tirto.id - Sebelum aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI), Ahmad Aidit alias Dipa Nusantara Aidit pernah tinggal 4 tahun di rumah Isa Anshary. “Dalam hubungan keluarga, Kiai Haji Isa Anshary sebagai paman DN Aidit,” tulis Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah 2 (2017: 473).
Semua tahu, dalam sejarah politik Indonesia keduanya bersilang jalan. Aidit ke PKI, sementara Isa dikenal sebagai tokoh Persatuan Islam (Persis) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang berseberangan dengan PKI.
Isa Anshary adalah tokoh Islam yang cerdas dan menonjol sejak muda. Pada 1938, ketika usianya baru sekitar 22 tahun, dia sudah merilis buku berjudul Islam dan Demokrasi. Di tahun-tahun berikutnya, Isa Anshary terus menulis, bahkan ketika berada dalam tahanan. Selain menulis, dia juga seorang singa podium.
Sejak 1940, Isa Anshary adalah ketua pusat dari Persis. Ketika Jepang datang, Isa juga aktif di satu-satunya organisasi Islam zaman Jepang, Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), yang belakangan perannya diteruskan Masyumi. Setelah Jepang keok, Persis yang vakum dihidupkannya lagi dan jadilah dia Ketua Persis. Lewat Masyumi dan Persis itulah Isa Anshary berpolitik. Baginya politik sangat penting, karena itu politik adalah “alat untuk mencapai cita-cita umat Islam.”
Berpolitik Demi Syariat Islam
Herry Muhammad dalam Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 (2006: 111) menggambarkan Isa Anshary sebagai “sosok yang memadukan ilmu dan agama dengan pendekatan podium dan tulis.” Dia masuk politik untuk menegakkan syariat Islam. Isa Anshary bahkan sudah bicara soal darul Islam (negara Islam) di Indonesia.
“Tak ada seorang muslim pun bangsa apa dan di mana juga dia berada yang tidak bercita-cita tegaknya Darul Islam,” katanya di majalah Hikmah pada 1951, seperti dikutip Herry Muhammad (hlm. 112).
Lebih lanjut Isa menyebut, “[...] hanya orang yang sudah bejat moral, iman dan Islamnya yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.”
Menurut Isa, soal caranya menuju negara Islam itu, sudah ada dua golongan orang-orang Islam yang berselisih jalan. Ada yang angkat senjata dengan mendirikan negara dalam negara, yakni Darul Islam ala Kartosoewirjo. Ada lagi yang lewat jalur hukum yang legal dan lewat parlemen pula, inilah Masyumi.
Isa Anshary adalah tokoh Islam yang tidak terima dengan bunyi Pancasila masa kini, yang berbeda dengan Piagam Jakarta dengan bunyi sila pertamanya “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dicoretnya kata-kata terakhir dalam sila pertama itu, seperti ditulis Holk Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo (1995: 44), menurut Isa Anshary adalah permainan sulap yang dipenuhi kabut. Di bagian lain, Holk Dengel menyebut Isa Anshary sebagai sosok yang anti-Pancasila (hlm. 164).
Lepas dari setuju atau tidaknya dengan Pancasila yang tidak seperti Piagam Jakarta dan kecenderungannya pada negara Islam, Isa Anshary, menurut Sri Indra Gayatri dalam Sejarah Pemikiran Indonesia: 1945-1966 (2007: 216), “menganjurkan ummatnya untuk cinta tanah air tempat mereka hidup melalui cara berjihad.”
Isa memang termasuk politikus Islam yang tidak menginginkan negara sekuler. Jadi harus hukum Islam yang ditegakkan, meski jalannya berliku.
Soal konsep negara Islamnya, Isa Anshary pernah bikin kesal kaum nasionalis. Dalam sebuah rapat raksasa, Isa Anshary menyebut bahwa nasionalisme itu anti-Islam. Menurut Isa, mengapa kaum nasionalis menolak negara Islam, itu karena mereka adalah “Muslimin Palsu.” Di Indonesia, kebanyakan kaum nasionalis bukan tidak beragama. Banyak dari mereka yang Islam. Dicap Muslimin Palsu jelas bikin kaum nasionalis yang penganut Islam kesal.
Selain dicap Muslimin Palsu, Isa juga menganggap kaum nasionalis sebagai netral agama. Baginya, seperti ditulis Dengel, “hanya Islamlah satu-satunya peraturan dengan mana dunia dapat diatur dan disusun” (hlm. 164).
Isa Anshary dalam bukunya, Ummat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1954: 26), menyebut bahwa “nasionalisme atau marhainisme, semuanja itu menolak dan menentang undang-undang Islam berlaku.” Jika terbaca oleh kaum muslim taat di pedesaan dan tidak paham politik, tulisan Isa Anshary ini barangkali akan mampu menghilangkan suara Partai Nasional Indonesia (PNI) dan menambah suara Masyumi. Di Jawa Barat sendiri Isa Anshary adalah Ketua Cabang Masyumi.
Alergi kaum nasionalis pada negara Islam, menurut Isa Anshary, salah satunya disebabkan aksi bakar rumah dan penggarongan oleh DI Kartosoewirjo. Isa dengan kritis bertanya, “[...] apakah ada yang tahu persis orang yang membunuh, membakar dan merampok itu adalah Gerakan DI?”
Di era 1950-an itu, memang terlalu banyak kekacauan terjadi.
Revolusi Nasional Selesai, Revolusi Islam Dimulai
Bagi Isa Anshary, setelah revolusi kemerdekaan Indonesia selesai, bukan berarti revolusi Indonesia selesai pula. Masih ada revolusi lanjutan. “Orang jangan mengira, dengan selesainya revolusi nasional dan sosial, berarti revolusi Indonesia telah berakhir. Selesainya revolusi nasional dan sosial, adalah permulaan dari revolusi Islam di Indonesia,” tulisnya dalam Falsafah Perdjuangan Islam (1951: 143).
“Jiwa Islam, roh Islam, semangat Islam, api Islam, harus ditumbuhkan, dihidupkan, disusun, dan susunan ini harus pula melalui pembongkaran yang lama,” tulis Isa. Segala yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tidaklah diperlukan lagi.
Di akhir era 1950-an Masyumi bukan partai yang dekat dengan pemerintah Sukarno. Ada orang-orang Masyumi yang terlibat pemberontakan PRRI di Sumatra. Bahkan, PKI telah dianggap memanas-manasi pemerintah dengan mengamini bahwa ada orang Masyumi yang bermain dalam pemberontakan DI/TII Kartosoewirjo.
Masyumi akhirnya dibubarkan pada 1960. Isa Anshary, bersama tokoh-tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan tokoh lainnya, harus mendekam di Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun. Tampaknya inilah yang disebut oleh orang anti-komunis macam Buya Hamka sebagai "Zaman PKI".
Isa Anshary sempat hidup bebas setelah Sukarno lengser. Di zaman Soeharto pemikiran negara Islam ala Isa Anshary tentu lebih sulit dituangkan. Setelah Isa Anshary wafat, di bawah rezim Orde Baru, penolak Pancasila dan pendukung negara Islam jadi makin sulit untuk hidup.
==========
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Ivan Aulia Ahsan