tirto.id - Hari-hari setelah reshuffle kabinet pada 8 September 2025 adalah tentang Purbaya Yudhi Sadewa. Sepekan usai seremoni pelantikan mendadak di Istana Negara pekan lalu, sorotan publik seakan tersedot pada mantan Ketua Dewan Komisioner LPS itu.
Ia seperti antitesis penuh dari pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati, yang melepas jabatan diiringi haru-biru ratusan karyawan di Gedung Djuanda Kementerian Keuangan.
Perawakannya terkesan nyentrik, bicaranya ceplas-ceplos dan—kerap kali—suka menohok berbagai pihak. Tak salah jika Koboi menjadi persona yang melekat pada insinyur lulusan ITB tersebut.
Simak saja bagaimana komentarnya soal kinerja para bos Himbara dalam penyaluran kredit—yang segera jadi judul di berbagai pemberitaan media pada Selasa (16/9/2025). "Mereka kan orang-orang pinter. Cuma selama ini malas," demikian sepenggal ucapan tersebut.
Tentu bukan hanya gaya bertuturnya yang menggedor "pakem" Bendahara Negara. Tapi juga kebijakannya yang ujug-ujug menggeser penempatan Sisa Anggaran Lebih (SAL) Rp200 triliun dari Rekening Kas Umum Negara di Bank Indonesia ke lima bank pelat merah.
Melalui kebijakan berani ini, Purbaya seolah tidak menghendaki anggaran negara yang semestinya dapat dimaksimalkan untuk mendukung perekonomian justru mengendon di bank sentral. Apalagi, dana yang ditempatkan di BI tidak bisa diakses langsung oleh perbankan untuk membiayai proyek-proyek produktif.
“Ada Rp425 triliun, saya pindahkan ke sistem perbankan Rp200 triliun. Sehingga akan menyebar di sistem dan supaya uangnya bisa tumbuh dan ekonominya bisa berjalan lagi,” bebernya dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, menilai meski penempatan dana pemerintah terbatas ke bank Himbara, langkah ini diyakini efektif untuk melonggarkan likuiditas perbankan secara nasional. Ketika likuiditas lebih longgar, persaingan antarbank untuk memperoleh dana berkurang, sehingga setiap bank memiliki peluang lebih besar memperoleh likuiditas dengan biaya dana atau cost of fund yang lebih rendah.
Secara nasional, langkah ini akan menurunkan tekanan likuiditas terhadap perbankan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peran sektor swasta.
“Harus diakui bahwa sejak tahun lalu, perbankan nasional mengalami kesulitan likuiditas yang cukup berat seiring dengan rendahnya tingkat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Puncaknya adalah pada Mei 2025 lalu, di mana DPK secara nasional hanya tumbuh sebesar 3,81 persen (yoy),” kata dia dalam keterangannya kepada Tirto, Selasa (16/9/2025).
Sejak Juni 2025, tekanan likuiditas mulai berkurang, tetapi pertumbuhannya masih relatif rendah, yakni sebesar 6,79 persen (yoy) pada Juli 2025.
Sunarsip melanjutkan, kebijakan baru ini dinilai akan membuat Purbaya diperhitungkan sebagai menteri keuangan. Sama halnya dengan Sri Mulyani yang dinilai berhasil menjalankan kebijakan fiskal dan membangun stabilitas sistem keuangan, utamanya pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Purbaya memiliki kesempatan yang sama untuk mengukir kesuksesan yang sama, bahkan melebihi pendahulunya, dalam menjalankan kebijakan fiskal dan membangun stabilitas sistem keuangan sesuai harapan Presiden Prabowo Subianto,” harapnya.
Jika menengok ke belakang, kemampuan Purbaya di bidang ekonomi tidak bisa dinafikan. Saat menjabat sebagai Chief Economist Danareksa Research Institute (DRI), bagian dari PT Danareksa (Persero), Purbaya dan timnya bahkan telah membuat berbagai indeks yang mampu memprediksi arah perekonomian dan pasar keuangan secara akurat, seperti leading economic index (LEI), coincident economic index (CEI), dan banking pressure index (BPI).
Tidak hanya itu, berdasarkan model indeks yang dikembangkannya, Purbaya juga menilai bahwa perekonomian Indonesia memiliki periode ekspansi selama tujuh tahun setelah krisis.
Berbekal keyakinan tersebut, pria kelahiran Bogor ini percaya bahwa setelah krisis akibat pandemi Covid-19 pada 2020-2021, seharusnya ekonomi Indonesia mulai memasuki fase ekspansi. Sayangnya, karena kebijakan fiskal dan moneter yang keliru, Indonesia belum mampu keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi lima persenan.
“Purbaya membawa pengalaman luas dari pasar keuangan, posisi pemerintahan, serta kepemimpinannya di LPS. Kombinasi ini memberinya perspektif yang lebih luas, memungkinkan ia menghadapi tantangan ekonomi dari berbagai sudut pandang,” ucap Chief Economist, Macro Strategist & Head of Fixed Income Research BRI Danareksa Sekuritas (BRIDS), Helmy Kristanto, dalam keterangannya.
Latar belakang Purbaya di LPS juga memberinya pemahaman mendalam mengenai interaksi antara belanja fiskal dan likuiditas sistem. Artinya, ia lebih mungkin mereformasi pola belanja agar lebih lancar dan seimbang di tahun-tahun mendatang.
Di sisi lain, Purbaya dikenal dengan sikapnya yang pro-growth atau berpihak pada tujuan pertumbuhan ekonomi. Dalam tren pelambatan ekonomi domestik, sikap ini dinilai sangat dibutuhkan untuk membalikkan arah ekonomi Indonesia.
Dalam forum LPS terbaru, ia menekankan bahwa target pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2026 sebesar 5,4 persen sangat berpotensi tercapai, asalkan mesin fiskal dan moneter berjalan selaras. Hal ini memberi sinyal kemungkinan fokus kebijakan pada dukungan kontra-siklus untuk mendorong pertumbuhan.
“Kami melihat bahwa pengangkatan Purbaya mengarah pada potensi kesinambungan kebijakan, tetapi dengan fokus pro-growth yang lebih kuat. Pendekatannya dapat menyeimbangkan disiplin fiskal dengan dukungan terhadap pertumbuhan. Namun, kebijakan awalnya akan sangat menentukan kecepatan penerimaan pasar,” pungkas Helmy.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































