah penyakit jantung bawaan yang cukup langka.

Tiga hari kemudian bayi tersebut dioperasi dengan tingkat keberhasilan 5%. "Di situ anak saya meninggal lah pas di meja operasi," ucap Septi dengan raut wajah sedihnya.

Septi mengatakan seharusnya Alvaro tahun ini sudah masuk Taman Kanak (TK). Karena penyakit yang diderita oleh Alvaro, pendidikannya menjadi terhambat.

"Gimana kita mau sekolah, ini saja tiap hari harus ke rumah sakit," tuturnya.

Infografik Expose Korban Gangguan Ginjal Akut

Infografik Expose Korban Gangguan Ginjal Akut. tirto.id/Parkodi

Trauma Rama

"KUKIRA OBAT, TERNYATA RACUN #TRAGEDIOBATBERACUN"

Demikian bunyi tulisan di kaus hitam lengan panjang Sri Wahyuningsih (40). Ia tengah menghadiri persidangan GGAPA di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, (16/10/2023). Pakaian itu ia kenakan di persidangan bersama sejumlah orang tua korban GGAPA yang anaknya masih rawat jalan hingga meninggal dunia.

Di sebelahnya ada Mahardika Ramadhan, bocah berusia 5 tahun yang juga menjadi korban GGAPA.

Sri mengatakan Rama bisa berkomunikasi, namun masih terbata-bata. Diduga karena pengaruh trakestomi yang sebelumnya ia gunakan.

"Tertekan gitu dari pita suaranya karena ada alat itu," kata Sri sambil terisak dan meneteskan air matanya saat diwawancarai Tirto ketika mengikuti persidangan.

Rama merupakan salah satu anak yang kini sudah bisa mencopot trakestominya dibandingkan korban GGAPA lain, seperti Rayvan dan Alvaro. Tubuh bagian trakea bekas dipasang trakestomi itu pun kini dibalut dengan plester dengan luas sekitar 5x5 cm.

Ketika saya ajak komunikasi, suara Rama memang begitu pelan dan terbata-bata. Berbincang dengan saya yang merupakan asing pun ia tampak takut. Butuh bujukan dari kedua orang tuanya terlebih dahulu agar dia mau berbicara.

Tak hanya itu, untuk bergerak aktif dan berjalan pun Rama masih kesulitan. Ibunda mengatakan Rama hanya bisa berjalan perlahan demi perlahan.

"Itu susah berjalan ada efek dari syarafnya yang terkena. Dari RSCM sendiri bilang di kepalanya ada kista. Harusnya sih dipasang selang. Cuma karena dia baru sadar operasi, akhirnya saya belum bisa memberikan persetujuan," terangnya.

Saya pun memperhatikan cara berjalan Rama. Ia hanya bisa berjalan setapak demi setapak. Berbeda dengan anak seumurnya yang biasa berlarian dengan begitu gesit dan lincah.

Ketika menaiki anak tangga untuk ke ruang persidangan di lantai 2 saja, Rama yang mengenakan kemeja biru dan celana levis itu perlu dibopong oleh sang ayah. "Ke sini saja tadi kami bawa kursi roda kalau dia ga kuat jalan," ucapnya.

Terkadang, sehari-hari Rama mengalami sesak dan demam. Sri pun jarang sekali membawa Rama keluar jika bukan urusan penting.

"Anak2 AKI (Gagal Ginjal Akut) itu kalau main panas sedikit bisa demam dan infeksi saluran pernapasan," tuturnya.

Kasus gagal ginjal akut juga menyisakan trauma yang mendalam bagi Rama. Sri bercerita, putranya trauma ketika menjalani perawatan medis setiap bulannya, seperti pengambilan darah, USG, laringoskopi, hingga saat dipasang NGT.

Di antara itu, yang membuatnya paling trauma ketika dipasang NGT atau selang karet atau plastik fleksibel yang dimasukkan melalui hidung, turun melalui kerongkongan, dan masuk ke perut.

Pada pengobatan tersebut, Dokter juga memasukan kamera kecil melalui lubang hidung Rama untuk dilakukan pengecekan.

"Itu sakit banget. Dia pasti nangis dan nggak mau ke situ lagi. Dia selalu bilang kalau habis masang (NGT), 'Bu, Rama besok-besok nggak mau ke sini lagi'. Tapi ya mau gimana, setiap minggu harus diganti. Kalau nggak, nanti infeksi, nanti kan bahaya," kata Sri. Di ujung pernyataannya, Sri terisak membayangkan momen kesakitan sang buah hati.

Rama merupakan korban GGAPA setelah mengonsumsi obat Paracetamol dari PT. Avi Farma pada Oktober 2022. Saat diserang penyakit GGAPA, Rama mengalami koma dua bulan di RSCM.

Setiap bulan Rama wajib melakukan cuci darah. Jika urium kreatinnya parah, ia bisa lebih dari sekali melakukan cuci darah. Total, Rama melakukan cuci darah sebanyak 15 kali. Namun, ia bersyukur kini anaknya sudah tidak lagi melakukan cuci darah.

"Tapi kata dokternya dia pengobatan ini bisa seumur hidup," ucap Sri yang kembali menitikkan air matanya. Ia mengelap air matanya itu dengan kerudung abu-abunya.

Dengan penyakit yang dideritanya ini, Rama pun terpaksa harus menunda masuk Taman Kanak-kanak (TK). "Lihat perkembangan dan evaluasi dulu. Harapannya bisa sekolah tahun depan," ucapnya.

Selama Rama berobat di RSCM, ia mengatakan memang dicover oleh BPJS. Akan tetapi, biaya lainnya seperti obat khusus, transportasi pulang pergi dari kediaman di Cibubur sebesar Rp400 ribu, hingga alat trakestomi sebesar Rp750 ribu perbulannya.

Sebab, BPJS hanya mengcover trakestomi per tiga bulan untuk satu alat saja. Sementara Rama membutuhkan alat tersebut setiap bulan. Ia tak berhitung, sudah berapa puluh juta rupiah kocek yang dikeluarkan selama anaknya berobat.

Selama ini, Sri mengatakan pemerintah tidak memberikan bantuan sepeserpun. Petugas kesehatan yang berkunjung ke rumahnya pun hanya datang untuk meminta sampel air dan darah dari nenek dan kakek Rama yang tinggal serumah.

"Mereka mencari-cari dari mana anak ini kena gagal ginjal. Apakah karena genetik. Padahal dari RSCM sendiri menyatakan anak saya terkena kandungan EG DEG itu," pungkasnya.

Sri pun berharap agar pemerintah bisa menangani pengobatan putranya itu agar sang anak bisa kembali normal dan tidak bergantung dengan alat kesehatan.

"Memang ada di tanggung jawab mereka. Ini anak-anak bangsa loh, bukan seonggok daging. Mereka berhak mendapat penghidupan yang layak yang seharusnya tidak diterima dengan anak-anak kami," pungkasnya.

Korban GGPA Mencari Keadilan

Korban GGPA masih harus menjalani sejumlah perawatan dan mencari keadilan. (Tirto.id/Riyan Setiawan)

Mengenang Azkiara

Nasib lebih menyedihkan dialami oleh Soliha (37), orang tua dari Azkiara Anindita Nuha, korban GGAPA yang meninggal dunia pada 16 Oktober 2022 akibat keracunan.

Pada saat saya menemuinya, Senin (16/10/2023) di tengah persidangan class action di

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, merupakan satu tahun putri tercintanya meninggal.

Ia bercerita, awalnya sang putri yang berusia 3,5 tahun mengalami panas biasa. Akhirnya berobat di klinik dan diberikan obat sirup Paracetamol dari PT. Afi Farma.

Pada tanggal 9 Oktober malam, putrinya muntah-muntah lebih dari 15 kali. Akhirnya dibawa ke rumah sakit dan karena sudah tidak bung air kecil selama dua hari.

Setelah dicek oleh dokter dan dites laboratorium, ternyata putrinya mengidap GGAPA stadium 3.

"Perasaan saya seperti disambar petir di siang bolong. Anak berusia 3 tahun 8 bulan terkena gagal ginjal," kata Soliha kepada Tirto.

Merasa kondisinya parah, putrinya langsung dipindahkan ke ruang PICU dan dipasang oksigen. Memasuki siang hari, Azkiara kembali diperiksa, ternyata kondisinya lebih parah dan telah masuk GGAPA stadium 6.

Dokter pun menyarankan agar dipindahkan ke rumah sakit besar. Akhirnya pada 11 Oktober Azkiara dipindahkan ke RSCM dan dimasukkan ke ruang PICU.

Kondisi tubuhnya menurun dan semakin memburuk. Seluruh makanan yang masuk ke mulutnya terus dimuntahkan. Dokter pun menyarankan agar segera dipasang alat cuci darah.

"Dokter bilang seluruh organ anak saya rusak. Batang otak anak saya rusak, ginjal, hati, paru-paru, jantung. Anak saya sampai buta," ucapnya.

Pada 15 Oktober malam, kondisi putri tercintanya terus memburuk. "Tanggal 16 Oktober 2022 pagi pukul 8.20 (WIB), anak saya menghembuskan napas terakhir, dan ini satu tahun tepat anak saya meninggal," terangnya.

Setelah putrinya meninggal, ia menyatakan sama sekali tidak menerima bantuan maupun santunan dari pemerintah.

"Itu semua hanya janji saja katanya mau kasih bantuan. Nggak ada bantuan, mereka semua (Pemerintah) penjahat, nggak ada sama sekali. Permintaan maaf pun sama sekali tidak ada," tegasnya.

Ia pun sempat merasa kecewa ketika Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny Lukito menyatakan jika anak yang meninggal akibat GGAPA merupakan "Anugerah terselubung ".

“Itu sungguh biadab banget pernyataan seperti itu, saya engga nyangka kepala BPOM bicara seperti itu,” pungkasnya.

Afi Farma Menjawab

Kuasa Hukum PT. Afi Farma, Reza wendra Prayogo mengatakan saat ini gugatan GGAPA terhadap pihaknya masih berlangsung di PN Jakarta Pusat. Oleh karena itu, ia meminta untuk mengikuti proses hukum yang berlangsung.

"Kita menghormati proses hukumnya saja, baik yang pidana maupun perdata, kita ikuti saja," kata Reza kepada Tirto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Ia mengatakan jika penggugat menuding obat dari PT. Afi Farma yang menyebabkan GGAPA, pihaknya juga memiliki punya buktinya juga. Meski ia tak menjelaskan secara rinci apa bukti tersebut.

"Artinya kita yakin dengan posisi hukum kita. Semua obat yg kita jual itu sudah punya izin edar dan clear, dari BPOM jaga, dari proses tahapan itu kita sudah ikutin.

"Masalahnya memang karena dari bahan tambahan EG DEG itu. Bahan tambahan itu kita tidak produksi sendiri, tapi ada dari PT. Tirta Buana Kemindo," tambahnya.

Perihal kunjungan dan bantuan, ia mengatakan sejauh ini PT. Afi Farma belum melakukannya kepada korban GGAPA.

"Karena kami saat ini fokusnya masih di proses hukum, baik yang pidana maupun perdata ini," lanjutnya.

Terpisah Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy mengatakan jika bantuan dan santunan kepada 326 korban GGAPA, baik yang rawat jalan maupun meninggal akan segera diberikan. Hampir seluruh prosedur pun, kata dia, sudah dipenuhi.

"Bapak Presiden sudah memberi persetujuan dalam rapat internal dua minggu yang lalu. Risalah rapat sudah diterbitkan oleh Seskab. Daftar pihak yang terdampak sudah diberikan oleh Kemenkes ke Kemensos," kata Muhadjir kepada Tirto, Selasa (17/10/2023).

======================

Artikel ini terdapat perubahan pada Rabu, 25 Oktober 2023 pukul 16.45 WIB. Redaksi menambahkan pernyataan PT Afi Farma dan Menko PMK menjawab tudingan soal bantuan kepada korban GGPA. Perjalanan setahun gugatan kasus ini selengkapnya dapat diikuti di artikel lanjutan Setahun GGAPA: Menanti Keadilan, Mendesak Negara & Farmasi Ganti Rugi.

Baca juga artikel terkait KASUS GANGGUAN GINJAL AKUT atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Indepth
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri