Menuju konten utama

Sejarah MUI & Daftar Ketua dari Hamka sampai Miftachul Achyar

Miftachul Akhyar merupakan Ketua MUI ke-8 sepanjang sejarah lembaga ini, sedangkan ketua pertamanya adalah Hamka.

Sejarah MUI & Daftar Ketua dari Hamka sampai Miftachul Achyar
KH Miftahul Akhyar (kiri). Antara Foto/puspa perwitasari/nz/16

tirto.id - Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-10 pada 27 November 2020 menetapkan KH Miftachul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI periode 2020-2025 menggantikan KH Ma’ruf Amin. Miftachul Akhyar merupakan pemimpin MUI ke-8 sepanjang sejarah lembaga ini. Hamka tercatat sebagai Ketua MUI pertama.

Majelis Ulama Indonesia adalah institusi yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendekiawan Islam di tanah air. Tugas MUI adalah membimbing, membina, dan mengayomi kaum muslim di Indonesia, memiliki keotonoman, serta menjunjung tinggi semangat kemandirian.

Sejarah MUI dimulai pada 1973 atau pada masa Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. James Rush dalam Adicerita Hamka (2010) menuliskan, sebelum MUI didirikan, "Soeharto bersama para pembantunya mencari teman di kalangan umat (Islam) dan mengarahkan para pemimpinnya untuk kepentingan Orde Baru”.

Sejarah Berdirinya MUI

Gagasan untuk menyatukan para ulama dalam sebuah wadah kemudian muncul. Tugas wadah ini adalah membahas perkara umat dan mengeluarkan fatwa serta praktik-praktik ajaran Islam. Hal-hal yang akan dibahas terkait makanan yang halal atau haram dan penetapan awal atau akhir bulan Ramadan.

Pada 26 Juli 1975, para ulama berkumpul di Jakarta dalam Musyawarah Nasional I Majelis Ulama dan menghasilkan Piagam Berdirinya MUI. Motto dari majelis ini adalah mewujudkan Ukhuwah Islamiyah dalam “Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia”. Prof. Dr. Hamka merupakan ketua umum di periode pertama hingga 1981.

Berdasarkan catatan M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013:277), MUI pada perkembangannya justru menjadi wahana bagi pemerintah dalam mengontrol Islam demi kepentingan mereka.

Hamka yang kurang sepakat dengan hal itu kemudian menyatakan mundur sebagai bentuk protes. Ulama besar ini belum bisa menerima atas stigma yang dibangun dan membuat MUI menjadi kurang independen.

Lantas, bagaimana reaksi Soeharto selaku Presiden RI kala itu? Soeharto mengatakan bahwa MUI harus dapat mandiri dalam koridor pemerijntahan Orde Baru.

“Kerja sama ini telah menciptakan suasana baru yang segar dalam pertumbuhan agama Islam serta umatnya di Indonesia. Kerja sama itu bukan saja perlu dipelihara, tapi perlu ditumbuhkan dan dikembangkan di masa datang," kata Soeharto, dikutip dari Kompas (21/12/1989), saat itu.

MUI Setelah Reformasi 1998

Setelah rezim Orde Baru pimpinan Soeharto runtuh dengan adanya gelombang Reformasi 1998, terjadi perubahan besar-besaran di segala sektor, termasuk mengenai MUI.

"MUI menjadi wadah yang memperjuangkan kepentingan Islam-terutama dari kelompok-kelompok paling konservatif, Islamis dan Dakwahis di hadapan pemerintah," tulis Ricklefs.

Pernyataan Ricklefs ini mengindikasikan bahwa MUI sudah menjadi lembaga yang lebih independen ketimbang sebelumnya. Fawaizul Umam dalam Kala Beragama Tak Lagi Merdeka (2014:156) menambahkan:

“MUI tampak memainkan peran sebagai pemberi legitimasi teologis atas setiap kebijakan negara, di masa reformasi," sebut Umam.

"Saat negara melemah, MUI -khususnya dalam konteks praksis kebebasan beragama- memainkan peran terutama sebagai lembaga kontrol yang menjalankan semacam screening (penyaringan) keyakinan guna menerbitkan praktik-praktik keberislaman masyarakat dengan memancang keyakinan mainstream sebagai tolak ukur utama," tambahnya.

Daftar Ketua Umum MUI 1975-Sekarang

  • Prof.Dr. Hamka (1975-1981)
  • KH. Syukri Ghozali (1981-1984)
  • KH. Hasan Basri (1983-1990)
  • Prof. KH. Alie Yafie (1990-2000)
  • KH. M. Sahal Mahfudz (2000-2014)
  • Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin (2014-2015)
  • Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin (2015-2019)
  • KH. Miftachul Achyar (2020-2025)

Baca juga artikel terkait MUI atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya