Menuju konten utama
1 Agustus 1774

Sejarah Eksperimen Joseph Priestley & Penemuan Oksigen

Pada 1774, Joseph Priestley berhasil mengidentifikasi suatu gas yang vital bagi kehidupan. Lavoisier kemudian menamainya oksigen.

Sejarah Eksperimen Joseph Priestley & Penemuan Oksigen
Ilustrasi Mozaik Joseph Priestley. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sebanyak 63 pasien meninggal dalam waktu 24 jam di RS Sardjito Yogyakarta pada malam petaka 3-4 Juli 2021. Beberapa rumah sakit lain pun melaporkan kegawatdaruratan serupa sejak gelombang kedua COVID-19 menyapu Indonesia. Brazil dan India sudah mengalami lebih dulu. Antrean panjang di depot-depot pengisian oksigen yang biasanya diberitakan terjadi di Brazil dan India, kini dialami sendiri oleh Indonesia.

Oksigen adalah elemen krusial bagi manusia dan makhluk hidup lain di Bumi. Tidak seperti makanan dan air yang dapat disimpan di dalam tubuh, tidak ada hewan di muka Bumi yang dapat menyimpan udara sebagai cadangan ketika persediaan menipis.

Sejauh ini, baru ditemukan satu spesies yang tidak memerlukan oksigen untuk bernapas dan menghasilkan energi, yaitu Henneguya salminicolaparasit berukuran 8 milimeter yang berinang di tubuh salmon. Kemungkinan dalam perjalanan evolusinya, ia kehilangan kemampuan respirasi aerob yang membutuhkan oksigen.

Perjalanan evolusi makhluk hidup dan dinamika komposisi udara di Bumi saling berkaitan. Oksigen—komposisinya kini sekitar 20 persen di atmosfer dan 45 persen di kerak Bumi—ternyata tidak serta-merta tersedia ketika planet ini terbentuk 4,5 miliar tahun silam. Lagipula, tidak ada makhluk hidup saat itu.

Jane Qiu dalam artikel “Oxygen fluctuations stalled life on Earth” yang terbit di Nature(2014) menyebut oksigen baru muncul di alam sekira 2,3 miliar tahun lalu melalui peristiwa yang disebut Great Oxidation Event alias Peristiwa Oksidasi Besar. Setelah peristiwa itu, kandungan oksigen turun drastis. Di masa itu, Bumi mengalami masa The Boring Billion—semiliar tahun yang membosankan karena tidak adanya peristiwa evolusi hewan yang berarti.

Planet ini menjadi benda semesta yang sangat menjemukan hingga terjadinya peristiwa lonjakan oksigen yang kedua sekira 800 juta tahun lalu. Saat itulah, bentuk kehidupan yang lebih kompleks mulai berevolusi.

Kehidupan itu sendirilah yang menyebabkan Bumi tiba-tiba memiliki kandungan oksigen berlimpah. Makhluk hidup yang dianggap paling bertanggung jawab atas meningkatnya kadar oksigen di Bumi adalah Cyanobacteria, filum alga biru-hijau yang membuat warna air laut atau danau berwarna biru atau hijau.

“Nenek moyang Cyanobacteria mengembangkan cara untuk mengambil energi dari sinar matahari, dan menggunakannya untuk mengolah air dan karbondioksida menjadi gula,” tulis Michael Marshall di laman BBC Earth.

Itulah proses kimia yang oleh para saintis disebut sebagai fotosintesis. Tumbuhan berdaun hijau masa kini pun masih menggunakan teknik berumur miliaran tahun itu untuk menghasilkan makanan dan energi.

Proses fotosintesis menghasilkan gas buangan yang tidak terlalu dibutuhkan oleh nenek moyang Cyanobacteria, yakni oksigen. Cyanobacteria yang jumlahnya signifikan terus-menerus melepaskan oksigen hingga mengubah komposisi atmosfer.

Eksperimen Joseph Priestley

Kendati Homo sapiens diperkirakan sudah beraktivitas dan menghirup oksigen sekitar 300.000 tahun lalu, tapi baru pada abad ke-2 SM manusia melakukan eksperimen terkait udara. Kala itu, seorang ilmuwan dari Byzantium bernama Philo melakukan eksperimen “gelas dan lilin” yang terkenal.

Mulanya, Philo meletakkan sebatang lilin menyala di tengah bejana berisi air. Philo lalu menutup lilin itu dengan dengan gelas. Hasilnya, lilin perlahan padam dan air dalam bejana pun naik ke gelas. Galileo Galilei melanjutkan penelitian ini pada abad ke-17 dan merumuskan prinsip perubahan suhu yang kelak melahirkan penemuan termoskop dan termometer.

Pada masa Philo hidup, manusia meyakini bahwa setiap benda di alam terbentuk dari empat elemen, yaitu tanah, api, udara, dan air. Pada abad ke-18, gagasan empat elemen itu digugurkan oleh Joseph Priestley.

“Priestley (1733-1804) adalah peneliti yang sangat produktif dan terkenal dalam filsafat. Dia menemukan air berkarbonasi dan penghapus karet. Dia juga mengidentifikasi selusin senyawa kimia utama dan menulis makalah awal yang penting tentang listrik,” tulis laman American Chemical Society.

Pada 1774, Priestley melakukan serangkaian eksperimen untuk menganalisis sifat-sifat udara. Eksperimen itu menuntunnya pada kesimpulan bahwa udara bukanlah sebuah elemen dasar, melainkan suatu komposisi atau campuran berbagai macam gas.

Lain itu, Priestley juga mengamati bahwa lilin akan padam bila diletakkan pada wadah tertutup karena kehabisan udara. Lalu, ketika dia meletakkan tanaman berdaun hijau dan memaparkannya pada sinar matahari, lilin yang hampir padam ternyata bisa menyala lagi. Priestley punya dugaan tanaman itu “menyagarkan” kembali udara di dalam wadah tertutup. Udara itulah yang menurutnya memungkinkan api tetap menyala.

Pada 1 Agustus 1774—tepat hari ini 247 tahun silam, Priestley melakukan sebuah percobaan yang hasilnya bakal melambungkan namanya.

Dengan menggunakan sebuah suryakanta, dia memfokuskan sinar matahari pada gumpalan merkuri oksida (HgO) yang diletakkan pada wadah kaca tertutup. Proses itu membuat merkuri oksida memanas dan kemudian melepaskan suatu gas. Priestley lantas menamai gas itu “dephlogisticated air”.

Dalam eksperimen lanjutan, Priestley mendapati gas temuannya itu dapat membuat nyala api lebih besar.

Penemuan itu lantas menarik perhatian ilmuwan Perancis Antoine-Laurent Lavoisier. Saat itu, Lavoisier tengah mengembangkan teorinya tentang reaksi kimia. Masih di tahun yang sama, Lavoisier mengundang Priestley untuk menyampaikan temuannya di hadapan para ilmuwan terkemuka Perancis.

Lavoisier kemudian juga melakukan percobaan yang sama dan mengkonfirmasi bahwa gas yang disebut Priestley “jauh lebih baik dari udara biasa” itu memang memicu pembakaran dan menyokong kehidupan. Lavoisier kemudian menamakannya oksigen—dari bahasa Yunani, oxys yang berarti “asam”, dan genes, berarti “menghasilkan/menurunkan”—karena mengira ia adalah penyusun semua asam.

Infografik mozaik Joseph Priestley

Infografik mozaik Penemuan Oksigen. tirto.id/Fuad

Nubuat Priestley

Dunia sains kini mengakui Priestley sebagai “penemu” oksigen. Tapi, masih ada nama lain yang juga layak disebut dalam penemuan oksigen, yaitu Carl Wilhelm Scheele—seorang ahli farmasi dari Swedia.

Scheele disebut telah mengidentifikasi gas yang kemudian dikenal sebagai oksigen pada 1771. Saat itu, Scheele menyebutnya sebagai “udara api”. Seturut studi George L. Sternbach dan Joseph Varon yang diterbitkan dalam Journal of Emergency Medicine (Vol. 28, No. 2, 2005), Scheele juga mengirimkan laporan eksperimennya kepada Lavoisier pada September 1774. Tapi, Lavoisier mengaku tidak pernah menerima naskah Scheele itu.

Meski kemudian mendapat kecaman dari para sejarawan, Lavoisier tetap diakui sebagai pemberi nama oksigen. Nama itu pun sebenarnya mengandung ketidaktepatan juga karena zat penghasil asam sebenarnya adalah hidrogen. Namun, nama oksigen tetap dipakai hingga kini karena sudah terlanjur populer di kalangan saintis dan penulis-penulis masyhur.

Erasmus Darwin, misalnya, menulis puisi berjudul “Oxygen” dalam bukunya The Botanic Gardenyang terbit pada 1791. Ada pula Jules Verne yang menggunakannya dalam novel Around The Moonyang terbit pada 1870. Dalam novel itu, Verne mendeskripsikan sebuah bar yang memiliki bilik-bilik oksegen “tempat orang-orang yang sistem tubuhnya lemah, dapat menikmati beberapa jam hidup yang aktif.”

Penemuan oksigen tidak hanya berkontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lahir sesudahnya, tapi juga pada kesehatan umat manusia. Mengutip kembali Priestley, “Dibandingkan dengan udara biasa, gas ini rasanya tidak jauh berbeda di paru-paru saya. Tapi, saya dapat merasakan dada saya menjadi begitu ringan setelah saya menghirupnya. Siapa tahu suatu hari nanti, udara murni ini menjadi barang mewah.”

Kini, di masa pandemi yang menyesakkan ini, testimoni yang diucap Priestley pada abad ke-18 itu seolah menjadi nubuat.

Baca juga artikel terkait ILMUWAN atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi