Menuju konten utama

Sejarah PGSI, Induk Organisasi Gulat Nasional di Indonesia

Berikut ini sejarah sejarah PGSI, induk organisasi gulat nasional di Indonesia, serta riwayat perkembangan olahraga gulat.

Sejarah PGSI, Induk Organisasi Gulat Nasional di Indonesia
(Ilustrasi) Pegulat putra Jabar Hamdian Rachmat (kiri) berusaha mengunci pegulat putra Bengkulu Ismi Fornandes (kanan) saat bertanding pada perebutan tempat ketiga Gulat Gaya Greco-roman kelas 60 Kg PON Papua di Gor Futsal Dispora, Kabupaten Merauke, Papua, Rabu (13/10/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU

tirto.id - Nama induk organisasi gulat nasional di Indonesia adalah PGSI. Kepanjangan PGSI adalah Persatuan Gulat Seluruh Indonesia.

Sejarah PGSI bisa ditarik sejak awal organisasi tersebut berdiri pada awal dekade 1960-an. PGSI berdiri pada tanggal 7 Februari 1960.

Pendirian PGSI pada tahun 1960 berkaitan erat dengan persiapan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Di ajang tadi, gulat menjadi salah satu cabang olahraga yang menghasilkan medali bagi Indonesia.

Selama lebih dari 6 dekade berdiri, PGSI tidak hanya mempopulerkan olahraga gulat di Indonesia. Para atlet gulat binaan PGSI tercatat sudah menyumbangkan banyak medali di berbagai ajang internasional, terutama SEA Games dan Asian Games.

Sejarah Gulat di Dunia

Gulat termasuk salah olahraga bela diri yang mempunyai ciri khas dilakukan oleh 2 orang dengan saling berhadapan di atas matras atau permukaan tanah.

Pertandingan gulat dilakukan dengan teknik menarik, menekan, mendorong, menjegal, menahan, mengangkat, hingga membanting lawan. Tujuan dari penerapan teknik-teknik itu adalah menjatuhkan lawan hingga kedua bahunya menempel di matras.

Terdapat 2 gaya yang biasa dipertandingkan dalam olahraga gulat, baik nasional maupun internasional, yaitu gaya bebas (free style) dan gaya Romawi Yunani (Greco Roman).

Gulat gaya bebas adalah pertandingan gulat yang memperbolehkan pegulat menyerang kedua kaki lawan dengan menjegal atau menariknya. Sebaliknya, di pertandingan gulat gaya Romawi Yunani, menyerang kedua kaki lawan dilarang.

Dikutip dari salah satu artikel Indonesian Journal of Sporting Science and Coaching (Vol. 03, 2021), gulat merupakan cabang olahraga kuno yang cukup tua.

Pada tahun 2500 SM, gulat telah menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah China. Olahraga bela diri ini juga telah lama populer di belahan dunia bagian barat.

Gulat diperkirakan sudah dipelajari orang-orang Mesir kuno sejak tahun 2050 SM. Fakta ini diketahui dari gambar-gambar teknik bergulat di dinding makam kuno yang berada di lembah Raja Bani Hasan.

Pertandingan gulat juga sudah digelar dalam Olimpiade Kuno tahun 708 SM. Pada zaman modern, pertandingan gulat juga sudah dipertandingkan dalam Olimpiade Pertama tahun 1986 yang berlangsung di Athena, Yunani. Saat itu, cabang olahraga gulat digelar khusus untuk gaya Yunani Romawi.

Selanjutnya, pada Olimpiade III tahun 1904 di Amerika Serikat, acara pertandingan gulat diadakan hanya untuk gaya catehras catch can atau gaya bebas. Baru pada 1908, ketika Olimpiade IV digelar di Inggris, pertandingan gulat diadakan dengan dua gaya, yaitu gaya bebas dan gaya Yunani Romawi.

Meskipun gulat telah dipertandingkan sejak edisi Olimpiade I, peraturan untuk olahraga ini baru dibakukan untuk level internasional dalam Olimpiade XI tahun 1936 di Jerman.

Pada waktu itu, juga dibentuk Federasi Gulat Internasional atau Federation Internationale de Lutte Amateur (FILA). Kemudian, FILA secara bertahap menyempurnakan peraturan di cabang olahraga gulat.

Sejarah Olahraga Gulat di Indonesia

Sejak sebelum Perang Dunia II, masyarakat di Indonesia telah mengenal gulat dari para tentara Belanda. Pada masa kolonial, gulat menjadi tontonan di pasar malam atau pesta-pesta di kota besar sebagai hiburan.

Namun, pada masa pendudukan Jepang (tahun 1941-1945), seni bela diri asal negeri Dai Nippon, seperti judo, sumo, dan kempo dipopulerkan di Indonesia. Akibatnya, popularitas gulat kemudian menyurut.

Hariyoko dalam Sejarah Olahraga dan Perkembangan Pendidikan Jasmani di Indonesia (2019) memaparkan, sejarah olahraga gulat di Indonesia juga tak lepas dari diadakannya Kongres Olahraga Indonesia pertama pada bulan Januari 1947 di Solo.

Kongres olahraga tersebut diadakan sebagai upaya Indonesia melakukan pembangunan di bidang olahraga selepas merdeka pada 17 Agustus 1945. Kongres di Solo membuahkan hasil terbentuknya organisasi Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI).

PORI dengan berbagai upaya menghidupkan kembali pekan olahraga nasional masa lalu dengan mengadakan Pekan Olahraga Nasional (PON). Namun, PON edisi pertama di Solo pada 8-12 September 1948 tersebut tidak menyertakan cabang olahraga gulat.

Setelah 13 tahun, olahraga gulat kemudian baru masuk ajang pertandingan resmi di PON edisi kelima yang diselenggarakan pada 23 September sampai 1 Oktober 1961.

PON yang diselenggarakan di Bandung itu, diikuti oleh atlet dari 23 provinsi di Indonesia, mulai dari pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku.

Dengan demikian, gulat dipertandingkan dalam PON V tidak lama setelah PGSI terbentuk pada tahun 1960.

Tak lama dari ajang PON kelima, pegulat indonesia dengan kontingen full team, mulai dari kelas 52 kg sampai dengan 97 kg, diturunkan untuk bertanding pada ajang Asian Games IV atau Asian Games 1962.

Pada 1962, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games yang dilangsungkan di Jakarta, selama tanggal 24 Agustus hingga 4 September.

Di Asian Games 1962, pegulat Indonesia sukses meraih 2 medali perunggu melalui atlet bernama Mujari untuk kelas 52 kg dan Rachman Firdaus kelas 63 kg. Kedua pegulat itu bertanding di nomor gulat gaya Greco Roman.

Setelah PON VI gagal digelar di tengah dampak kekacauan politik setelah 1965, olahraga gulat kembali dipertandingkan pada ajang nasional di PON edisi VII pada 1969. Sejak itu, gulat selalu dipertandingkan di PON.

Sejarah PGSI, Induk Organisasi Gulat di Indonesia

Sebelum PGSI berdiri, gulat telah dipertandingkan dalam berbagai ajang profesional yang cukup populer. Misalnya, pada tahun 1959, di Bandung pernah digelar pertandingan gulat bayaran antara Batling Ong melawan Muh. Kunyu dari Pakistan.

Pertandingan tersebut diselenggarakan oleh Persatuan Tinju dan Gulat (PERTIGU), wadah olahraga amatir dan profesional tinju dan gulat di Indonesia.

Tidak lama setelah itu, pemerintah melalui menteri olahraga tidak membenarkan adanya organisasi olahraga tinju dan gulat bayaran. Meski begitu, pemerintah punya kebutuhan untuk menjadikan gulat sebagai olahraga resmi karena Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Games IV yang berlangsung pada tahun 1962.

Maka itu, panitia pelaksana Asian Games IV bentukan pemerintah RI memutuskan untuk menunjuk Kolonel R. Rusli agar membentuk organisasi resmi gulat amatir.

Rusli kemudian menjalankan mandat tersebut dengan menghubungi sejumlah tokoh gulat di Bandung, seperti Batling Ong, Ong Sik Lok, M.F. Siregar, H.B. Alisjahbana, serta Abdul Djalil.

Seperti dicatat oleh Rubianto Hadi dalam Olahraga Beladiri Gulat (2017), beberapa forum pertemuan sempat digelar untuk membahas pendirian induk organisasi gulat Indonesia.

Setelah beberapa kali pertemuan di rumah Kolonel Rusli di Bandung, tepat pada tanggal 7 Februari 1960 berdirilah organisasi gulat amatir Indonesia dengan nama Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI).

Pembentukan PGSI menjadi awal dari pembinaan atlet-atlet gulat Indonesia secara resmi dan tergonisir dari pusat hingga daerah. Dari 27 provinsi di Indonesia saat itu, terbentuk 18 pengurus daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Sumatera Utara, dan lain sebagainya.

Kehadiran PGSI juga mendorong keterlibatan atlet-atlet gulat Indonesia di level turnamen internasional. Belum ada setahun berdiri, PGSI sudah mengadakan seleksi nasional untuk menentukan tim Indonesia dalam kejuaraan dunia di Yokohama, Jepang pada Juni 1961.

Dalam seleksi tersebut, terpilih empat pegulat Indonesia untuk maju ke kejuaraan dunia pertama kalinya, yakni Rachman Firdaus (kelas 68 kg, gaya bebas), Yoseph Taliwongso (kelas 68 kg, gaya Greco Roman), Sudrajat (kelas 62 Kg, gaya bebas), dan Elias Margio (kelas 62, gaya Greco Roman). Mereka didampingi oleh Kapten Obos Purwono sebagai tim manajer serta Batling Ong yang menjadi pelatih.

PGSI tak hanya membuat gulat masuk dalam ajang resmi nasional seperti PON V, hingga membawa atlet-atlet Indonesia bertanding di kejuaaraan dunia dan Asian Games pada era 1960-an. Beberapa tahun setelah PGSI berdiri, kejuaraan gulat junior pun diadakan untuk pertama kalinya di Bandung pada 1975.

Baca juga artikel terkait GULAT atau tulisan lainnya dari Umi Zuhriyah

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Addi M Idhom