tirto.id - Seperti halnya umat Islam pada umumnya, kaum Syiah juga menjalankan ibadah puasa, termasuk selama bulan Ramadan. Meskipun tata cara pelaksanaan secara umumnya sama, namun ada beberapa sedikit perbedaan antara puasa yang dilakukan penganut Syiah dengan Sunni (Ahlussunnah), termasuk dalam hal waktu berbuka.
Kata Syiah dalam bahasa Arab berarti “pengikut seseorang”. Sedangkan dalam terminologi Islam, sebut Sulthan Fatoni lewat buku Peradaban Islam (2007), Syiah berarti sekelompok orang pengikut Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad yang menjadi khalifah ke-4 setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan.
Murtadha Muthahhari dalam buku Karakter Agung Ali bin Abi Thalib (2002) menuliskan, kaum Syiah percaya bahwa khalifah setelah Nabi Muhammad wafat adalah Ali. Sementara kelompok Sunni atau Ahlusunah meyakini, sejauh menyangkut legislasi Islam, tidak ada ketentuan khusus terkait kekhalifahan dan kepemimpinan.
Perbedaan pandangan inilah yang kemudian memunculkan golongan Syiah dan Sunni dalam arus besar umat Islam. Syiah pada akhirnya berkembang bukan hanya sebagai aliran, tetapi juga itikad, haluan politik, dan lainnya, termasuk tata cara menjalankan puasa Ramadan.
Secara umum, baik Sunni maupun Syiah menjalankan puasa di bulan Ramadan sebagaimana mestinya seperti yang diperintahkan dalam Alquran maupun Hadis Rasulullah. Namun, ada sedikit perbedaan di antara kedua golongan ini.
Perbedaan Waktu Berbuka
Perbedaan tersebut timbul dari konteks atau penafsiran yang beragam. Misalnya, mengenai waktu berbuka. Kaum Sunni meyakini bahwa berbuka dilakukan saat matahari telah terbenam dan ditandai dengan dikumandangkannya azan Magrib.
Di sisi lain, dikutip dari karya Muhammad Al-Baqir berjudul Panduan Lengkap Ibadah: Menurut Al-Quran, Al-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama (2016), sebagian penganut Syiah mengundurkan salat Magrib maupun awal waktu berbuka puasa sampai kira-kira 10 atau 15 menit setelah terbenamnya matahari sehingga hari benar-benar telah menjadi gelap.
Laporan Tirto.id (13 Juni 2017) bertajuk “Berbuka Puasa bersama Umat Syiah di Jakarta” memberikan contoh yang lebih rinci. Ketika azan Magrib berkumandang dari masjid-masjid di sekitar, para jemaah Syiah masih menyuntuki bacaan Alquran. Barulah, 15 menit kemudian, pengajian itu berakhir.
Mereka lantas wudu selagi azan Magrib dari aula bergema. Kembali ke aula untuk salawat, para jemaah lantas melaksanakan salat Magrib yang digabungkan dengan salat Isya. Kira-kira pukul 18.30 barulah mereka membatalkan puasa.
Kendati ada sedikit ketidaksamaan mengenai waktu berbuka, namun perbedaan tersebut tidak sampai menyentuh kepada prinsip ajaran beragama. Pilihan waktu berbuka kaum Syiah merupakan sikap ihtiyath dalam menafsirkan “illa al-lail” atau untuk memastikan waktu sudah benar-benar malam.
Demikian pula dengan kaum Sunni. Khoirul Anwar dalam artikel berjudul “Persamaan dan Perbedaan Puasa Sunni-Syiah” yang diunggah Islami.co (31 Agustus 2017) mengungkapkan, pilihan berbuka puasa saat matahari terbenam juga tidak bisa dilepaskan dari upaya pemaknaan untuk menyegerakan berbuka ketika waktu telah tiba sebagaimana diriwayatkan dalam Hadis Rasul.
“Dalam hal ini, Sunni maupun Syiah sama-sama berhati-hati di dalam menjalankan perintah Allah dan utusan-Nya,” simpul Khoirul Anwar.
Editor: Iswara N Raditya