tirto.id - Uji coba taksi terbang (flying taxi) EHang 216-S di langit Pantai Indah Kapuk 2, Tangerang, Rabu (25/6) lalu, menjadi tonggak baru dalam perjalanan teknologi transportasi di Indonesia. Untuk pertama kalinya, armada lepas landas dan pendaratan elektrik nirpilot (eVTOL) yang membawa manusia diizinkan mengudara.
Momen itu tidak cuma jadi pertunjukan teknologi, melainkan simbol bahwa era mobilitas baru tengah dimulai.
Teknologi ini merupakan besutan perusahaan asal Cina, EHang Holdings, yang digandeng ke Indonesia oleh Prestige Aviation. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memberi EHang 216-S izin demonstrasi dengan membawa penumpang di dalam kabin pada Rabu lalu.
Uji coba teknologi penerbangan armada udara canggih atau advanced air mobility (AAM) ini bertujuan untuk mendongkrak jam terbang dan memperkaya pengalaman kru.
Pada uji terbang berpenumpang perdana itu, Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni, Raffi Ahmad, menjadi penumpang pertama EHang 216-S. Ia mencoba "taksi terbang" itu didampingi oleh Executive Chairman Prestige Aviation, Rudy Salim. Hadir pula Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) sekaligus anggota DPR RI Bambang Soesatyo, Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Sokhib Al Rokhman, serta Chief Financial Officer EHang, Conor Yang.Berdasarkan laman resmi EHang, tipe EHang 216-S memiliki kemampuan lepas landas dan mendarat secara vertikal yang tak membutuhkan landasan pacu laiknya bandara tradisional. Hal tersebut memungkinkan transportasi point-to-pointdi pusat-pusat kota yang padat untuk mengatasi kemacetan lalu lintas darat yang parah, seperti di Indonesia. Dari segi spesifikasi, EHang 216-S memiliki model armada pengangkut penumpang tanpa pilot yang dapat lepas landas dan mendarat secara vertikal. Armada ini mengudara dengan tenaga baterai litium yang padat dengan target ketahanan mencapai 60 menit.
EHang sudah menerima Air Operator Certificate pertama di dunia untuk pesawat eVTOL tanpa awak yang mengangkut manusia dari Civil Aviation Administration of China (CAAC) pada Maret 2025.
Conor Yang, Chief Financial Officer EHang, menyatakan agenda uji coba dengan penumpang itu menjadi momen bersejarah di Indonesia. Sekaligus menjadi langkah penting dalam memajukan strategi global EHang setelah mendapatkan OC pertama di dunia untuk pesawat pengangkut manusia tanpa pilot di Cina.
“Hal ini menjadi dasar yang kuat untuk mempercepat operasi eVTOL komersial di seluruh dunia di masa depan. Kami percaya bahwa teknologi ini dapat membantu mengurangi kemacetan lalu lintas di Indonesia sekaligus menawarkan solusi yang efektif dalam bidang pariwisata, tamasya, dan penyelamatan darurat,” kata Yang dikutip dari laman resmi EHang, Minggu (29/6/2025).

Kendati demikian, Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi menyebut kehadiran taksi terbang EHang bisa menjadi pilihan transportasi perkotaan bagi masyarakat. Namun ia meragukan saat ini teknologi tersebut menjadi solusi utama atas kemacetan di kota-kota besar seperti Jakarta.
Dudy menyatakan bahwa harga layanan taksi terbang saat ini masih tinggi, sehingga belum bisa dikategorikan sebagai moda transportasi massal yang terjangkau masyarakat umum di seluruh lapisan. Ia memandang kehadiran taksi terbang hanya sebagai alternatif tambahan, tidak menjadi pengganti dari moda transportasi yang tersedia di perkotaan seperti bus, KRL, MRT maupun LRT.
"Jadi kalau mau dikatakan sebagai solusi ya, mungkin tidak sepenuhnya. Tapi ini lebih kepada pilihan karena juga kalau saya lihat sekarang harganya masih relatif, masih mahal," tuturnya,” ucap Dudy sebagaimana dilansir Antara.
Pernyataan Menteri Perhubungan memang patut diapresiasi karena sudah mencerminkan sikap realistis di tengah antusiasme pengembangan teknologi transportasi. Namun di sisi lain, penegasan tersebut tidak bisa dijadikan alasan menunda perumusan regulasi dan strategi jangka panjang dari implementasi taksi terbang.
Realitas ekonomi memang sepatutnya dibicarakan secara jujur. Pasalnya, sampai hari ini, taksi terbang masih menjadi moda transportasi yang mahal. Biaya produksi, pemeliharaan, serta pembatasan jumlah penumpang membuatnya belum terjangkau masyarakat luas. Hal ini ditambah dengan belum tersedianya aturan rinci dan sarana-prasarana pendukung untuk memassalkan moda transportasi ini.
Pengamat transportasi, Revy Petragradia, menyatakan sampai saat ini belum ada regulasi yang spesifik untuk mengatur taksi terbang.
“Teknologi tinggi pastinya perlu tarif yang tinggi, namun dengan berkembangnya teknologi dan pemasoknya makan banyak, pastinya akan bersaing tarif atau harganya. Risiko sosial pasti ada namun kegunaannya juga akan sangat tergantung dari marketnya,” terang dia.
Dilaporkan majalah The Economist, EHang 216-S telah mengantongi sertifikat dari otoritas penerbangan sipil Cina sejak 13 Oktober 2023. Izin tersebut diberikan usal dilakukan lebih dari 40.000 penerbangan uji coba, termasuk membawa penumpang sukarelawan pada 18 kota di seluruh Cina.
EHang juga melakukan analisis struktural dan uji tabrakan terhadap 216-S, serta memeriksa kemampuannya untuk tetap terbang jika salah satu rotor rusak. Regulator juga memeriksa jaringan nirkabel yang digunakan EHang untuk menghubungkan taksi terbangnya ke pusat kendali di darat. Hal ini memungkinkan pilot cadangan untuk mendaratkan pesawat dengan kendali jarak jauh jika terjadi masalah.
“EH216-s memiliki jangkauan sekitar 30 km, dan kecepatan hingga 130kpj. EHang sedang mengembangkan versi kedua, vt30, dengan jangkauan 300 km–meskipun akan memerlukan sertifikasi terpisah,” tulis The Economist dalam laporannya.
Dari sisi market Global, EHang memang bukan satu-satunya pemain dalam pengembangan taksi terbang. Saingan terdekat EHang adalah Volocopter, sebuah perusahaan Jerman, dan dua perusahaan asal California, Amerika Serikat, yakni Joby Aviation dan Archer Aviation. Ketiganya terus melakukan penerbangan uji coba eVTOL dengan berbagai desain.
EHang juga tidak sendirian meluncurkan eVTOL dengan mode nirpilot. Wisk Aero, sebuah perusahaan California lainnya, juga terus menguji coba pesawat tanpa pilot. Perusahaan yang merupakan anak korporasi Boeing itu, juga akan menggunakan pusat kendali berbasis darat untuk memantau penerbangan.
Tantangan Taksi Terbang di Indonesia

Di dalam negeri, hubungan EHang dengan Indonesia dimulai pada November 2021, ketika EHang melakukan penerbangan eVTOL tanpa pilot pertama di Indonesia di Villa Blackstone Beach di Bali. Namun, penerbangan dengan penumpang pertama baru dilakukan pekan ini usai EHang mendapatkan Air Operator Certificate dari CAAC pada Maret lalu.
Selain EHang, sebetulnya terdapat beberapa perusahaan lain yang digadang-gadang turut mengembangkan layanan taksi terbang di Indonesia. Hal ini muncul di tengah kondisi kota-kota besar di Indonesia yang memiliki persoalan kemacetan dan memerlukan solusi alternatif. Selain masalah kemacetan kota besar, taksi terbang juga disebut akan digunakan di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dilabeli sebagai kota futuristik dan ramah lingkungan.
Misal, taksi terbang besutan Hyundai Motors Company dengan Korean Aerospace Research Institute (KARI) yang sudah sempat melakukan uji coba Proof of Concept (PoC) di Bandara Aji Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto, Samarinda, pada Juli tahun lalu. Taksi terbang ini dinamai Hyundai Optionally Piloted Personal/Passenger Air Vehicle (OPPAV) yang ditarget secara komersial pada 2029 mendatang.
Selain itu, terdapat Intercrus Sola yang dilabeli sebagai taksi terbang buatan dalam negeri. Pasalnya, Pesawat yang mampu lepas landas secara vertikal ini dikembangkan PT Intercrus Aero Indonesia dan PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Taksi terbang ini konsepnya akan bisa ditumpangi dua orang dengan satu pilot. Targetnya, Intercrus Sola bisa dioperasikan mulai tahun 2028 mendatang.
Pengamat tata kota, M Azis Muslim, menilai bahwa gagasan pengembangan taksi terbang sebagai solusi kemacetan di kota-kota besar, seperti di Jakarta memang menjanjikan, tetapi memerlukan perencanaan dan infrastruktur yang matang. Menurut Azis, Jakarta termasuk salah satu kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di dunia, sehingga memerlukan terobosan transportasi yang efisien, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Namun, Azis menekankan bahwa kehadiran moda transportasi vertikal seperti taksi terbang tidak bisa dilepaskan dari berbagai tantangan. Infrastruktur, regulasi, dan manajemen ruang udara menjadi sorotan utama. “Perlu perencanaan yang matang, bagaimana terkait dengan regulasi maupun infrastruktur yang memang mesti disediakan,” kata dia kepada wartawan Tirto, Minggu (29/6).Salah satu infrastruktur penting yang mesti disiapkan adalah vertipod atau lokasi lepas-landas dan mendarat bagi taksi udara. Azis menyebut penyediaan lahan, aksesibilitas, dan aspek keamanan seharusnya menjadi prioritas perusahaan dan pemerintah. Selain itu, manajemen ruang udara juga menjadi tantangan yang perlu diatur dalam regulasi.Azis memperingatkan potensi konflik lalu lintas udara antara taksi terbang dan moda penerbangan lain seperti pesawat komersial. Terlebih, menjadi pertanyaan besar, akankah taksi terbang mampu terhubung dengan moda transportasi massal saat ini sebagai bagian dari transportasi multimoda?“Saya yakin juga akan menambah semrawut ruang udara jika tidak ada pengaturan yang visioner dan komprehensif,” kata dia.Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Rina Nurjanah
Masuk tirto.id


































