tirto.id - Sekitar 1995, seorang murid SD di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, berkirim pesan melalui kartu pos kepada Presiden Soeharto. Selain mengucap selamat HUT ke-50 RI, bocah lugu itu membuat permohonan agar dibelikan sebuah sepeda. Sekolah dari si bocah itu jauh. Sebuah sepeda tentu akan memudahkan dirinya berangkat ke sekolah.
“Bapak Presiden, saya mengucapkan selamat hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-50. Bapak Presiden. Apakah Bapak berkenan membelikan saya sebuah sepeda ...? Sekolah saya jauh tapi belum punya sepeda...”
Bocah kecil dari Purworejo itu hanyalah salah satu contoh suara dari jutaan surat dan kawat ucapan selamat yang diterima Presiden Soeharto dalam rangka ulang tahun keluarga nasional sekaligus HUT RI ke-50. Perum Pos dan Giro saat itu diketahui menyiapkan kotak surat atau PO Box khusus beserta pelayanannya demi kesuksesan program.
Namun, itu gambaran bagaimana komunikasi di Indonesia berlangsung lebih kurang dua dekade lebih yang lalu. Dewasa ini, dengan tingkat kemajuan teknologi, orang tidak lagi menjadikan “pesan pos” sebagai satu-satunya cara untuk menyampaikan pesan. Bahkan ke Presiden RI sekalipun. Orang kebanyakan tentu akan memilih mengirim pesan via SMS atau pesan pendek telepon genggam, bahkan lebih mudah lagi via whatsApp. Orang pun dapat mengirim pesan ke Presiden RI kapanpun dan berapapun jumlahnya via media sosial seperti twitter.
Meski cenderung ditinggalkan pengguna karena alasan kepraktisan, komunikasi via pos tidaklah hilang begitu saja. Kantor pos, sebagai tempat yang membantu menyalurkan pesan-pesan itu terkirim, entah melalui media kartu pos ataupun surat biasa, tetap berlangsung dan hadir hingga saat ini.
Secara global, dari sembilan negara yang memiliki jumlah kantor pos terbanyak, mengacu kepada data Universal Postal Union hingga tahun 2015, Indonesia tercatat berada di posisi ketiga, dengan total 42.565 unit. Negara dengan jumlah kantor pos terbanyak ditempai oleh India, yang memiliki 161.193 unit. Posisi ketiga, dengan 53.646 unit ditempati oleh negeri tirai bambu, Cina. Negara-negara lain menyusul di belakangnya, Rusia, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Jepang, Kanada, dan Iran.
Melihat data sembilan negara itu, dapat dikatakan bahwa luas wilayah, dan jumlah penduduk berperan dalam menentukan jumlah kantor pos di suatu negara. Sementara, tolak ukur tingkat perekonomian -negara maju atau berkembang, bukan menjadi soal utama.
Amerika Serikat dan Jerman misalnya, yang dapat dikatakan berkategori ekonomi negara maju, ternyata masih lebih kecil jumlah kantor posnya dibandingkan dengan Indonesia ataupun India.
Lantas, bagaimana gambaran situasi kantor pos di Indonesia? Jumlah kantor pos di Indonesia antara 2014-2015, menurut data Universal Postal Union, tercatat mengalami perkembangan sebesar 27,09 persen. Pada 2014, jumlah kantor pos permanen tercatat 34.777 unit, sementara pada tahun 2015 telah mencapai 42.656 unit.
Perkembangan itu tentu dapat diartikan semakin memperkecil luas cakupan layanan dari setiap kantor pos. Dengan dasar asumsi total luas area yang perlu dilayani oleh kantor pos untuk seluruh Indonesia sebesar 1.904.569 km persegi, maka pada 2014, satu kantor pos permanen kurang lebih mencakup 54,77 km persegi area cakupan layanan. Sementara, pada 2015, satu kantor pos permanen mencakup 44,65 km persegi area cakupan layanan.
Selain kantor pos permanen, layanan mobile/keliling juga menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan. Kenaikannya terlihat sangat drastis, dari berupa 233 layanan mobile pada tahun 2014, menjadi 1.837 layanan pada tahun 2015, atau tumbuh sebesar 688,41 persen.
Layanan mobile kantor pos selain diartikan sebagai layanan pos keliling, juga termasuk layanan agen pos yang tersebar di berbagai wilayah. Termasuk jika agen pos itu hanya seorang saja. Kenaikan layanan mobile dalam pos ini tentu semestinya sejalan dengan perkembangan teknologi, ataupun kebutuhan terhadap daya jangkau layanan pos di wilayah Indonesia.
Dalam menjalankan kegiatannya, kantor pos itu tentu memiliki staf yang bekerja dan menjadikan layanan pos berlangsung dengan baik setiap harinya. Meskipun jumlah kantor pos meningkat, namun pada periode 2014-2015, jumlah pekerja pos malah menunjukkan penurunan.
Pada 2014 terdapat 29.552 orang dan turun menjadi 29.307 orang pada 2015. Menariknya, persentase pekerja perempuan dari kantor pos diketahui malah cenderung naik. Data Universal Postal Union memberitahu jika pada 2014 proporsi pekerja perempuan di kantor pos Indonesia hanya berjumlah 6 persen dari total pekerja dan meningkat tajam menjadi 24 persen pada 2015.
Volume Lalu-lintas Surat Menurun
Sejalan dengan semakin mudahnya orang dalam memilih alternatif media selain pos untuk berkirim kabar dan pesan, volume surat-menyurat pun semakin menurun. Pada 2014, Universal Postal Union mencatat ada sebanyak 159,83 juta lalu lintas surat domestik yang menggunakan layanan kantor pos di Indonesia. Sementara pada tahun 2015, lalu lintas surat domestik itu hanya mencapai sebanyak 21,9 juta lalu lintas.
Berbeda dengan soal surat, lalu lintas layanan barang domestik tercatat meningkat, dari 2,99 juta pada 2014 menjadi 6,36 juta pada 2015. Peningkatan layanan pengiriman barang domestik ini sejalan dengan perkembangan teknologi informasi internet yang mendorong kemudahan orang dalam berbelanja.
Maraknya penjual barang via platform media sosial di internet menjadi salah satu pendorong kenaikan lalu-lintas barang melalui pos. Dari sisi pendapatan, pengiriman surat memang masih menjadi kontributor terbesar bagi pemasukan kantor pos.
Namun, porsinya menurun dari 41 persen pada 2014 menjadi 36,13 persen pada 2015. Tak hanya layanan pengiriman surat yang mengalami penurunan, layanan keuangan melalui kantor pos pun memberikan kontribusi yang lebih sedikit. Pada 2014, layanan keuangan menyumbang 35 persen dari total pendapatan kantor pos dan menurun mencapai 28,06 persen pada 2015.
Di sisi lain, layanan pengiriman barang/logistik menunjukkan tren yang meningkat. Pada 2014, sumbangan dari layanan ini untuk kantor pos sebesar 17 persen dan meningkat menjadi 23,17 persen pada 2015. Pada aspek lain, peningkatan kualitas layanan kantor pos sendiri masih terus berlangsung.
Jika sebelumnya, pada 2014, hanya terdapat 30.302 kantor pos yang memiliki koneksi elektronik, seperti internet dan telepon, maka pada 2015 kondisi itu telah berubah. Semua kantor pos permanen di Indonesia sudah terhubung dengan koneksi elektronik. Tentu itu menjadi prasyarat penting agar kantor pos tetap menjadi layanan ekspedisi yang andal.
Namun, meskipun seluruh kantor pos telah terhubung dengan perangkat elektronik, namun yang memiliki internet untuk digunakan publik masih terbilang sangat sedikit. Sejak 2014 hingga 2015, hanya ada 420 kantor pos permanen di Indonesia yang memiliki fasilitas internet untuk digunakan publik.
Padahal, keberadaan kantor pos seharusnya menjadi penghubung masyarakat, dan akses internet dapat digunakan sebagai penghubungnya. Sehingga, ketimpangan akses internet di Indonesia dapat dikurangi. Selain itu, pemberian akses internet kepada publik juga dapat menjadi bagian dari pendapatan bagi kantor pos sendiri.
Melihat perubahan lini layanan yang dibutuhkan masyarakat, sudah saatnya kantor pos di Indonesia beradaptasi dengan perkembangan zaman. Indonesia dapat berkaca dari kasus kantor pos di Jepang. Sekalipun soal jumlah kantor pos, Jepang jauh di bawah Indonesia, namun kantor pos di sana dianggap sebagai model lembaga penghubung masyarakat yang baik.
Kantor pos Jepang juga dikenal sebagai lembaga keuangan yang baik dan memiliki aset hingga 3,3 triliun dolar AS, bahkan nilai ini dapat dikatakan lebih dari nilai PDB Perancis. Hal tersebut terjadi karena kantor pos di Jepang bukan sekadar kantor pos, melainkan berhasil meluaskan model bisnisnya dari yang hanya berkutat masalah logistik menjadi perantara keuangan.
Kantor pos di Indonesia pun bisa meluaskan jangkauan usahanya, tak hanya sebagai pengantar surat dan barang, tetapi juga bisa menjadi penyedia akses teknologi dan komunikasi bagi masyarakat. Dengan jangkauannya yang telah mencapai pelosok negeri dan sifatnya sebagai penghubung antar penduduk, maka bukan tak mungkin bisnis ini dapat terus berjalan berkesinambungan.
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Suhendra