tirto.id - Masjid Jogokariyan di Yogyakarta memiliki sejarah panjang dan unik. Sesuai namanya, masjid yang didirikan oleh pengurus Muhammadiyah ini menempati lokasi di Kampung Jogokariyan. Sebelum masjid ini berdiri, Jogokariyan dikenal sebagai salah satu basis simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Riwayat bermula dari masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana IV (1814-1822). Kala itu, populasi abdi dalem dan prajurit kraton yang menghuni area dalam benteng istana Ngayogyakarta Hadiningrat dirasa sudah terlalu padat. Maka, Sultan HB IV memerintahkan agar dibuka sebuah kampung baru.
Lokasi yang dipilih adalah kawasan yang terletak di sebelah utara agak ke timur Panggung Krapyak. Kampung anyar ini diberi nama Jogokariyan. Sultan HB IV kemudian memerintahkan agar sebagian abdi dalem dan prajurit ditempatkan di kampung yang baru saja dibuka tersebut.
Seperti dikutip dari website resmi Masjid Jogokariyan, masyarakat kampung ini pada umumnya bernuansa “abangan” karena adanya pengaruh kraton yang masih sering melakukan praktik-praktik tradisi Jawa.
Dari tahun ke tahun, kampung ini kian berkembang. Perubahan yang cukup signifikan terjadi ketika banyak warga -yang merupakan bekas prajurit atau abdi dalem- menjual tanah atau rumahnya kepada para pengusaha batik. Sejak itulah, Jogokariyan juga lekat sebagai sentra industri. Dan tentu saja, terbangun kultur majikan dan pekerja di situ.
Adi Nur Ahmad (2017) dalam penelitiannya bertajuk “Masjid Membangun Umat: Sejarah Masjid Jogoakriyan di Yogyakarta 1980-2013”, menuliskan, banyak warga Jogokariyan yang menjadi buruh batik dan tenun. Mereka menjadi miskin di kampung sendiri seiring semakin majunya usaha batik dan tenun milik kaum pendatang.
Kultur seperti inilah, ditambah karakter asal masyarakatnya yang cenderung “abangan”, yang membuat masyarakat Jogokariyan menyambut baik kehadiran PKI semasa era pergerakan nasional pada abad ke-20 dan berlangsung hingga setelah Indonesia merdeka. Jogokariyan pun kemudian dikenal sebagai salah satu basis PKI di Yogyakarta.
Terjadinya peristiwa berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta yang merembet ke sejumlah daerah termasuk Yogyakarta, menjadi titik balik perubahan karakter masyarakat di kampung ini. Hingga nantinya, didirikan sebuah masjid yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Jogokariyan.