tirto.id - Di tengah krisis dan ketidakpastian situasi, terlebih di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang, masalah kesehatan jiwa tak cuma jadi isu orang dewasa. Anak-anak bisa saja mengembangkan gejala relatif bahkan berpotensi membahayakan diri sendiri, alih-alih dianggap tak punya beban pikiran.
Selayaknya permainan: bisa direset ketika kalah. Begitulah pikiran sederhana anak-anak ketika menghadapi kesulitan. Mereka menyangka hidup bisa diulang ketika terhenti sehingga mudah bagi anak-anak untuk melakukan sesuatu yang tak terduga saat terkena gangguan mental.
“Mereka mau jalan keluar yang instan dalam mengatasi emosi,” ujar Anggia Hapsari, dokter spesialis kedokteran jiwa RSPI dalam diskusi virtual, Selasa (29/6/2021).
Anak bisa stres atau depresi ketika aktivitasnya dibatasi, dan pandemi ini membuka risiko tersebut. Mereka tak bebas bertemu dengan sebaya, tak memiliki teman bercerita, belajar pun dilakukan secara daring. Keterbatasan itu membikin perasaan menjadi tumpul dan kosong.
Rasa sepi dan frustasi mendorong anak melukai diri sendiri. Rasa sakit yang diterima fisik jadi pengalihan dari sakit psikis. Tindakan tersebut bisa dilakukan berulang jika sumber masalah tak segera ditangani. Ketika anak makin rapuh, bisa saja mereka ingin mengakhiri semua rasa sakit tanpa berpikir matang.
“Orang tua perlu mendampingi anak mencari bantuan profesional tanpa menghakimi,” saran Anggia Hapsari yang juga konsultan psikiatri anak dan remaja ini.
Survei singkat yang dilakukan Parents Together Action menyebut kondisi serba virtual sebagai salah satu pemicu depresi pada anak selama pandemi. Laporannya menyebut 70 persen anak di Amerika Serikat yang disurvei mengalami perasaan negatif selama enam bulan pandemi.
Setengah dari orang tua yang disurvei juga melaporkan anak-anaknya tengah berjuang dengan kesehatan mental dan perilaku. Fakta ini berkembang dua kali lipat pada anak-anak dari keluarga ekonomi rendah. Mereka rentan merasa kewalahan, khawatir, sedih, marah, takut, dan kesepian.
“Validasi perasaan anak, jangan dianggap sepele. Jangan bilang ‘begitu saja tidak bisa’ atau ‘yang kuat dong’ cukup dengarkan dan hadir untuk anak.”
Anak Bukan Tong Sampah Masalah
Mendeteksi gangguan mental pada anak bisa jadi lebih sulit ketimbang orang dewasa. Menurut Anggia, anak-anak belum mampu menjelaskan perasaan mereka secara gamblang. Mereka lebih lazim menggunakan kata “bosan” untuk mendeskripsikan kesepian.
Orang tua harus memperhatikan perubahan sikap dan perilaku anak secara konstan. Jika terdapat perubahan seperti menarik diri, mengeluh nyeri tanpa sebab, atau tak bersemangat, bisa jadi anak tengah mengalami stres.
“Bayangkan mereka harus kompromi dengan perubahan, termasuk aktivitas sosial dan pola pengasuhan,” kata Anggia, dan semua hal tersebut dilakukan secara berbarengan.
Belum lagi jika suasana di rumah tidak mendukung karena masalah ekonomi dan rumah tangga. Tanpa disadari, orang tua kerap meluapkan emosi negatif atas permasalahan mereka kepada anak. Bukannya melindungi, satu-satunya orang yang bisa dijadikan sandaran anak justru menambah beban mereka.
Anggia menyarankan, sebagai individu dewasa, orang tua harus terlebih dulu menyelesaikan masalah dan memperbaiki emosi. Baru kemudian membantu menata kesehatan jiwa anak. Jangan sampai anak menjadi tong sampah masalah bagi orangtuanya, apalagi pelampiasan amarah.
“Ini sangat berbahaya, pasien (anak) saya banyak yang cerita dicurhati orangtuanya. Padahal mereka juga punya perasaan,” sebut Anggia.
Di situasi sekarang, orang tua idealnya membangun kedekatan dengan anak di tiap kesempatan. Misalnya dengan mengeksplorasi berbagai aktivitas bersama anak di luar jam sekolah, menyempatkan diri mendengarkan anak bercerita, jangan malah asyik dengan gawainya masing-masing.
“Kuncinya benar-benar hadir secara fisik dan pikiran untuk anak,” pungkasnya.
Editor: Iswara N Raditya