tirto.id - Wafatnya Sultan Hamengkubuwana (HB) III pada 3 November 1814 membuat istana Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat terguncang. Sang raja tewas dengan sebab yang masih belum diketahui. Sementara putra mahkota penggantinya, Gusti Raden Mas Ibnu Jarot, masih sangat belia.
Pangeran Jarot terpaksa naik takhta dengan gelar Sultan HB IV saat umurnya baru menginjak 10 tahun dan
baru memerintah secara resmi 6 tahun kemudian. Tapi, usia pemerintahannya hanya sebentar. Pada 3 Desember 1822, sang raja muda tiba-tiba meninggal dunia saat sedang bertamasya. Ada desas-desus, ia tewas lantaran diracun.
Mewarisi Rezim Bermasalah
Pangeran Jarot mewarisi banyak persoalan yang ditinggalkan rezim sebelumnya di bawah kendali sang ayah. HB III kerap dianggap lemah. Ia dua kali naik takhta berkat campur tangan Inggris dan Belanda.
Akibatnya, masa pemerintahan Sultan HB III pun ibarat dalam belenggu. Orang-orang asing kerap memengaruhi kebijakan sang raja, yang sebagian besar merugikan kesultanan.
Baca juga:
Di masa pendudukan Inggris pada 1812, seperti dituturkan Herman Pratikto dalam Mencari Bende Mataram (2004), Sultan HB III harus menyerahkan sejumlah wilayah kesultanan meliputi Kedu, Jipang (Blora), Japan (Mojokerto), Grobogan, dan sebagian Pacitan (hlm. 174). Itu sebagai pengganti atas “jasa” Inggris menaikkan HB III ke tampuk kekuasaan.
Selain itu, wilayah Kesultanan Yogyakarta juga terbelah menjadi dua di era Sultan HB III. Atas desakan Inggris, sultan harus memberikan sebagian wilayahnya kepada seorang pamannya yang bernama Pangeran Natakusuma.
Menurut Purwadi dalam Perjuangan Kraton Yogyakarta: Jasa Sri Sultan Hamengku Buwono I-X dalam Memakmurkan Rakyat (2003), Natakusuma memang bekerja sama dengan Inggris di bawah pimpinan Thomas Stamford Raffles. Hasil pembagian wilayah itulah yang melahirkan kerajaan baru di Yogyakarta, yakni Kadipaten Pakualaman, yang dipimpin Pangeran Natakusuma dengan gelar Pakualam I.
Pakualam I nantinya turut mengambil peran dalam urusan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta sepeninggal Sultan HB III yang mati misterius itu. Penerusnya, Sultan HB IV, ternyata juga mengalami hal yang nyaris serupa: hidupnya berakhir dengan teka-teki yang belum terpecahkan hingga kini.
Raja Tanpa Kuasa
Pangeran Jarot sebenarnya bukan anak sulung. Sultan HB III, seperti tercatat dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta (1990), punya putra tertua bernama Raden Mas Antawirya (hlm. 86).
Namun, lantaran Pangeran Antawirya bukan lahir dari permaisuri, melainkan dari istri selir bernama R.A. Mangkarawati, dan tidak ditunjuk sebagai putra mahkota oleh Sultan HB III, maka ia tidak berhak atas takhta Yogyakarta. Antawirya kelak memimpin perjuangan melawan Belanda. Orang-orang lebih mengenalnya dengan nama Pangeran Diponegoro.
Putra mahkota yang ditunjuk Sultan HB III sebelum wafat adalah Pangeran Jarot, yang lahir dari permaisuri, Gusti Kanjeng Ratu Kencono, pada 3 April 1804. Ia dinobatkan sebagai raja ketika usianya baru 10 tahun. Maka, lantaran raja masih bocah, jalannya roda pemerintahan untuk sementara dipegang oleh orang yang ditunjuk sebagai wali raja, yakni Pangeran Natakusuma atau Pakualam I.
Baca juga:
Natakusuma memegang kendali pemerintahan Kasultanan Yogyakarta sejak 1814. Padahal, dua tahun sebelumnya, ia sudah dikukuhkan pemerintah Inggris sebagai penguasa Kadipaten Pakualaman. Dengan demikian, Pakualam I menduduki dua singgasana sekaligus di Yogyakarta.
Memimpin dua kerajaan berdampak terhadap fokus Pakualam I, yang tentu saja lebih mengutamakan takhta Pakualaman yang sudah pasti dimilikinya. Apalagi ia pernah berjasa membantu penjajah, sehingga di masa-masa pemerintahan HB IV, Kasultanan Yogyakarta seolah tidak bertaji.
Situasi seperti ini mengakibatkan munculnya sejumlah polemik internal di lingkungan istana Yogyakarta, terutama lantaran ulah Patih Danureja IV (1813-1824). Peter Carey dalam Sisi Lain Diponegoro (2017) mencitrakan pejabat tinggi kesultanan ini sebagai sosok yang korup dan ambisius, selain dikenal penjilat dan kerap membantu Belanda demi kepentingan pribadinya (hlm. 12).
Memang begitulah adanya. Berkat kekuatan siasat dan pengaruhnya yang besar, sepak terjang Patih Danureja IV tiada yang mampu menangkal. Baik Pakualam I sebagai wali raja, apalagi Sultan HB IV yang baru beranjak remaja. Sang sultan ibarat raja tanpa kuasa.
Sultan Belia yang Mati Muda
Pakualam I, menurut catatan Purwadi, akhirnya meletakkan jabatan sebagai wali raja pada 20 Januari 1820 karena Pangeran Jarot dianggap sudah cukup umur (hlm. 161). Pangeran Jarot alias Sultan HB IV pun resmi memegang tampuk pemerintahan, usianya waktu itu 16 tahun.
Jika Pakualam I yang sudah senior lagi berpengalaman saja tidak sanggup memegang kendali pemerintahan Kesultanan Yogyakarta dengan baik, apalagi Sultan HB IV yang sedang asyik-asyiknya menikmati masa remaja. Terlebih, sebagai raja muda, ia bergelimang harta.
Di situlah ulah Patih Danureja IV semakin menjadi-jadi. Selain mendukung beberapa kebijakan pemerintah Belanda yang merugikan rakyat, termasuk soal pajak dan sewa tanah, sang patih juga kian getol menempatkan keluarga dan para kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di istana.
Kelak, seperti dituturkan Daniel Agus Maryanto dalam Pangeran Diponegoro: Pahlawan dari Gua Selarong (2003), Patih Danureja IV membantu Belanda dengan mengerahkan orang-orangnya memerangi Pangeran Dipanegara (hlm. 12). Mereka membakar kediaman Dipanegara di Tegalrejo bersama pasukan Belanda yang menjadi awal pecahnya Perang Jawa (1825-1830).
Baca juga:
Jalannya pemerintahan Kesultanan Yogyakarta di bawah Sultan HB IV tetap begitu-begitu saja tanpa sanggup menghentikan berbagai manuver berbahaya yang dilancarkan Patih Danureja IV. Sang raja muda bahkan hanya memerintah kurang dari 3 tahun sejak memegang kendali kekuasaan dari Pakualam I.
Tepat hari ini 195 tahun silam, pada 6 Desember 1822, Sultan HB IV meninggal dunia setelah kembali ke keraton dari perjalanan ke salah satu pesanggrahannya. Diungkap Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2011), "... wafatnya Hamengkubuwono IV pada 3.30 sore. Cara wafatnya menjadi asal-usul nama julukan baginya, Sultan seda besiyar (sultan yang wafat tatkala keluar pesiar)" (cat. kaki 174, hlm. 590).
Sementara kematian HB IV digambarkan sangat mengerikan: "... tampaknya ia mendadak kena serangan penyakit ketika sedang makan—dan tubuhnya langsung membengkak, suatu pertanda ... bahwa ia telah diracuni" (hlm. 591).
Apakah Patih Danureja IV berada di balik kematian misterius Sultan HB IV yang tewas pada usia 19 itu?
Memang belum ada bukti kuat yang ditemukan terkait kemungkinan tersebut. Namun, kabar bahwa Sultan HB IV meninggal lantaran diracun disebarluaskan orang-orang Patih Danureja IV yang menuduh pelakunya adalah orang suruhan Dipanegara.
Sebaliknya, Dipanegara menuduh Danureja IV-lah dalang di balik kematian Sultan. Tuduhan ini juga menjadi desas-desus tersendiri di kalangan rakyat.
Pendapat Dipanegara soal pembunuhan Sultan terekam dalam percakapan antara dirinya dengan Kapten J.J. Roeps, tentara yang mengawalnya ketika dibuang dari Magelang ke Batavia. Percakapan ini tersimpan dalam koleksi pribadi Cornets de Groot dan dikutip Peter Carey dalam bukunya.
"Ketika [HB IV] wafat tubuhnya membengkak mengerikan," tutur Dipanegara.
"Kalau begitu ia pastilah diracuni," timpal Roeps.
Tanpa ada sedikit pun perubahan perasaan, Dipanegara melanjutkan dengan nada yang sama, "Ia menerima nasi dan makanan Jawa dari Patih [Danureja IV] dan hanya sejam kemudian ia wafat" (cat. kaki 175, hlm. 591).
Pengganti Sultan HB IV adalah putra mahkota Raden Mas Gathot Menol, yang ketika dinobatkan masih berusia 3 tahun. Semasa era Sultan HB V ini, kisruh di Yogyakarta justru kian meningkat, termasuk meletusnya Perang Jawa yang diakhiri dengan kekalahan Dipanegara akibat siasat licik Belanda.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan