tirto.id - Apa yang saat ini kita kenal sebagai “bendera Islam”—disebut dengan istilah al-Liwâ’atau ar-Râyah—sebenarnya merupakan simbol komando dalam perang yang hanya boleh dipegang oleh pemimpin perang.
Ibnu Batthal menjelaskan tentang ar-Râyahsebagai berikut:
“Dalam hadis tersebut (hadis pemberian bendera oleh Rasulullah pada pemimpin perang), diketahui bahwa ar-Râyah tidak wajib dibawa kecuali oleh orang yang diberi kuasa oleh Imam (Pemimpin Negara) dan tak mempunyai otoritas apa pun bagi orang yang mengambilnya kecuali dengan mandat kekuasaan.”
Bendera tersebut bukanlah simbol negara Islam atau bahkan simbol agama Islam sebagaimana dipahami sebagian orang saat ini. Tak pernah ditemukan catatan valid bahwa bendera ini dikibarkan di kediaman Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi Islam atau di Masjid Nabawi yang saat itu berfungsi sebagai pusat ibadah, pengajaran, dan musyawarah.
Demikian pula di zaman Khulafaur Rasyidin. Para khalifah penerus Nabi tidak menggunakan bendera itu sebagai simbol negara di kediaman mereka yang juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Di zaman ini, bendera yang dahulu digunakan sebagai simbol komando perang kerap dibawa sebagian orang dalam acara kelompok tertentu.
Secara fikih tentu tak haram membawa bendera itu, tapi nilai sejarahnya akan rusak. Bendera tersebut juga tak lagi bisa diklaim sebagai “simbol Islam” sebab telah berubah fungsi menjadi simbol yang identik dengan kelompok tertentu—mereka yang menggunakan al-Liwâ’atau ar-Râyah sebagai alat propaganda.
Kagi pula perlu dipertanyakan, mengapa membawa simbol perang dalam keadaan damai?
Untuk mengetahui lebih jelas tentang sejarah al-Liwâ’atau ar-Râyah, silakan simak artikel berikut ini.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti