Menuju konten utama

Sebut RUU TPKS Alami Kemajuan, Komnas Perempuan Minta Penyempurnaan

Ada 6 desakan penyempurnaan yang diajukan Komnas Perempuan, salah satunya terkait aturan perkosaan lantaran masih sempit dan parsial di dalam KUHP.

Sebut RUU TPKS Alami Kemajuan, Komnas Perempuan Minta Penyempurnaan
Gerakan Masyarakat untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (GEMAS SAHKAN RUU PKS) mengadakan aksi damai di depan Istana Negara untuk mendesak DPR agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (8/12/18). Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2018, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 25% dari 259.150 kasus pada 2016 menjadi 348.446 kasus pada 2017. tirto.id/Bhagavad Sambadha

tirto.id -

Kendati banyak pasal yang dipangkas, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) justru mengapresiasi langkah maju pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), yang ditandai dengan Rapat Pleno penyusunan RUU tersebut pada Senin, 30 Agustus 2021.

Sebagaimana dipresentasikan oleh tim Tenaga Ahli Baleg, naskah RUU itu kini diganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Meski alami kemajuan, Komnas Perempuan meminta Pimpinan Panitia Kerja Badan Legislasi (Panja Baleg) RUU P-KS yang telah memimpin penyusunan aturan tersebut dapat segera menuju tahapan selanjutnya, yang menjadi inisiatif DPR RI tersebut.

Komnas Perempuan juga mengapresiasi upaya Anggota DPR RI dalam mengimplementasikan prinsip demokrasi di dalam perumusan RUU ini. Upaya ini ditunjukkan dengan membuka Rapat Pleno agar dapat disaksikan langsung oleh publik.

"Juga sebagaimana disampaikan di dalam Rapat Pleno, perumusan ini mengutamakan dialog dan keterbukaan agar RUU mendapatkan masukan yang konstruktif dalam memastikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual baik dalam lingkup substansi, struktur, maupun kultur hukumnya," kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (11/9/2021).

Selain kemajuan dari aspek proses, Komnas Perempuan juga mencatat kemajuan substantif maupun kebutuhan penyempurnaan draf RUU tersebut. Adapun kemajuan substantif dalam draf RUU TPKS tersebut yaitu:

1. Sistematika Pidana Khusus Internal

Draf RUU per 30 Agustus 2021 disusun dalam sistematika UU pidana khusus internal. Hal ini menegaskan bahwa tindak pidana kekerasan seksual sebagai tindak pidana yang harus dijatuhi dengan ancaman pidana karena esensinya sebagai sebuah perbuatan yang melanggar hak asasi manusia dan menimbulkan penderitaan pada korban.

"Perumusan ini juga diharapkan akan memudahkan aparatur penegak hukum dalam mengidentifikasi unsur tindak pidana kekerasan seksual dan ancaman pidananya dalam pelaksanaannya," ujarnya.

2. Judul Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dipresentasikan pada 30 Agustus 2021 dirumuskan dengan judul “RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.” Rumusan judul ini menunjukkan keselarasan dengan sistematika UU pidana khusus internal dalam keseluruhan bangunan RUU ini, sekaligus menegaskan bahwa “Kekerasan Seksual” merupakan “Tindak Pidana” (criminal act, strafbaarfeit, delik, perbuatan pidana.). Pilihan pidana khusus internal tidak akan menghilangkan pencegahan dan perlindungan korban kekerasan seksual.

3. Pemidanaan Sistem Dua Jalur (Double Track Sistem)

Walau masih memerlukan penajaman, RUU ini mengadopsi pemidanaan double track system yaitu hakim dalam menjatuhkan putusan dapat menjatuhkan dua jenis sanksi sekaligus, yaitu jenis sanksi pidana (pokok dan tambahan) dan tindakan berupa rehabilitasi. Hal ini sesuai dengan sistem pemidanaan dalam RKUHP dan juga sekaligus mendorong terjadinya perubahan cara pandang dan perilaku pelaku atas kekerasan seksual.

4. Pembuktian Kekerasan Seksual

RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan kekhususan dalam hukum acara pidana, yakni sistem pembuktian. Kekhususan tersebut adalah penambahan alat bukti dalam pemeriksaan perkara tindak pidana kekerasan seksual selain yang sudah diatur dalam KUHAP, di mana keterangan seorang korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya.

"Juga keterangan korban atau saksi anak, penyandang disabilitas fisik dan sensorik mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan korban atau saksi lainnya. Sistem pembuktian ini akan membantu korban untuk mengklaim keadilannya," tuturnya.

5. Hak atas Restitusi dan Pendampingan Korban dan Saksi

Pengaturan hak atas restitusi, dan pendampingan korban dan saksi menjadi langkah maju mengingat selama ini hak restitusi lebih kepada korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan anak sebagai korban kekerasan seksual.
Kendati demikian, Komnas Perempuan meminta kepada Baleg DPR RI untuk melakukan enam penyempurnaan substantif agar dapat sepenuhnya menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dialami korban.

Penyempurnaan yang dimaksud seperti mengintegrasikan tindak pidana pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Kedua, merumuskan kekerasan seksual berbasis gender siber (KSBGS). Ketiga, menguatkan aturan tentang pencegahan dengan memetakan para pihak dan peran yang dimandatkan, dan keempat, menegasan kembali perlindungan hak korban dalam bagian tersendiri.

Selanjutnya kelima, perumusan ketentuan delegatif UU ke dalam peraturan pelaksanaannya dan terkahir keenam, penegasan peran lembaga nasional ham dan lembaga independen lainnya terkait pelaksanaan RUU ini.

Hal lainnya yang juga menjadi perhatian Komnas Perempuan adalah tarik-menarik pengaturan perkosaan di dalam RUU TPKS.

"Komnas Perempuan meminta untuk menyempurnakan sejumlah ketentuan dalam RUU TPKS ini dengan mempertimbangkan daya kemanfaatan dan efektivitas rumusan norma berdasarkan pengalaman korban kekerasan seksual dan hambatan yang dialami untuk mengakses keadilan dan pemulihan," tuturnya.

Siti Aminah menjelaskan lapisan hambatan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan adalah bagian dari titik tolak gagasan RUU TPKS.

Pengaturan tentang perkosaan yang sempit dan parsial di dalam KUHP dan sejumlah kelemahan dalam tata cara pelaksanaan formal hukum pidana sebagaimana diatur di dalam KUHAP mencederai hak korban kekerasan seksual, khususnya perempuan korban perkosaan.

Sementara korban tidak mendapatkan perlindungan, sebaliknya korban perkosaan kerap mengalami kerugian dan trauma berulang dalam proses memperjuangkan keadilan. Juga, perempuan korban perkosaan kerap berjuang sendiri untuk pemulihan, sekalipun pasca pemidanaan pelaku.

"Dengan memperhatikan kebutuhan inilah maka pengaturan tentang perkosaan adalah integral di dalam ruh gagasan RUU PKS ini," pungkasnya.

Lebih lanjut, Komnas Perempuan meminta kepada DPR RI untuk melanjutkan membuka ruang aspirasi dari kelompok masyarakat yang selama ini bekerja langsung dengan penanganan korban kekerasan seksual, khususnya komunitas korban/penyintas, dan lembaga pendamping korban dan lembaga bantuan hukum.

"Mengintensifkan proses penyusunan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sampai dengan penetapan RUU sebagai RUU inisiatif DPR RI," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait RUU PKS atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri