tirto.id - India, Pakistan, dan Bangladesh. Jika ketiga negara ini disatukan, penduduknya akan berjumlah kira-kira 1,68 miliar orang dan menjadi negara paling padat penduduk di dunia. Pengandaian ini bukan sesuatu yang mustahil. Sebelum abad ke-20, ketiganya pernah bersatu di dalam daftar tanah jajahan Inggris.
India dan Pakistan merdeka dari Inggris pada 1947. Mayoritas umat Hindu berpusat di India, sedangkan banyak umat Islam memilih menjadi warga negara Pakistan. Perpisahan ini kerap disebut Partisi dalam catatan sejarah.
Kelak, masalah ini pula yang memicu perselisihan dua agama tersebut dan terus bertahan hingga sekarang. Ketika kericuhan meledak di India sekitar sebulan lalu, kaum fundamentalis Hindu menganiaya dan membunuh umat Islam secara sistematis.
Para politisi yang tengah berkuasa juga nampak tutup mata. Mereka bersikeras pemerintah tidak membiarkan konflik antar agama berkecamuk, tapi di sisi lain mereka juga tidak menindak tegas pelaku penganiayaan dan menyalahkan korban.
Anggota parlemen dari Partai Bharatiya Janata (BJP), Giriraj Singh menyebut bahwa seharusnya umat Muslim di India sudah minggat ke Pakistan sejak dulu, tepatnya pada 1947 ketika Muhammad Ali Jinnah mendirikan Pakistan 14 Agustus, sehari berselang sebelum India bebas dari kolonialisasi Inggris.
“Jika saat itu orang-orang Muslim dikirim ke sana dan Hindu dibawa ke sini [India], kita tidak akan berada dalam situasi begini,” ucapnya seperti dikutip Business Standard.
Masalah Agama Menjebak Bangladesh
India dan Pakistan kelabakan, terutama terkait pembagian teritori. Satu sumber perselisihan paling besar adalah daerah Kashmir, yang sekarang mencakup daerah Jammu. Kashmir dan Jammu merupakan daerah unik karena dipimpin oleh Maharaja Hindu, sedangkan umatnya banyak yang beragama Islam.
Pakistan yang tidak sabar menjadikan Kashmir dan Jammu sebagai bagian negara mereka kemudian menggelar invasi, yang langsung dibalas oleh India. Perang India-Pakistan yang berlangsung sampai 1948 kemudian membuat Kashmir dan Jammu terbelah. Azad Kashmir dan Gilgit-Baltistan dikuasai Pakistan. Lembah Kashmir, Jammu, dan Ladakh dikuasai India. Kelak, China yang punya perbatasan dengan Kashmir dan Jammu juga menguasai beberapa sebagian daerah Ladakh.
Pada Januari 1949, seperti saran Persatuan Bangsa-bangsa (PBB), Kashmir seharusnya melakukan referendum untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun sampai hari ini realisasinya nihil. Pakistan dan India masih berbagi daerah di Kashmir dan Jammu. Konflik kecil sering terjadi di sana, seperti pada 2016 ketika kelompok pemberontak membunuh 18 tentara India.
Masyarakat Bengali yang tinggal di bagian barat dan timur Bengal awalnya tampak tak terpengaruh oleh hubungan Pakistan-India. Tanpa kontak senjata, Bengal Barat yang mayoritas beragama Hindu bergabung dengan India dan Bengal Timur yang mayoritas beragama Islam bergabung dengan Pakistan. Padahal Bengal Timur berbatasan dengan India, tidak dengan Pakistan.
Bengal Timur tidak memilih dengan perhitungan matang. Di saat hiruk-pikuk merdekanya negara Islam, mereka bergabung dengan Pakistan atas dasar pertimbangan agama. Ada dua kejadian yang setidaknya mendorong keputusan itu.
Pertama adalah adanya kericuan di Calcutta (Kolkata) tahun 1946. Gopal Phata yang berumur 33 tahun kala itu adalah pemilik toko daging di College Street, Kolkata. Dia biasa mencacah daging, tapi pekerjaan lainnya tak kalah menyeramkan, pimpinan gangster. Hari itu, 16 Agustus 1946, dia mengumpulkan semua anak buahnya dengan persenjataan pisau, pedang, parang, tongkat besi, dan kayu demi mencegah penguasaan dari Pakistan.
Ribuan darah tumpah di Kolkata. Tidak heran karena prinsip Phata kepada anak buahnya, bila ada 1 darah orang India yang tumpah karena umat Islam dari Pakistan, maka harus ada 10 nyawa yang menebusnya. Kericuhan ini terjadi di masa merebaknya Liga Muslim.
Bahkan orang campuran keturunan Inggris-India juga menjadi korban kekerasan, menurut kesaksian Syed Nazimuddin Hashim yang menyaksikan kekerasan di Kolkata.
