tirto.id - Bowo Alpenliebe, bocah berusia 14 tahun, jadi salah satu fenomena baru Indonesia. Melalui Tik Tok, aplikasi lip-sync, ia jadi perbincangan di dunia maya. Di Tik Tok, Bowo adalah selebritas. Gerakan bibir, diikuti mimik muka yang ia ubah sesuai irama lagu yang dimainkan, jadi aksi-aksi yang ia peragakan melalui aplikasi Tik Tok.
Aksinya menirukan mimik dan suara, lagu maupun musik video di Tik Tok menuai pujian juga hujatan. Bowo dianggap unik tetapi juga dianggap aneh, karena lagu lip-sync tidak layak dikonsumsi anak seumurnya. Di tengah ketenaran anak kecil seperti Bowo di Tik Tok, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memblokir aplikasi ini sejak Selasa (3/7).
Noor Iza, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemenkominfo mengatakan Tik Tok diblokir karena “banyak konten yang negatif, terutama bagi anak-anak.” Keputusan ini sudah dikoordinasikan dengan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Pemblokiran aplikasi Tik Tok mirip dengan kasus pemblokiran Bigo. Artinya bila Tik Tok sudah membersihkan konten negatif maka pemerintah akan membuka blokir. Pemblokiran ini memang menuai pro dan kontra terhadap aplikasi yang diluncurkan pertama kali pada September 2016.
Kiprah Tik Tok di Indonesia sudah ada sejak 3 September 2017, Tik Tok resmi menjejakkan kakinya. Viv Gong, Head of Marketing Tik Tok, dalam ulasan di Yahoo Finance, mengatakan hadirnya Tik Tok ke Indonesia karena Indonesia adalah populasi pengguna internet nomor enam terbesar di dunia. "Tik Tok melihat kesempatan yang besar di Indonesia.” Gong mengatakan ingin “menjadikan video musik lebih menyenangkan dengan teknologi mereka.”
Saat peluncuran, Tik Tok mengundang 100 kreator, termasuk selebritas Salshabilla Adriani dan Suppanad Jittaleela. Kehadiran Tik Tok mengundang kontroversi. Penggunanya terpecah, antara yang mendukung dan menolaknya. Ada yang menganggap “memiliki banyak mudarat“ tapi ada juga yang menilainya "bagus untuk menciptakan konten video”.
Ada ByteDance di Balik Tik Tok
Tik Tok atau disebut Douyin di Cina, merupakan aplikasi yang kini memiliki lebih dari 150 juta pengguna aktif harian di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang terbesar. Ia adalah aplikasi video musik lip-sync berdurasi 15 detik. Para penggunanya, bisa memberikan efek-efek khusus yang salah satunya didukung oleh teknologi facial recognition yang diusung Tik Tok. Kemampuan facial recognition diperkuat selepas mereka membeli Faceu, aplikasi augmented reality seharga $300 juta.
Sebagaimana tertulis di Play Store, Tik Tok dirilis oleh Bytemod, perusahaan yang didirikan pada Juli 2016, bermarkas di Singapura. Bytemod, selain merilis Tik Tok, juga merilis Vigo Lite, aplikasi “short video community” hampir mirip dengan Tik Tok.
Bytemod adalah bagian dari ByteDance, perusahaan teknologi asal Cina yang didirikan pada 2012. Merujuk laman resmi mereka, ByteDance kini telah menjangkau 40 negara di seluruh dunia. ByteDance, sebagaimana ditulis Forbes, ditaksir memiliki valuasi sebesar $11 miliar.
ByteDance didirikan Yiming Zhang. Zhang merupakan pemuda lulusan Nankai University. Selepas lulus, ia bergabung dengan Kuxun, mesin pencari khusus penerbangan dan hotel. Pada 2008, Zhang membantu penciptaan situs sosial bernama Hainei.com. Ia punya ide menciptakan news aggregator, sebagai segmen produk pertama dari ByteDance.
ByteDance punya dua wajah, sebagai “berita” dan “hiburan berbasis video.” Sisi “berita” muncul melalui Toutiao, news aggregator berbasis machine learning dan artificial intelligence. Melalui dua teknologi itu, Toutiao mengklaim mampu menghadirkan berita secara unik, sesuai dengan personalisasi penggunanya. Toutiao pun mengklaim jadi yang paling besar di Cina. Forbes menyebut aplikasi tersebut digunakan 80 juta pengguna aktif tiap hari, dengan tingkat rerata pembacaan mencapai angka 76 menit tiap hari.
Pada 8 November 2017, ByteDance mengembangkan segmen ”berita”. ByteDance membeli News Republic seharga $86,6 juta. News Republik merupakan news aggregator yang memiliki lisensi pada 2.500 organisasi berita yang tersebar di seluruh dunia.
Wajah ByteDance dalam bentuk “hiburan berbasis video” dihadirkan melalui empat aplikasi. Selain Tik Tok, ada aplikasi Xigua Video, Video Video, dan musical.ly. Keempat aplikasi hiburan berbasis video itu dibuat untuk mendukung visi ByteDance “membangun dunia bagi kreator dan konten.”
Masalah dari Hong Kong
Karen Zhang, jurnalis South China Morning Post, dalam investigasi yang dilakukannya, menyebutkan Tik Tok punya masalah soal privasi. Anak-anak di sekolah dasar di Hong Kong punya persoalan soal keamanan identitas karena menggunakan Tik Tok. Video-video privat yang mereka buat, dapat dengan mudah dilihat publik. Kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab.
Tik Tok hanya memiliki dua opsi privasi: privat dan publik. Secara default, opsi privasi Tik Tok ialah publik, artinya tiap pengguna Tik Tok di seluruh dunia bisa melihat konten yang dibuat pengguna lainnya. Tak ada opsi “friend-only” pada aplikasi Tik Tok.
“Saya pikir apa yang dilakukan Tik Tok buruk untuk melindungi privasi penggunanya dibandingkan aplikasi lainnya,” kata Eric Fan Kinman, Konsul Hong Kong Information Technology Federation, usai mengujicoba fitur privasi pada Tik Tok.
“Tak terlihat ada pemeriksaan pengguna di bawah batas usia karena delapan dari 10 video selfie yang diunggah Tik Tok terlihat jelas anak-anak di sana,” katanya.
Zhang dalam investigasinya berkesimpulan “sangat berbahaya bagi anak-anak mem-posting konten di Tik Tok jika pengaturan privasi tidak bisa mereka kendalikan.”
Tik Tok bukanlah satu-satunya aplikasi yang diblokir pemerintah. Pemerintah punya alat melalui Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hingga Surat Edaran Menkominfo Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan atau Konten Melalui Internet. Bermodal dua payung hukum itu, pemerintah rajin menyasar aplikasi atau situsweb yang terindikasi mengandung konten negatif, terutama pornografi.
Pada 9 Mei 2014, Vimeo, platform berbagi video seperti YouTube juga diblokir. Pada November 2016, Bigo, aplikasi live-streaming video, pun diblokir pemerintah. Juga ada Tumblr, layanan webblog, diblokir sejak 5 Maret 2018. Aplikasi-aplikasi populer tersandung di Indonesia karena mengandung konten pornografi.
Editor: Suhendra