tirto.id - Ketua PBNU Said Aqil Siraj mengatakan kepolisian terkesan abai atau membiarkan pengibaran sejumlah atribut dan bendera bertuliskan tauhid yang kerap dipakai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam berbagai kegiatan.
Sikap tersebut menurutnya jadi penyebab yang berujung pada pembakaran Bender tauhid oleh sejumlah anggota Banser di Garut, 22 Oktober lalu.
Menurutnya seharusnya polisi bertindak cepat dan mencegah adanya pemakaian atribut yang lekat dengan HTI tersebut. Sebab, ormas itu telah dibubarkan dan dinyatakan terlarang oleh pemerintah.
Jika atribut-atribut tersebut dilarang beredar di masyarakat, kasus pembakaran bendera tauhid tidak akan terjadi dan menimbulkan polemik di masyarakat.
"Ada kesan polisi membiarkan berkibarnya bendera tauhid dimana-mana ini, sehingga akhirnya banser meluap emosi, bertindak sendiri, karena polisinya diam sih," katanya dalam diskusi 'Peran Ormas-Ormas Islam dalam NKRI' di Kantor Lembaga Persaudaraan Ormas Islam, Jakarta Pusat, Sabtu (16/11/2018).
Terkait pelaku pembakaran bendera tersebut, Polda Jawa Barat sebenarnya sempat menahan tiga orang pelaku. Namun, ketiganya dibebaskan lantaran Polisi menilai bendera dalam rekaman video kasus pembakaran yang tersebar adalah atribut HTI.
Hal ini sempat disayangkan oleh Ketua Prodi Pascasarjana kajian Timur Tengah Universitas Indonesia Yon Machmudi. Bagi Yon, seharusnya aparat penegak hukum bisa membedakan bendera agama dengan bendera organisasi.
“Tidak bisa diklaim itu benderanya Hizbut Tahrir karena awalnya kan bersikap netral, lalu dipopulerkan oleh kelompok Hizbut Tahrir,” kata Yon.
Yon menjelaskan, tidak hanya HTI saja yang menggunakan bendera dengan Tulisan tauhid tersebut, tetapi juga ISIS, Taliban, dan kelompok Islam lainnya. Masalahnya bendera bertuliskan kalimat Tauhid juga menjadi simbol perlawanan
“Harus dibedakan. Tidak serta-merta ini bendera mengacu pada kelompok terlarang, garis keras, dan sebagainya,” imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yantina Debora