tirto.id - Setiap tanggal 27 September, Indonesia memperingati Hari Postel (Pos dan Telekomunikasi). Tanggal tersebut selalu diperingati oleh masyarakat Indonesia setiap tahunnya, khususnya mereka yang tergabung dalam Komunitas Pos dan Telekomunikasi yang terdiri dari lembaga pemerintah, penyelenggara layanan telekomunikasi, dan para pejuang Pos Telegraf dan Telepon (PTT).
Peringatan yang juga kerap disebut sebagai Hari Bhakti Postel ini merupakan ungkapan syukur dan penghargaan dari komunitas pos dan telekomunikasi atas jasa dan perjuangan dari para pendahulu. Berkat perjuangannya, Pos dan Telekomunikasi atau Postel Indonesia dapat berjalan dan berkembang hingga hari ini.
Sebagai salah satu bentuk terima kasih kepada para pejuang terdahulu, berikut sejarah terciptanya peringatan Hari Postel atau Hari Bhakti Postel.
Sejarah Hari Postel
Ditetapkannya 27 September sebagai Hari Postel adalah hasil dari perjuangan para putra-putri Indonesia yang tergabung dalam Angkatan Muda Pos Telegraf dan Telepon yang (AMPTT) dalam mengambil alih Jawatan Pos Telegraf dan Telepon (PTT) dari kekuasaan pemerintahan Jepang. Kejadian tersebut berlangsung hanya dalam kurun waktu satu bulan.
Peristiwanya dimulai pada tanggal 3 September 1945. Pada hari itu, Soetoko mengadakan pertemuan dengan beberapa pemuda lainnya yang merupakan bagian dari AMPTT, seperti Slamet Soemari, Joesoef, Agoes Salman, Nawawi Alif, dan yang lainnya. Pada saat itu, AMPTT belum memiliki pengurus dan hanya terdiri dari beberapa anggota saja.
Melalui perundingan tersebut, disepakati bahwa Kantor Pusat PTT yang berada di Bandung harus sudah dikuasai paling lambat akhir bulan September 1945. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk realisasi pemindahan kekuasaan.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo), keberhasilan AMPTT merebut Gedung Pos atau PTT di Bandung membuat negara Indonesia yang baru merdeka memiliki dukungan infrastruktur telekomunikasi. Perangkat itu pula yang membuat perjuangan gerilya tentara dan rakyat Indonesia sukses mengusir penjajah.
Tindakan selanjutnya dilakukan setelah proklamasi Indonesia berusia satu bulan. Para pemuda dan pemudi AMPTT berusaha mendekati Jepang agar mereka bersedia menyerahkan kekuasaan Kantor PTT kepada Indonesia.
Karena, Komandan Pasukan Jepang menginstruksikan bahwa penyerahan Kantor Pusat PTT harus dilakukan oleh sekutu. Dengan begitu, rencana untuk merebut Kantor Pusat PTT harus lebih dimatangkan dan dirahasiakan agar dapat berjalan secara lancar.
Pada tanggal 23 September 1945, Soetoko bertemu dengan Ismojo dan Slamet Soemari untuk berunding. Perundingan tersebut pun menghasilkan sebuah keputusan, yaitu meminta kesediaan segera dari Mas Soeharto dan R. Dijar untuk menuntut pihak Jepang agar menyerahkan kekuasaan PTT secara damai, tanpa kekerasan.
Namun, jika pihak Jepang tidak mau menyerahkannya, mau tidak mau mereka akan menempuh jalur kekerasan dengan kekuatan yang berasal dari bantuan masyarakat. Setelah kekuasaan direbut, mereka pun berencana untuk untuk mengangkat Mas Soeharto menjadi Kepala Jawatan PTT dan R. Dijar sebagai Wakilnya.
Mas Soeharto sendiri sampai saat ini dikenal sebagai Bapak Pos dan Telekomunikasi (Postel) Indonesia. Kiprah dan perjuangannya telah diabadikan di Museum Pos Indonesia, Bandung.
Esok harinya, tanggal 24 September 1945, Soetoko meminta Mas Soeharto dan R. Dijar agar mereka menemui pimpinan PTT Jepang, yaitu Tuan Osada, untuk meminta pihak Jepang menyerahkan kekuasaan PTT kepada Indonesia secara damai dan terhormat. Hal tersebut dilakukannya tanpa menunggu instruksi dari Jakarta.
Sayangnya, permintaan tersebut ditolak. Indonesia hanya diperbolehkan untuk mengibarkan bendera Merah Putih di halaman belakang gedung di Jalan Cilaki. Pemuda-pemudi AMPTT pun menaikkan bendera Indonesia pada sebuah tiang tepat di tempat tugu PTT sekarang.
Walaupun begitu, mereka tidak lantas menyerah. Karena permintaan secara damai ditolak, mereka akan melakukan cara dengan unsur paksaan, sesuai dengan hasil perundingan pada 23 September lalu.
Pada tangggal 26 September 1945, Soetoko memanggil Soewarno, Komandan Cusin Tai, dan Nawawi Alif. Pada pertemuan tersebut, diputuskan bahwa mereka akan memaksa pihak Jepang dengan cara meruntuhkan tanggul dan mengelilingi kantor.
Agar koordinasi dari penyerangan tersebut berjalan dengan baik, Soetoko dijadikan sebagai ketua dan dibantu oleh tiga wakil ketua yang terdiri dari Nawawi Alif, Hasan Zein, dan Abdoel Djabar.
Pada sore harinya, Soetoko bertemu dengan Mas Soeharto untuk menjelaskan segala rencana yang telah disiapkan. Mas Soeharto pun menyetujui rencana tersebut dan mendukung mereka.
Pada malam harinya, anggota-anggota AMPTT berusaha semaksimal mungkin untuk mencari dan mengumpulkan senjata tajam dan kebutuhan lainnya untuk keperluan esok hari. Setelah menyusun taktik penyerangan, mereka pun mengumpulkan masyarakat sekitar yang bersedia secara sukarela membantu para anggota AMPTT.
Hari bersejarah pun tiba, hari yang sampai saat ini dikhususkan untuk memperingati usaha pemuda-pemudi dalam mengambil alih kekuasaan Jepan dari PTT. Sebelum melakukan penyerangan, mereka sekali lagi mencoba jalur damai. Namun, hasilnya serupa dengan yang sebelumnya, mereka tetap menolak untuk memberikan kekuasaan PTT pada Indonesia.
Sudah tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menunda penyerangan. Para anggota AMPTT pun berkumpul di halaman selatan, menyiapkan diri dengan senjata masing-masing.
Akhirnya, anggota AMPTT dan masyarakat yang sukarela membantu memasuki kantor yang diduduki jepang itu. Mereka menyudutkan pihak Jepang sehingga terpojok dan tidak dapat berbuat apapun.
Pada akhirnya, pihak Jepang yang menguasai PTT pun menyerah dan menyerahkan kekuasannya pada Indonesia. Setelah menghadirkan Mas Soeharto dan R. Dijar, pada pukul 11.00 WIB, Soetoko segera membacakan sebuah teks yang berbunyi sebagai berikut:
Atas nama pegawai PTT dengan ini, dengan disaksikan oleh masyarakat
Yang berkumpul di halaman PTT jam 11.00 tanggal 27 September 1945
Kami mengangkat Bapak Mas Soeharto dan Bapak R. Dijar,
Masing-masing menjadi Kepala dan Wakil Kepala Jawatan PTT seluruh Indonesia
Atas Nama AMPTT
Tertanda : SOETOKO
Setelah itu, para anggota AMPTT menurunkan bendera Jepang dan menggantikannya dengan Sang Merah Putih. Mereka pun menjaga gedung tersebut seharian, khawatir jika muncul penyerangan dari pihak Jepang.
Peristiwa inilah yang menjadikan tanggal 27 September sebagai Hari Bhakti Postel. Dengan mengingat kembali perjuangan para anggota AMPTT dan masyarakat, kita menjadi lebih bersyukur. Karena perjuangan mereka, kita dapat merasakan manfaat dari pos dan telekomunikasi hingga saat ini.
Perkembangan pos di Indonesia pun terus terjadi. Pada Juni 1995, Pos Telegraf dan Telepon (PTT) berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT.) dengan nama PT. Pos Indonesia (Persero), seperti yang kita kenal hingga saat ini.
Dengan berjalannya waktu, Pos Indonesia kini telah mampu menunjukkan kreatifitasnya dalam pengembangan pos di Indonesia dengan memanfaatkan insfrastruktur jejaring yang dimilikinya.
Penulis: Fatimah Mardiyah
Editor: Yantina Debora