tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menayangkan adanya perubahan signifikan dalam draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah menghilangkan sejumlah hal penting yang berkaitan dengan hak korban. Untuk itu DPR didesak agar menyesuaikan dan menjamin hak-hak korban.
KOMPAKS menilai adanya pembahasan RUU PKS di Badan Legislatif (Baleg)DPR RI merupakan suatu progres yang baik. Namun adanya perubahan-perubahan mendasar dinilai sebagai suatu kemunduran.
“Perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci RUU PKS adalah kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual. Sebagai masyarakat sipil kita perlu menguatkan kembali solidaritas kita pada korban kekerasan seksual dengan mendesak Baleg DPR RI untuk menyesuaikan materi RUU PKS dengan kebutuhan korban,” kata perwakilan KOMPAKS Naila dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (2/9/2021).
Diketahui Pada 30 Agustus 2021, RUU PKS memasuki babak baru dengan munculnya draf RUU PKS baru yang disusun oleh Baleg DPR RI. Setelah 622 hari berlalu sejak didaftarkan pada 17 Desember 2019 silam dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024, penantian panjang ini berujung pada dipangkasnya 85 pasal, tulis KOMPAKS.
Pemangkasan sejumlah pasal itu termasuk pasal yang berhubungan dengan hak-hak korban. Draf baru RUU PKS dihadirkan dengan beberapa perubahan, dari judul yang diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual hingga ketentuan-ketentuan di dalamnya.
KOMPAKS menyebut perubahan judul ini memiliki dampak serius terhadap materi muatan RUU secara keseluruhan. Dengan terminologi ‘penghapusan’ RUU PKS memuat elemen-elemen penting penanganan kekerasan seksual secara komprehensif yang bertujuan menghapus kekerasan seksual.
Sementara RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI, sesuai dengan namanya, menitikberatkan pada penindakan tindak pidana sehingga mengabaikan unsur kepentingan korban seperti pemulihan, perlindungan, dan akses terhadap keadilan secara umum.
KOMPAKS memaparkan beberapa ketentuan substantif dan prinsip yang hilang dalam naskah baru RUU PKS dari Baleg DPR RI, di antaranya:
Hilangnya Jaminan Hak, Pemulihan, dan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual RUU PKS hadir dalam rangka menjawab kebutuhan korban akan jaminan perlindungan dan pemulihan yang selama ini absen dari berbagai peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, proses peradilan pidana masih berorientasi pada pemenuhan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana. Oleh karena itu, elemen hak korban yang memuat ketentuan perlindungan dan pemulihan penting serta harus termuat di dalam RUU yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual.
Pada draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI ketentuan hak korban hanya disebutkan pada bagian ketentuan umum yakni pasal 1 angka 12 yang berbunyi:
“Hak Korban adalah hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh Korban, dengan tujuan mengubah kondisi Korban yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan Korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif”.
Tidak ada pengaturan lebih lanjut terkait pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Hal ini dapat menghilangkan jaminan pemenuhan hak korban selama proses peradilan pidana.
Kemudian penghapusan ketentuan tindak pidana perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual. Dalam naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI hanya memuat 4 bentuk kekerasan seksual yakni: 1) Pelecehan seksual (fisik dan non fisik); 2) Pemaksaan Kontrasepsi; 3) Pemaksaan Hubungan Seksual; dan 4) Eksploitasi Seksual.
Sedangkan masyarakat sipil merumuskan 9 bentuk kekerasan seksual (Pelecehan Seksual, Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, Perbudakan Seksual, dan Eksploitasi Seksual) yang didasarkan pada temuan kasus kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh forum pengada layanan dan Komnas Perempuan.
Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menghilangkan pengaturan tentang tindak pidana perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual. Ketiadaan pengakuan dan pengaturan ragam bentuk kekerasan seksual tersebut adalah bentuk invalidasi terhadap pengalaman korban kekerasan seksual serta pengabaian terhadap hak korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.
Selain itu dalam draf terbaru itu juga terjadi penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual. Serta tidak ada pengaturan tentang kekerasan seksual berbasis online dan korban kekerasan seksual berbasis disabilitas.
Untuk itu KOMPAK menuntut kepada Baleg DPR RI untuk:
- Membuka ruang usulan perubahan naskah dan ruang diskusi yang melibatkan masyarakat sipil dalam perumusan naskah RUU PKS.
- Memasukkan ketentuan yang mengakomodir kepentingan korban yakni pemenuhan hak perlindungan, hak pendampingan, dan hak pemulihan korban sebagaimana yang diusulkan melalui naskah akademik dan draf RUU PKS yang disusun oleh masyarakat sipil.
- Memasukkan kebutuhan khusus korban dengan disabilitas dalam aspek pencegahan, penanganan, dan pemulihan kekerasan seksual;
- Memasukkan ketentuan tindak pidana Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Perbudakan Seksual dan Kekerasan Seksual Online sebagai bentuk pengakuan terhadap pengalaman korban kekerasan seksual yang beragam dan upaya penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih komprehensif; dan
- Mengubah definisi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual menjadi tindak pidana perkosaan.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Restu Diantina Putri