“Korban pertama yang saya lihat adalah Oriya Porter yang malang. Dia tidak tahu sama sekali apa yang tengah terjadi dan hanya membawa keranjang, pergi ke tepi jalan. Seorang muslim memakai sarung tiba-tiba mendatanginya dan memukul kepala Porter dengan tongkat besi,” tutur Hashim yang merupakan pelajar di Presidency College.
Ada sekiranya 100 ribu orang Islam dari Liga Muslim yang dikerahkan ke Kolkata. Hari itu diingat sebagai Direct Action Day yang mengakibatkan sekitar lima ribu sampai 10 ribu orang meninggal dunia, dan 15 ribu orang luka-luka. Dalam catatan Dirty Hands and Vicious Deeds: The US Government's Complicity in Crimes Against Humanity and Genocide(2018) yang disunting sejarawan Amerika Samuel Totten, pemimpin gerakan Liga Muslim Muhammad Ali Jinnah memperingatkan kongres di India: “Kami tidak menginginkan perang. Jika kalian mau perang, kami tentu akan menerimanya tanpa ragu. Bagi kami lebih baik India yang terpecah belah atau India yang hancur.”
Peristiwa ini membuat 10 ribu orang Hindu meninggal dunia, 15 ribu orang terluka, dan 100 ribu orang kehilangan rumah. Jumlah meninggal itu baru dari Kolkata saja, belum termasuk korban kerusuhan di kota lainnya.
Sebab kedua adalah kerusuhan di Noakhali, salah satu distrik di Bengal, Bangladesh yang terjadi setelah kerusuhan Kolkata. Serangan kelompok Muslim dilakukan pada 10 Oktober 1946. Mahatma Gandhi kala itu mencegah umat Hindu melancarkan serangan balasan, tapi lagi-lagi hasilnya adalah korban jiwa orang-orang Hindu India.
Ahli sejarah asal Inggris, Yasmin Khan, dalam The Great Partition: The Making of India and Pakistan, New Edition (2007) mencatat, rumah orang-orang Hindu dijarah dan dibakar. Sebagian dari mereka dipaksa untuk masuk Islam. Banyak perempuan diperkosa dan diajak menikah paksa. Seperti yang dilaporkan Timesaat itu, setidaknya lima ribu orang meninggal dunia dalam kerusuhan.
Sejak itu mayoritas umat Islam di Bengal lebih punya alasan merapat ke Pakistan ketimbang India dan mengambil risiko kehilangan nyawa.
Berpisah dengan Pakistan
Di bawah Pakistan, Bangladesh disebut sebagai Pakistan Timur. Diskriminasi terhadap daerah Pakistan menjadi sangat kuat ketika pemilihan gubernur jenderal pertama Pakistan pada 1970. Mujibur Rahman yang diusung oleh Liga Awami di Pakistan Timur berhasil mendapat 160 suara dari 300 suara parlemen. Pesaingnya, Pakistan Peoples Party (PPP) hanya berhasil meraih 81 suara.
Seharusnya, Rahman menjadi pemimpin Pakistan, tetapi PPP menolak keputusan itu. Unjuk rasa meledak di Pakistan Timur dan gelombang suara meminta kemerdekaan sendiri dari bangsa Bengal semakin kuat.
Pada Hari Republik Pakistan tanggal 23 Maret, masyarakat Pakistan Timur berbondong-bondong menurunkan bendera Pakistan dan menaikan bendera Bangladesh dengan lambang lingkaran merah dengan latar belakang warna hijau.
Dua hari berselang, Presiden Yahya Khan mengirim 18 ribu personel pasukan ke Pakistan Timur untuk menjegal demonstrasi. Operation Searchlight, demikian nama operasi militer tersebut, berakhir sebagai genosida etnis Bengal di Pakistan Timur.
Hasilnya, 30 juta orang Bengal kehilangan tempat tinggal, 10 juta mengungsi ke India, dan setidaknya 1 juta orang meninggal dunia. Pada 26 Maret, Rahman ditangkap atas tuduhan pengkhianatan. Tapi, Pakistan sedikit terlambat. Rahman ditangkap hanya beberapa jam sebelum mendeklarasikan kemerdekaan Bangladesh.
Dalam sebuah catatan yang disunting ahli politik Ali Riaz dalam Bangladesh: A Political History Since Independence (2016) menyebutkan: “Syekh Mujib dengan tenang menunggu untuk ditangkap.”
Masih dalam buku yang sama, pada 26 Maret 1971, tepat hari ini 49 tahun lalu, itu media Los Angeles Times menggambarkan bahwa deklarasi kemerdekaan dilakukan di tengah-tengah perang terbuka yang berkecamuk. Siaran radio kala itu menyatakan “Syekh telah mendeklarasikan 75 warga Pakistan Timur kini menjadi warga negara Bangladesh yang berdaulat.”
Apa hubungannya dengan India? Setelah deklarasi itu, Bangladesh terlibat perang dengan Pakistan. India-lah yang senantiasa memberikan bantuan. Bagaimanapun, konflik agama dengan Pakistan terus membayangi India. Bangladesh berdiri di atas fondasi itu.
Editor: Windu Jusuf