Menuju konten utama
Byte

Saat Video AI Jadi Sarana Amarah terhadap Aparat dan Koruptor

Cara masyarakat berbicara ketimpangan kekuasaan kini bukan lagi lewat orasi, tapi lewat potongan video yang dikemas absurd. Namun, menyimpan luka kolektif.

Saat Video AI Jadi Sarana Amarah terhadap Aparat dan Koruptor
Ilustrasi Kecerdasan Buatan Isometrik, Pengetahuan Keahlian Kecerdasan belajar. FOTO/iStokphoto

tirto.id - Belakangan, media sosial di Indonesia diramaikan oleh fenomena baru: video satire yang sepenuhnya dihasilkan oleh kecerdasan buatan—mulai dari karakter, suara, dialog, hingga skenario. Tidak ada aktor sungguhan, tidak ada pelanggaran privasi. Akan tetapi, isi pesannya tidak jauh dari realitas. Yakni, kritik tajam terhadap praktik korupsi dan ketidakadilan yang sudah terlalu akrab dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam satu video, seorang karakter polisi AI hanya tertawa ketika seorang pewawancara menyebut "harga spesial" supaya seseorang bisa mendapatkan SIM tanpa tes. Di video lain, karakter polisi AI lain menjelaskan bahwa, kalau tidak ada "amplop", sebaiknya sepeda motor yang hilang diikhlaskan saja. Selain itu, ada juga video yang menunjukkan sekumpulan polisi AI asyik menyantap makanan di pinggir jalan setelah "memalak" rakyat. Tak pelak, dalam satu video terpisah, ada satu karakter AI yang sampai bersumpah serapah di hadapan polisi yang juga merupakan rekaan AI.

Polisi bukan satu-satunya sasaran. Para pejabat korup pun tak luput dari bidikan. Ada satu video yang terang-terangan menyindir kasus korupsi Harvey Moeis dan, di situ, karakter pejabat AI tersebut secara blak-blakan menyebut bahwa korupsi itu menguntungkan. Korupsinya bisa ratusan triliun, kata pejabat AI tersebut, tetapi dia hanya perlu mengembalikan miliaran ke negara. Meski skenario dan dialognya jelas-jelas fiktif, pesan yang disampaikan terasa begitu riil.

Tak Ada Pelanggaran Privasi

Yang membuat video-video ini begitu menggigit bukan sekadar karena isi pesannya frontal, melainkan karena pendekatannya yang steril dari risiko personal. Tidak ada wajah asli yang bisa dituntut, tidak ada pengisi suara yang bisa diintimidasi, dan tidak ada pembuat video yang tampil langsung di layar. Semuanya diatur oleh model AI. Visual dihasilkan lewat generator gambar bergerak, suara dibuat dari text-to-speech berbahasa Indonesia, dan narasi dibangun dengan ironi yang tajam—seolah para pelaku sendiri yang sedang menyindir institusinya.

Ini jauh berbeda dengan, katakanlah, video AI yang menunjukkan Jokowi dan Prabowo berciuman, di mana sang pengunggah video akhirnya dicokok oleh aparat. Dengan menggunakan karakter Jokowi dan Prabowo, pengunggah video tersebut memang telah melakukan perbuatan berisiko. Akhirnya, UU ITE pun digunakan untuk menjerat sosok yang belakangan diketahui sebagai mahasiswi ITB tersebut.

Video AI Penangkapan Koruptor

Video AI tentang polisi yang menangkap koruptor. (Sumber: Instagram@infokomando.official)

Sementara itu, fenomena yang belakangan menjamur—di mana semua karakter, skenario, dialog murni fiktif—bisa dibilang sebagai evolusi baru dari kritik sosial berbasis meme. Dengan bantuan AI, kini kritik bisa tampil seolah nyata namun tetap berada di ranah fiksi. Karakter-karakternya terlihat manusiawi, berbicara dengan logat dan diksi yang khas Indonesia, dan membawa naskah yang terasa terlalu jujur untuk tidak dianggap nyata.

Beberapa video menyampaikan kritik secara gamblang: menyebut “polisi bajingan”, mengatai polisi buncit dengan istilah “polisi bumil”, hingga menyindir aparat yang lebih peduli dengan tilang daripada menindak kriminal berat. Namun justru karena kemasannya “tidak nyata”, pesan-pesan ini berhasil menembus batas yang selama ini sulit ditembus oleh aktivis, jurnalis, atau komedian: rasa takut akan pembalasan.

Menariknya lagi, sumber asal dari video-video ini sangat sulit dilacak karena sudah diunggah ulang berulang kali oleh berbagai akun. Artinya, dalam kontens ini, AI telah menjadi anonim kolektif; sebuah topeng teknologi yang memungkinkan publik menertawakan realitas pahit tanpa harus menanggung risiko secara personal. Dan itulah yang menjadikan tren ini jauh lebih besar daripada sekadar lelucon digital. Ini adalah bentuk protes tanpa pemimpin dan, justru karena itu, sulit untuk diberangus.

Polri Bikin Sayap Malaikat

Tren video satire AI ini menempatkan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam posisi yang kikuk. Di satu sisi, kontennya menyindir keras institusi negara—terutama kepolisian dan pejabat publik. Di sisi lain, karena semua karakter dan skenarionya bukan nyata, sulit untuk menerapkan pasal pencemaran nama baik, ujaran kebencian, atau pelanggaran etika penyiaran. Tidak ada wajah asli, tidak ada suara asli, tidak ada subjek yang bisa diidentifikasi secara langsung. Sekali lagi, sangat berbeda dengan kasus meme Jokowi-Prabowo.

Beberapa pihak mungkin tergoda untuk menggunakan pendekatan represif, seperti pemblokiran konten atau penelusuran kreator di balik layar. Tapi langkah itu pun penuh risiko. Pemblokiran video semacam ini justru bisa menimbulkan efek Streisand—semakin dibungkam, semakin banyak yang ingin menontonnya. Apalagi, algoritma media sosial saat ini justru cenderung “menghadiahi” konten yang memicu kontroversi dengan lebih banyak jangkauan.

Lebih dari itu, sensor terhadap konten berbasis AI membuka kotak Pandora baru. Bagaimana negara mendefinisikan “konten berbahaya” jika pelakunya tidak nyata? Jika seseorang membuat video AI berisi tokoh fiksi yang menyindir sistem peradilan, apakah itu bisa dianggap pelanggaran hukum? Jika ya, siapa yang bertanggung jawab? Pembuat naskah, model AI, atau platform distribusi?

Belum ada jawaban jelas. Bahkan lembaga seperti Kominfo atau KPI pun belum memiliki regulasi yang eksplisit untuk mengatur konten satire berbasis AI yang bersifat naratif dan fiktif namun berakar dari realitas sosial. Ini menjadi celah yang, untuk sementara, dimanfaatkan oleh kreator untuk menyampaikan kritik publik yang selama ini terpendam.

Video AI Polisi Pahlawan

Video AI tentang polisi yang disebut pahlawan. (Sumber: X@DivHumas_Polri)

Dalam situasi seperti ini, negara dihadapkan pada dilema: membungkam dan dituduh anti-demokrasi, atau membiarkan dan menerima risiko kehilangan kendali atas narasi publik. Dan sejauh ini, kecanggungan itu terlihat jelas. Hampir tidak ada pernyataan resmi dari aparat terkait video-video yang tengah viral ini, seolah mereka memilih diam daripada salah langkah.

Sejauh ini langkah yang telah dilakukan Polri hanya dua dan tidak satu pun bersifat represif. Pertama, meluncurkan pelantar video bertajuk PoliceTube serta "menandingi" sindiran AI dengan video AI pula. Dalam video AI yang diunggah Divisi Humas Mabes Polri, ditampakkan sosok polisi bertubuh tegap dengan sayap ala malaikat di punggungnya. Narasinya jelas: Polisi adalah pelindung masyarakat dari segala lapisan.

Walaupun menggelikan, setidaknya Polri memilih untuk bertanding di arena yang sama, yaitu pembuatan konten, alih-alih melakukan represi yang, tentu saja, bakal membikin reputasi mereka jadi lebih buruk lagi.

Satu hal yang pasti, video-video satire berbasis AI yang kini marak bukan sekadar hiburan digital. Ia adalah gejala zaman. Gejala dari publik yang kelelahan, kehilangan saluran kritik, dan akhirnya menciptakan dunia alternatif, di mana boneka-boneka digital bisa mengatakan apa yang manusia enggan atau takut ucapkan secara langsung.

Kita sedang menyaksikan pergeseran cara masyarakat berbicara soal ketimpangan kekuasaan. Bukan lagi lewat orasi atau tulisan panjang, tapi lewat potongan video jenaka dengan kemasan absurd namun menyimpan luka kolektif. Dan selama realitas yang ditampilkan masih bisa dirasakan oleh publik, maka satire ini akan terus hidup, terus diproduksi, dan makin sulit dihentikan.

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Byte
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi