tirto.id - Tiga jam pertama sidang sengketa perselisihan hasil pilpres yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Rabu (19/6/2019), diwarnai dengan sejumlah cecaran pertanyaan dari hakim untuk saksi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Tidak semua pertanyaan dijawab dengan baik; saksi bahkan tampak keteteran.
"Saya merasakan itu [saksi keteteran]," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari kepada reporter Tirto. "Itulah cara hakim menggali informasi," tambahnya.
Saksi yang dimaksud bernama Agus Muhammad Maksum, memperkenalkan diri sebagai tim IT Badan Pemenangan Nasional (BPN) khusus riset tentang Daftar Pemilih Tetap (DPT), tinggal di Sidoarjo, juga pernah jadi Sekretaris Relawan gerakan #2019GantiPresiden. Maksum adalah satu dari 14 saksi yang dihadirkan tim hukum Prabowo-Sandi.
Maksum memberikan keterangan berkaitan dengan apa yang dia lakukan saat masa-masa kampanye. Dia mengatakan ada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak wajar, berkode khusus, yang jumlahnya mencapai 17,5 juta.
Sebelum menjelaskan itu, hakim Aswanto sudah lebih dulu menegur Maksum karena tak mau mengatakan dengan tegas ancaman apa yang ia rasakan--Maksum bilang kalau dia "pernah mendapat ancaman."
"Ancaman dalam bentuk apa yang saudara alami?" kata Aswanto.
"Saya mohon maaf tidak menjelaskan di sini secara terbuka..." belum selesai Maksum bicara, Aswanto langsung memotongnya dengan bilang, "tidak bisa, ini pengadilan untuk umum biar disaksikan seluruh rakyat Indonesia."
Maksum kembali dicecar Aswanto karena enggan menyebut siapa dari tim Prabowo yang tahu ancaman tersebut.
"Ini kita di sini mau mencari kebenaran, kebenaran materiil. Bagaimana caranya memperoleh kebenaran materiil kalau Anda menutup-nutupi, dong?" "Tidak mau disebut, artinya menutup-nutupi."
Setelah perdebatan yang lumayan panjang, juga tim hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin turut serta, Maksum akhirnya menjelaskan apa yang ia ketahui. "Ada DPT-DPT yang kami anggap invalid," katanya, lantas menyebut angka 17,5 juta.
Maksum bilang bahwa dia melaporkan itu ke KPU. Namun KPU bersikeras DPT yang mereka bikin sudah sesuai berdasarkan fakta di lapangan. Maksum mengklaim ada lebih dari satu juta KTP palsu/invalid, tapi tidak ada rekapannya. Fakta ini ia sampaikan setelah dicecar Aswanto.
"Cara apa yang Anda gunakan untuk mengetahui jumlah, sementara saudara tidak mengetahui rekap?" tanya Aswanto.
Maksum lantas diam empat detik sambil melihat ke arah kiri atas, padahal sebelumnya dia selalu langsung menjawab pertanyaan. Dia lantas menjawab mereka membikin kriteria-kriteria tertentu, dengan mencocokkan dengan data kependudukan yang ada di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil). Dari sana angka 17,5 juta diperoleh.
"Saya menggunakan Excel," kata Maksum, saat ditanya hakim bagaimana caranya mengetahui KTP invalid itu ada di DPT atau tidak. Dia lantas bilang, setelah dihitung via Excel, KTP invalid yang masuk dalam DPT--yang menurutnya merugikan suara Prabowo-Sandi--jumlahnya kira-kira 200 ribuan.
Salah satu nama yang ia sebut untuk mempertegas argumennya adalah Udung, dari Pangalengan, Bandung. Maksum awalnya mengatakan Udung adalah sosok fiktif yang hanya ada KTP-nya. Artinya, pasti tidak ada di dunia nyata.
Namun setelah ditanya Komisioner KPU Hasyim Asyari, Maksum meralat pernyataannya dengan bilang kalau dia tidak bisa memastikan Udung ada atau tidak. Hakim MK lain, I Dewa Gede Palguna, lantas menyelak. "Tadi Anda bilang si Udung dari dunia tidak nyata. Kok, barusan Anda bilang tidak tahu. Jadi yang mana?" tanya Palguna.
"Tidak tahu," simpul Maksum.
Ditegur
Selain jawaban-jawaban yang tidak tegas dan berubah, Maksum juga beberapa kali ditegur soal cara dia menyampaikan jawaban.
Misalnya ketika Aswanto bertanya perkara DPT yang berubah-ubah. Sebelum pertanyaan rampung, Maksum sudah menjawab, "Jadi begini, pak, data itu..." Aswanto lantas menegurnya: "Jangan emosi dulu, pak. Kalau selesai, baru dijawab."
Teguran juga disampaikan hakim Saldi Isra. Dia menekankan jawaban Maksum terlampau meluas. Apa yang dikatakan Maksum cenderung interpretasi atas dugaan tertentu--misalnya diksi 'manipulatif' dan 'siluman' ketika bicara DPT--padahal bukan itulah yang dicari hakim dari saksi.
"Kepada saksi, ya, jawab apa yang ditanya hakim. Jangan diberi penjelasan ujung pertanyaan itu. Jadi begitu Anda memberi penjelasan seolah Anda jadi menginterpretasi data yang ada itu," kata Saldi.
"Jangan ditanya A, sampai Z penguraiannya. Enggak boleh begitu."
"Baik yang mulia," jawab Maksum, kemudian menunduk sambil melihat laptop yang ada di depannya.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino