tirto.id - Orde Baru daripada Soeharto, yang sangat mengandalkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sadar bahwa Islam adalah kekuatan politik yang teramat sangat besar dan tidak mungkin disingkarkan dari panggung politik Indonesia. Adalah fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Kebanyakan anggota ABRI juga beragama Islam. Orde Baru hanya perlu hati-hati saja dalam bertindak.
Kehati-hatian Orde Baru mirip pemerintah militer Jepang terhadap Islam di Indonesia pada zaman pendudukan 1942-1945. Jepang merestui keberadaan organisasi yang terdiri dari pemuka agama bernama Madjlisul Islamil A'laa Indonesia (MIAI), yang kemudian menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Organisasi yang menginduk kepada Masyumi adalah organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan partai-partai Islam yang sebelumnya ada di zaman kolonial. Pada awal 1970-an, Orde Baru mentoleransi partai-partai politik Islam, sebelum akhirnya digabungkan ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, Orde Baru ingin lebih dari itu.
Soeharto dan para pembantunya, seperti dicatat James Rush dalam Adicerita Hamka (210) akhirnya mencari “teman di kalangan umat (Islam) dan mengarahkan para pemimpinnya untuk kepentingan Orde Baru”. Maka muncul gagasan untuk menyatukan ulama dalam sebuah wadah. Ide ini sudah ada sejak 1973. Wadah ini menjadi tempat para ulama membahas perkara-perkara umat dan mengeluarkan fatwa terkait hukum dan praktik Islam, di antaranya terkait halal-haram makanan/minuman atau kapan Ramadhan berakhir.
Para ulama kemudian berkumpul di Jakarta dalam Musyawarah Nasional I Majelis Ulama yang menghasilkan sebuah piagam. Piagam yang dikenal sebagai Piagam Berdirinya MU itu menyatakan berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 17 Rajab 1395 Hijriah atau tanggal 26 Juli 1975, tepat hari ini 45 tahun lalu. Seperti tercatat dalam piagam itu, para ulama itu pentingnya persatuan ulama di Indonesia demi mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam rangka "Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia".
Dalam situs resminya, tercatat pendirian MUI dihadiri 26 ulama yang mewakili 26 provinsi(kala itu Timor Timur belum jadi provinsi Indonesia), 10 ulama pusat dari NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah; empat orang ulama dari Dinas Rohani Islam empat angkatan dalam ABRI; serta 13 orang dengan reputasi sebagai cendekiawan. Di antara perorangan ini terdapat Kasman Singodimedjo dan Hamka. MUI menyatakan diri sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendekiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Pada Juni 1975, Hamka, menurut Rush, didekati oleh Menteri Agama Mukti Ali agar mau menjadi Ketua MUI. “Mukti Ali tahu benar Hamka terkenal se-indonesia sebagai penulis dan Ulama. Dia seorang Muslim Muhammadiyah yang menjauhkan diri dari fanatisme dan diantara tokoh-tokoh Muhammadiyah, hanya Hamka yang secara teratur diundang berbicara di acara-acara Nahdatul Ulama,” tulis Rush. Hamka diharapkan bisa memjembatani lebih banyak golongan. Seperti dicatat Rush, Hasan Basri—yang kemudian jadi Wakil Ketua MUI—menyebut Hamka “satu-satunya pilihan yang bisa terpikirkan.” Hamka, pada 1970 Hamka pernah menentang pembentukan majelis serupa MUI. Kali ini, seperti dicatat Rush, “Hamka mempertimbangkan kembali keadaan secara berbeda”. Dalam sejarah MUI, Hamka adalah ketua MUI pertama.
MUI, seperti dicatat M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013:277), dimaksudkan sebagai sebuah wahana bagi pemerintah untuk mengontrol Islam demi kepentingan. Hal ini sempat menjadi stigma bagi MUI. Hamka kemudian mundur sebagai Ketua MUI pada 1981, seperti dicatat Ricklefs, “sebagai protes terhadap kurang independennya MUI di depan pemerintah”.
Meski MUI di mata Hamka tidak independen, namun Soeharto punya pikiran lain. Soeharto mengatakan, MUI harus bisa mandiri--tentu dalam koridor Orde Baru. Pada 1989 Soeharto, catat Kompas (21/12/1989) seperti yang dikutip dalam Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku XI 1989 (2008:587-589), menyebut MUI makin mandiri. “Kerja sama ini telah menciptakan suasana baru yang segar dalam pertumbuhan agama Islam serta umatnya di Indonesia. Kerja sama itu bukan saja perlu dipelihara, tapi perlu ditumbuhkan dan dikembangkan di masa datang,” kata Soeharto.
Keadaan berubah Setelah Orde Baru runtuh pada 1998. Setelah kejatuhan Soeharto, seperti disebut Ricklefs, “MUI menjadi wadah yang memperjuangkan kepentingan Islam—terutama dari kelompok-kelompok paling konservatif, Islamis dan Dakwahis—di hadapan pemerintah.” Kali ini MUI bisa independen seperti yang dulu dicita-citakan Hamka.
Tanpa Orde Baru, seperti dicatat Fawaizul Umam dalam Kala Beragama Tak Lagi Merdeka (2014:156), “MUI tampak memainkan peran sebagai pemberi legitimasi teologis atas setiap kebijakan negara, di masa reformasi, saat negara melemah, MUI—khususnya dalam konteks praksis kebebasan berama—memaikan peran terutama sebagai lembaha control yang menjalan semacam screening (penyaringan) keyakinan guna menertibkan praktik-praktik keberislaman masyarakat dengan memancang keyakinan mainstream sebagai tolok ukur utama.”
Hari ini MUI dipandang memiliki legitimasi penuh untuk menentukan halal-haramnya sebuah produk. Sejak 6 Januari 1989, MUI sudah punya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Oleh lembaga ini sebuah produk diuji dan mendapat sertifikat halal jika lolos.
Dalam politik Indonesia termutakhir, merangkul MUI berarti merangkul Islam. Tak heran jika Ketua MUI Ma’ruf Amin kemudian digandeng Joko Widodo sebagai pasangannya dalam pilpres 2019. Keduanya kemudian menang dan Ma’ruf Amin pun tercatat sebagai Ketua MUI pertama yang sukses jadi wakil presiden.
Editor: Windu Jusuf