Menuju konten utama

Sawit & Tambang: Pemicu Suramnya Masa Depan Petani Rotan di Kalbar

Bencana yang muncul akibat peralihan lahan menjadi perkebunan sawit dan tambang, diharapkan menjadi pelajaran untuk menjaga hutan dan lingkungan.

Sawit & Tambang: Pemicu Suramnya Masa Depan Petani Rotan di Kalbar
Sejumlah warga bergotong royong membuka akses jalan yang tertutup longsor akibat banjir bandang di Desa Arangani, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Jumat (22/1/2021). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/hp.

tirto.id - Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalbar, Rudyzar Zaidar Mochtar di Pontianak mengatakan masa depan petani rotan makin suram. Pemicunya ialah peralihan lahan hutan alami menjadi kebun sawit dan pertambangan yang kini banyak berdampak pada bencana banjir dan tanah longsor.

"Sehingga tidak mustahil apa yang terjadi di Kalimantan Selatan juga bisa terjadi di Kalbar. Karena banyak hutan yang dulunya dipelihara untuk pertanian rotan kini beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan tambang karena komoditas rotan kini tidak lagi menjanjikan," kata Rudyzar Zaidar Mochtar di Pontianak, Selasa (26/1/2021).

Dampak beruntun lainnya, kata Rudyzar, peralihan hutan rotan menjadi perkebunan dan tambang juga turut memberi andil terhadap banjir besar yang melanda di Pulau Kalimantan.

"Peralihan lahan itu, karena masa depan komoditas rotan yang suram akibat Permendag 44/2012 yang melarang ekspor rotan. Maka kebun-kebun rotan milik masyarakat dijual oleh petaninya kepada para konglomerat yang dilanjutnya dikonversi menjadi kebun sawit dan tambang batubara," ungkapnya.

Menurut dia, jika kondisi ini terus berlangsung, maka banjir besar bukan hanya melanda Kalimantan Selatan tetapi akan meluas hingga ke kawasan kebun rotan Kalimantan Tengah, Timur, dan Barat.

"Untuk itu, kami meminta pemerintah, agar kembali memperhatikan kelangsungan hidup para petani dan pelaku usaha rotan yang semakin terjepit karena terdampak larangan ekspor rotan dalam bentuk barang mentah atau bahan baku rotan. Sehingga secara tidak langsung juga menekan dan mengerem lajunya peralihan lahan tersebut," tuturnya.

Karena menurut Rudyzar, dengan tetap berlangsungnya kehidupan petani rotan, maka hutan-hutan di Kalimantan akan kembali terjaga sehingga kerusakan lingkungan juga tidak semakin parah.

"Kami berharap, apa yang sudah terjadi akibat peralihan lahan menjadi perkebunan dan tambang ini menjadi pelajaran kita semua, untuk tetap menjaga hutan dan lingkungan agar anak cucu kita nanti tetap bisa hidup dengan makmur tanpa harus mengalami dan merasakan kerusakan hutan dan lingkungan itu," ujarnya.

Padahal, terang Rudyzar, pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi, terbukti menguntungkan petani rotan dari negara tetangga, seperti Filipina yang saat ini memasok kebutuhan rotan dunia sebesar 70 persen.

"Sementara di sisi lain, berkurangnya pasokan rotan mentah dan setengah jadi dari Indonesia, justru memicu produk tidak ramah lingkungan yakni, rotan plastik yang malah diikuti industri furnitur rotan tanah air juga memproduksi produk rotan plastik itu," terangnya.

Indonesia sebagai pusat pertumbuhan rotan dunia, kata Rudyzar, sejatinya memiliki keunggulan sebagai pemasok bahan baku. Indonesia saat ini bukan dan belum menjadi penghasil mebel rotan yang artistik.

Baca juga artikel terkait BANJIR KALSEL atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Reporter: Antara
Editor: Dieqy Hasbi Widhana