tirto.id -
Sebagaimana dipresentasikan oleh tim Tenaga Ahli Baleg, naskah RUU itu kini diganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Meski alami kemajuan, Komnas Perempuan meminta Pimpinan Panitia Kerja Badan Legislasi (Panja Baleg) RUU P-KS yang telah memimpin penyusunan aturan tersebut dapat segera menuju tahapan selanjutnya, yang menjadi inisiatif DPR RI tersebut.
Komnas Perempuan juga mengapresiasi upaya Anggota DPR RI dalam mengimplementasikan prinsip demokrasi di dalam perumusan RUU ini. Upaya ini ditunjukkan dengan membuka Rapat Pleno agar dapat disaksikan langsung oleh publik.
Selain kemajuan dari aspek proses, Komnas Perempuan juga mencatat kemajuan substantif maupun kebutuhan penyempurnaan draf RUU tersebut. Adapun kemajuan substantif dalam draf RUU TPKS tersebut yaitu:
1. Sistematika Pidana Khusus Internal
Draf RUU per 30 Agustus 2021 disusun dalam sistematika UU pidana khusus internal. Hal ini menegaskan bahwa tindak pidana kekerasan seksual sebagai tindak pidana yang harus dijatuhi dengan ancaman pidana karena esensinya sebagai sebuah perbuatan yang melanggar hak asasi manusia dan menimbulkan penderitaan pada korban.
2. Judul Tindak Pidana Kekerasan Seksual
3. Pemidanaan Sistem Dua Jalur (Double Track Sistem)
4. Pembuktian Kekerasan Seksual
"Juga keterangan korban atau saksi anak, penyandang disabilitas fisik dan sensorik mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan korban atau saksi lainnya. Sistem pembuktian ini akan membantu korban untuk mengklaim keadilannya," tuturnya.
5. Hak atas Restitusi dan Pendampingan Korban dan Saksi
Penyempurnaan yang dimaksud seperti mengintegrasikan tindak pidana pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Kedua, merumuskan kekerasan seksual berbasis gender siber (KSBGS). Ketiga, menguatkan aturan tentang pencegahan dengan memetakan para pihak dan peran yang dimandatkan, dan keempat, menegasan kembali perlindungan hak korban dalam bagian tersendiri.
Selanjutnya kelima, perumusan ketentuan delegatif UU ke dalam peraturan pelaksanaannya dan terkahir keenam, penegasan peran lembaga nasional ham dan lembaga independen lainnya terkait pelaksanaan RUU ini.
"Komnas Perempuan meminta untuk menyempurnakan sejumlah ketentuan dalam RUU TPKS ini dengan mempertimbangkan daya kemanfaatan dan efektivitas rumusan norma berdasarkan pengalaman korban kekerasan seksual dan hambatan yang dialami untuk mengakses keadilan dan pemulihan," tuturnya.
Pengaturan tentang perkosaan yang sempit dan parsial di dalam KUHP dan sejumlah kelemahan dalam tata cara pelaksanaan formal hukum pidana sebagaimana diatur di dalam KUHAP mencederai hak korban kekerasan seksual, khususnya perempuan korban perkosaan.
Sementara korban tidak mendapatkan perlindungan, sebaliknya korban perkosaan kerap mengalami kerugian dan trauma berulang dalam proses memperjuangkan keadilan. Juga, perempuan korban perkosaan kerap berjuang sendiri untuk pemulihan, sekalipun pasca pemidanaan pelaku.
"Dengan memperhatikan kebutuhan inilah maka pengaturan tentang perkosaan adalah integral di dalam ruh gagasan RUU PKS ini," pungkasnya.
Lebih lanjut, Komnas Perempuan meminta kepada DPR RI untuk melanjutkan membuka ruang aspirasi dari kelompok masyarakat yang selama ini bekerja langsung dengan penanganan korban kekerasan seksual, khususnya komunitas korban/penyintas, dan lembaga pendamping korban dan lembaga bantuan hukum.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri