tirto.id - Banyaknya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diberhentikan lantaran membolos kerja tengah menjadi sorotan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kasus-kasus seperti itu membuat beberapa ASN harus diberhentikan dengan hormat, tapi tidak atas permintaan sendiri, atau pula diberhentikan secara tidak hormat.
Lewat agenda BKN Menyapa, Kamis (30/10/2025) lalu, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif Fakrulloh, menekankan kepada para ASN untuk memahami sanksi pemberhentian sebagai akibat tidak masuk kerja.
Zudan menjelaskan, pemerintah sendiri memiliki Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BP ASN) yang mengawasi seluruh bentuk disiplin ASN setiap bulan.
Jika ada pelanggaran disiplin, BP ASN yang terdiri dari Menteri PANRB, Kepala BKN, Sekretaris Kabinet, Kepala BIN, Jaksa Agung, Menteri Hukum, dan Ketua Korpri akan langsung menggelar sidang untuk menentukan nasib profesi ASN yang melanggar aturan.
“Nah, apa yang kita sidangkan? Yang kita sidangkan adalah kasus-kasus yang dilakukan oleh para ASN. Dan yang perlu saya sampaikan khusus hari ini itu satu hal. Ternyata banyak sekali ASN kita baik PNS maupun PPPK yang diberhentikan secara dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, maupun tidak dengan hormat, karena tidak masuk kerja,” ungkap Zudan, dikutip dari kanal YouTube BKNgoidofficial.
Dari kasus-kasus yang ditangani BP ASN itulah, Zudan, yang juga menjabat sebagai wakil ketua lembaga tersebut menemukan banyaknya ASN yang dipecat karena tidak masuk kerja.
Bagi ASN yang diberhentikan tidak dengan hormat, mereka akan kehilangan hak penghargaan pensiun maupun tunjangan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil jo. PP Nomor 17 Tahun 2020.

Dalam pasal 250 PP 11/2017 diterangkan, PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Selain itu, pemberhentian tidak dengan hormat juga berlaku bagi ASN yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik atau dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
Masih dari PP 11/2017, sesuai pasal 253, PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri apabila melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat. Jika merujuk pada PP 94/2021 pasal 11 ayat (2) tentang Disiplin PNS, hukuman disiplin berat dijatuhkan bagi PNS yang tidak memenuhi beberapa ketentuan, salah satunya masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja.
Hukuman Mangkir Kerja Berjenjang
Pemberlakuan sanksi terhadap ASN yang mangkir kerja bukan berarti langsung meloncat pada hukuman berat, melainkan dilakukan secara berjenjang, mulai dari hukuman ringan hingga berat.
Sesuai PP 94/2021, hukuman disiplin ringan berupa teguran lisan diberikan kepada ASN yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah secara kumulatif selama tiga hari dalam satu tahun. Sementara, teguran tertulis diberikan kepada ASN yang tidak masuk kerja selama 4-6 hari selama satu tahun.
Berikutnya, pernyataan tidak puas secara tertulis diberikan kepada ASN yang secara kumulatif tidak masuk kerja tanpa alasan selama 7-10 hari selama setahun. Sementara hukuman sedang yang diberikan kepada ASN berupa pemotongan tunjangan kinerja (tukin).
Rinciannya, pemotongan tukin sebesar 25 persen selama enam bulan bagi ASN yang tidak masuk kerja tanpa alasan secara kumulatif selama 11-13 hari kerja dalam satu tahun dan pemotongan tukin sebesar 25 persen selama sembilan bulan bagi ASN yang tidak masuk kerja tanpa alasan secara kumulatif selama 14-16 hari kerja dalam satu tahun.

Selain itu, pemotongan tukin sebesar 25 persen juga diberikan kepada ASN yang tidak masuk kerja tanpa alasan secara kumulatif selama 17-20 hari kerja dalam satu tahun. Namun dalam konteks ini, pemotongan dilakukan lebih lama, yaitu selama 12 bulan.
Untuk hukuman berat sendiri, ada beberapa jenis yang diberikan kepada ASN, yaitu berupa penurunan jabatan, pembebasan jabatan, hingga pemberhentian/pemecatan. Pemberhentian dengan tidak hormat atas permintaan sendiri dijatuhkan pada ASN yang tidak masuk kerja selama 28 hari kerja atau lebih dalam satu tahun.
Sedangkan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri diberikan kepada ASN yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah secara terus menerus selama sepuluh hari kerja.
Masih Logika Birokrasi Lama
Meski bukan aturan baru, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tidar, Arif Novianto, memandang penegasan kembali sanksi-sanksi ini menunjukkan pemerintah masih memakai logika birokrasi lama, di mana disiplin sama dengan kepatuhan pada aturan. Ini mirip cara pandang Max Weber, bahwa birokrasi berjalan kalau ada aturan tegas dan hukuman.
Tidak jarang kita mendengar celetukan kalau ASN lebih longgar dibanding pekerja swasta. Menurut Arif, hal itu bukan semata soal malas atau tak disiplin. Masalahnya ada pada budaya birokrasi kita yang masih lebih menghargai kehadiran fisik ketimbang hasil kerja.

Jika hukuman jadi pendekatan utama, ia menyebut, kita berisiko menciptakan birokrasi yang bekerja karena takut, bukan karena merasa punya tanggung jawab ke publik. Dalam banyak kajian birokrasi, perubahan budaya tak akan muncul hanya dengan ancaman sanksi.
“Yang dibutuhkan adalah kombinasi, disiplin iya, tapi juga kepemimpinan yang memberi contoh, upah layak, kondisi kerja yang tidak bikin burnout, penilaian kinerja yang adil, dan ruang inovasi. Kalau tidak, hasilnya cuma ‘rajin absen’, tapi tetap tidak solutif dan perform,” ungkap Arif.
Pemerintah memang barangkali memperlihatkan upaya penegakan kedisiplinan yang lebih tegas. Kendati begitu, Adinda Tenriangke Muchtar selaku Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), berpendapat penegasan kembali sanksi ASN ini juga menunjukkan hal lain, yakni permasalahan lemahnya pengawasan.
“Jadi bukan berarti sistem pengawasan internalnya tidak ada, tapi bagaimana akhirnya mekanisme yang ada secara efektif menerapkan sanksi tersebut. Jadi bukan hanya sekedar laporan, misalnya si X bolos kerja sekian hari, tapi selama ini bagaimana tindak lanjutnya,” ujar Adinda saat dihubungi Tirto, Rabu (6/11/2025).
Apabila membicarakan kedisplinan, ia menilai hal ini seharusnya tidak hanya berlaku terhadap ASN semata, melainkan juga kepada atasan. Dengan demikian hukum ditegakkan secara objektif dan tidak diskriminatif.
“Pertanyaannya kalau ada ‘ketidakdisiplinan’ antara pihak yang melakukan pengawasan internal dengan pihak yang melakukan ketidakdisiplinan atau ada atasan yang malah membiarkan hal itu untuk kepentingan apapun, itu yang harus diusut. Nah pengawasan internal menjadi penting di situ,” lanjut Adinda.
Perlu Dijadikan Momentum Reformasi Lebih Dalam
Adinda beranggapan bahwa jika permasalahan banyak ASN bolos kerja ini memang menjadi momentum, pemerintah perlu memastikan sanksi-sanksi itu bukan hanya sekedar lip service saja. Poin penting dalam konteks ini yakni adanya sosialisasi yang jelas.
“Disiplinnya itu harus diikuti komitmen dan integritas semua pihak. Sehingga ya memang mentality juga saya pikir ya, selain budaya kerja, pengawasan internal, dan sistem pelaporan yang memang perlu dioptimalkan,” ungkap Adinda.
Itu mengapa ekosistem ASN juga harus diperbaiki. Jadi, semua orang tahu disiplin berjalan dari atas ke bawah, dalam artian ada contoh dari leadership dan ada mekanisme yang bekerja. Tanpa keduanya, menurut Adinda, pengawasan internal akan menjadi sebatas hitam di atas putih.
Tak cuman dipastikan benar-benar berjalan, penerapan sanksi semacam ini juga sampai menjadi ajang mencari kesalahan. Arif mengatakan, agar kebijakan ini tidak cuma jadi cara mencari kesalahan ASN, pemerintah perlu menjadikannya momentum reformasi yang lebih dalam.
Di lain sisi, pemerintah juga perlu memperkuat kejelasan indikator kerja, seperti apa tanggung jawabnya, bagaimana diukurnya, dan siapa yang menilai. Kemudian membangun budaya bahwa ASN bekerja bukan untuk atasan, tapi untuk publik.
“Jadi intinya disiplin penting, tapi tidak cukup. Kalau tidak dibarengi perbaikan struktur, budaya, upah layak, kondisi kerja manusiawi, dan kepemimpinan birokrasi, sanksi keras hanya jadi solusi permukaan, tegas di luar, tapi masalah dasarnya tetap,” tegas Arif.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































