tirto.id - Dalam satu tahun terakhir, sudah tiga kali drone bawah air ditemukan di laut Indonesia. Benda tersebut dicurigai dipakai untuk memata-matai. Maka pertanyaan pun muncul: siapa pemiliknya dan apakah kita siap mengantisipasinya.
Kali pertama drone ditemukan oleh seorang nelayan pada Maret 2019 di perairan Bintan Kepulauan Riau dekat dengan Laut Cinta Selatan (Laut Natuna). Penemuan kedua pada Januari 2020, di Pulau Tenggol, Masalembu, Flores, Sulawesi Selatan. Ketiga pada Desember 2020 di Pulau Selayar, Sumatera Selatan.
Drone-drone ini ditemukan di jalur-jalur pelayaran penting. Dari mulai Selat Malaka yang menghubungkan rute pelayaran antara Cina, India, Indonesia, dan Australia; juga Selat Sunda dan Lombok yang di perairan Samudera Hindia, menghubungkan perairan utara Australia, Indonesia, dan Laut Cina Selatan. Titik penemuan seperti ini memperkuat dugaan kalau ini memang alat memata-matai.
Sejumlah ahli menduga pesawat nirawak yang bisa melayang di laut (seaglider) ini mirip dengan produk lembaga ilmu pengetahuan Cina yang dirilis 2017 silam. Sementara seorang pensiunan jenderal TNI bintang dua, Jonni Mahroza, menyebut drone ini jenisnya Sea Wing UUV (unnamed underwater vehicle/kendaraan bawah air tanpa awak) milik pemerintah Cina.
Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono mengatakan sejauh ini belum tahu siapa pemilik seaglider tersebut sebab tak ada keterangan apa pun di badan drone. “Saya tidak bisa menentukan siapa pemiliknya,” kata Yudo di gedung Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL (Pushidrosal), Senin (4/1/2021).
Kendati demikian, Yudo menyebut drone seperti ini biasa dipakai industri untuk pengeboran minyak atau perikanan. Drone juga bisa dipakai untuk keperluan rute kapal selam. Data ini biasanya dibutuhkan pihak militer.
Kemudian, dari hasil penelitan Pushidrosal, seaglider ini dilepas dari sebuah kapal, lalu turun ke dasar laut dan memancarkan sensor CTD, mendeteksi klorofil (kesuburan di bawah laut), dan mengukur kadar oksigen.
Drone bisa bertahan selama dua tahun dan beroperasi di kedalaman 2.000 meter di bawah permukaan laut selama enam jam dengan kecepatan 6 knots--setara 11 kilometer/jam. Ketika di bawah laut, drone bisa melayang selama sembilan hari mengikuti arus. Saat naik ke permukaan, data yang berhasil direkam akan memancar ke satelit dan diterima operator.
Seaglider ini diketahui dikendalikan oleh operator lewat satelit.
Yudo mengatakan paling banter yang dapat dilakukan otoritas adalah melanjutkan meneliti jeroan seaglider. TNI AL akan meneliti lebih jauh dengan Kementerian Riset dan Teknologi serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Harus Dianggap Serius
Pemerintah pusat didesak bertindak karena, seperti yang tadi disebut, sangat mungkin drone ini adalah alat mata-mata. Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengusulkan pemerintah memberikan nota protes diplomatik kepada Cina, negara yang diduga pemilik drone. Melansir Antara, dia bilang instansinya “sudah komplain nota diplomatik ke kedutaan besar Cina.”
Masih mengutip Antara, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin juga mengatakan Kementerian Luar Negeri harus bertindak. Protes kepada negara pemilik drone harus dilakukan. “Pesawat tak berawak bawah laut dan kapal selam asing tidak bisa berada di laut kita tanpa izin pemerintah kita,” kata Azis, Jumat (1/1/2021) lalu.
Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti mengatakan drone sangat terkait aktivitas mata-mata karena itu tak berlabel. Oleh karena itu menurutnya “pemerintah harus mengusut sampai diketahui siapa pemiliknya.” “Kalau ini merupakan aktivitas pengintaian, Indonesia harus segera mengambil langkah,” kata dia kepada Antara.
Pernyataan resmi pemerintah datang dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Ia berpegang dengan pernyataan KSAL, bahwa drone tersebut biasa digunakan untuk kepentingan ilmu kelautan (oseanografi). Oleh karena itu Prabowo meminta kepada publik tidak perlu mempermasalahkannya terlalu serius.
Meski demikian, dia memastikan pemerintah terus memperkuat daya pertahanan Indonesia, salah satunya dengan mencari produsen terbaik.
“Untuk memperkuat pertahanan Indonesia, baik laut, udara, dan darat, dan juga untuk kepentingan memperkuat diplomasi pertahanan,” kata Prabowo.
Editor: Rio Apinino