Menuju konten utama

Sejarah Usang Khalifah Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan

Mimpi jadi khalifah sudah ada sejak zaman DI/TII. Kahar Muzakkar adalah salah satu pemimpi itu.

Sejarah Usang Khalifah Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan
Abdul Kahar Muzakkar. FOTO/Istimewa

tirto.id - Sebelum eksisnya kelompok yang memimpikan kekhalifahan beberapa tahun belakangan ini, aspirasi macam itu sudah ada pada era 1950-an. Sejarah Indonesia menyebut nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1905-1962) dan Kahar Muzakkar (1921-1965). Terkait mimpi negara Islam di Indonesia, dua nama itu adalah rujukan penting.

Selama ini, baik Kahar maupun Kartosoewirjo tidaklah dikenal sebagai khalifah dengan kekhalifahannya. Namun, keduanya sama-sama ingin menjadi pemimpin umat Islam. Setidaknya Kartosoewirjo adalah Imam Negara Islam Indonesia (NII). Dan Kahar Muzakkar adalah Pejabat Khalifah Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII).

Gelar khalifah juga bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Raja-raja Jawa era Mataram Islam bergelar khalifatullah sayidin panatagama (pemimpin agama Islam). Biarpun para raja itu kadang berlaku lalim. Jadi bukan hal aneh jika Kartosoewirjo atau Kahar Muzakkar mengaku diri sebagai khalifah. Meski ditentang, paling tidak keduanya pernah memimpin para pengikut yang beragama Islam serta bersusah payah menegakkan apa yang disebut syariat Islam.

Pejabat Khalifah Kahar Muzakkar

Semula Kahar Muzakkar berontak karena banyak mantan anggota pejuang dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpinnya tidak diterima masuk ke Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sementara itu banyak eks KNIL dengan mudahnya masuk TNI. Namun perlawanan Kahar Muzakkar penuh dinamika.

Pasukan Kahar Muzakkar yang dinamai Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) kemudian bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosoewirjo. Kartosoewirjo yang membangun Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat berusaha agar NII tidak jauh beda dengan sebuah kekhalifahan. Hal ini juga dilakukan Kahar di Sulawesi Selatan.

Anhar Gonggong dalam Abdul Qohhar Mudzakar: Dari Patriot Hingga Pemberontak (1992) menggambarkan pemberontakan Kahar Muzakkar terhadap pemerintah ada dua tahap. Antara 1951 hingga 1953 adalah tahap pertama, penggalangan dan peralihan. Di tahap berikutnya, antara 1953 hingga 1965, disebut Kahar Muzakkar sebagai masa-masa Revolusi Islam (hlm. 137).

Kahar ingin mengubah banyak hal di jazirah Sulawesi Selatan. Salah satu operasi terkenalnya adalah Operasi Toba (Operasi Taubat) untuk menghilangkan secara keras hal-hal yang dilarang dalam ajaran Islam. Operasi Toba setidaknya telah memporak-porandakan para Bissu (golongan pendeta tradisional Bugis).

Negara Islam yang dibangun Kahar Muzakkar hanya eksis di hutan-hutan sekitar Gunung Latimojong, Enrekang, Sulawesi Selatan. Sulit bagi mereka untuk berjaya di daerah sekeliling kota Makassar. Di kawasan Enrekang itu, meski tak memakai istilah presiden, negara ala Kahar tersebut dinamai Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII).

Seperti dicatat Anhar Gonggong, RPII berdiri dalam sebuah pertemuan tanggal 14 Mei 1962, di mana Kahar Muzakkar diangkat menjadi Pejabat Khalifah. Sementara itu Kartosoewirjo lebih diakui sebagai Imam dari NII yang dipimpinnya. Konstitusi RPII diumumkan juga dalam pembentukannya (hlm. 197).

Sebelum ada RPII, Kahar Muzakkar bersekutu dengan Permesta di Sulawesi Utara dan PRRI di Sumatra, dalam Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang tidak lama umurnya. Bersekutu dengan sesama pemberontak adalah hal biasa sebelum 1965. Seperti kata pepatah Italia: musuh dari musuhku adalah kawanku.

Keberadaan gerakan Kahar Muzakkar, entah itu bernama DI/TII, NII, RPI, RPII atau apapun namanya, tidaklah membawa kedamaian bagi rakyat sipil yang buta politik. Para pemberontak—yang biasa disebut sebagai gerombolan—kerap melintasi ladang-ladang atau perkampungan tempat rakyat sipil hidup. Rakyat sipil itu tidak hanya berpotensi kena peluru nyasar jika meletus baku tembak antara tentara pemerintah dengan gerombolan. Masa-masa itu adalah periode yang tidak ingin diulangi lagi oleh orang-orang di daerah tersebut.

Mualaf Jadi Pejabat Khalifah

Jan Willem Gerungan alias Dee Gerungan lahir pada sekitar 1926 dari keluarga Minahasa yang bukan Islam. Sebelum bergabung dengan Kahar Muzakkar, dia terlibat dalam Gerakan Permesta di Sulawesi Utara. Sebelum 1958, Dee tergolong perwira TNI yang cemerlang.

Menurut catatan Brigadir Jenderal Hario Kecik dalam Memoar Hario Kecik (1995: 261-263), Dee Gerungan pernah berjuang melawan tentara Belanda di front Gunung Kawi, Jawa Timur. Sementara dalam catatan Sayidiman Suryohadiprojo di buku Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI: Sebuah Otobiografi (1997: 130-131), Dee Gerungan pernah belajar pada sekolah perang tingkat lanjut di Belanda.

Sebelum masuk hutan dan jadi musuh pemerintah, Gerungan sudah berkeluarga dengan Hetty Warouw, putri mantan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur S.J. Warouw. Setelah Permesta gagal, Gerungan tidak bisa pulang. Usianya sekitar 30-an tahun kala itu. Terpaksalah dirinya terus di dalam hutan, bergerilya melawan tentara pemerintah.

Ia dan para pengikutnya kemudian bergabung dengan DI/TII Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar.

Setelah beberapa lama ikut Kahar, ada masa di mana Gerungan dan pengikutnya ingin menjauh. Tapi tidak bisa. Gerungan dan pengikutnya berhasil ditindas dan diberi dua pilihan: masuk Islam atau mati. “Gerungan (dan pengikutnya) memilih masuk Islam,” tulis Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari tradisi ke DI/TII (1989: 316).

Dengan pengalaman sebagai komandan pasukan TNI yang pernah sekolah di Belanda, Dee Gerungan tentu punya potensi membangun tentara Kahar Muzakkar yang kekurangan dalam banyak hal. Tak heran jika Dee Gerungan juga menjadi orang kepercayaan Kahar Muzakkar.

Infografik HL Kahar Muzakkar

Sebelum RPII berdiri, pihak Kahar Muzakkar mengadakan pertemuan dengan tentara pemerintah dalam Perundingan Bonepute pada 21 Oktober 1961. Pada 12 November 1961, seperti dicatat Harvey, Kahar menyerahkan komando pasukannya kepada Panglima Kodam Hasanuddin Kolonel M. Jusuf. Beberapa bawahan Kahar Muzakkar pun masuk kota Makassar. Di mana Dee Gerungan terlihat salat di sebuah masjid (hlm. 321).

Namun, kata sepakat tidak tercapai dan Kahar tidak jadi menyerah. Meski kekuatan Kahar Muzakkar makin melemah pada 1960-an, Kahar baru berhenti melawan setelah tertembak di sekitar Sungai Lasalo oleh pasukan Siliwangi pada 3 Februari 1965. Kendati demikian mitos Kahar Muzakkar terus hidup setelah kegagalannya menjadi Pejabat Khalifah.

Menurut keterangan Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat, yang dikutip Rosihan Anwar dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia, 1961-1965 (1981), Gerungan mengangkat dirinya sebagai Pejabat Khalifah sejak tertembak matinya Kahar Muzakkar (hlm. 528).

Dalam hitungan bulan, Dee Gerungan juga tertangkap, tapi bukan karena perburuan TNI. Menurut catatan buku Siliwangi dari Masa ke Masa (1968), dia tertangkap pasukan Siliwangi pada 19 Juli 1965 ketika hendak mencari rokok. Mualaf yang jadi Pejabat Khalifah ini akhirnya dihabisi riwayatnya (hlm. 582).

Baca juga artikel terkait KHALIFAH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan