Menuju konten utama

Saat Perompak Lebih Sigap

Penyanderaan terhadap WNI dilakukan oleh perompak di wilayah perairan antara Indonesia-Filipina-Malaysia. Penyanderaan terakhir bahkan tejadi pasca kesepakatan trilateral untuk mengantisipasi perompakan yang dihadiri tiga Menlu dan tiga Panglima Angkatan Bersenjata di Yogyakarta.

Saat Perompak Lebih Sigap
Presiden joko widodo (tengah) berbincang bersama menlu malaysia Dato' Sri Anifah aman (ketiga kiri), panglima angkatan bersenjata malaysia, Tan Sri Dato' Sri (dr) Jend. Zulkifeli Mohd Zin (kedua kiri), panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (kiri), menlu Retno Marsudi (ketiga kanan), menlu Filipina Jose Rene D. Almendras (kedua kanan) dan panglima angkatan bersenjata Filipina, Lt. Jend Caesar C Taccad (kanan) saat menerima kunjungan kehormatan menlu dan panglima tentara nasional dari Indonesia, Malaysia dan Filipina di Gedung Agung, di Yogyakarta, Kamis (5/5). [antara foto/andreas fitri atmoko/foc/16]

tirto.id - Presiden Joko Widodo berdiri di salah satu ruangan, di Istana Negara Yogyakarta. Menteri Sekretaris Negara, Pratikno menemaninya. Tak lama berselang, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo datang.

Mereka berbincang sembari menunggu tamu dari dua negara tetangga, Filipina dan Malaysia. Hari itu, Kamis, 5 Mei 2016 menjadi hari bersejarah. Untuk pertama kalinya, Presiden Indonesia mengundang Menteri Luar Negeri dan pimpinan Angkatan Bersenjata dua negara tetangga itu ke Istana Negara di Yogyakarta.

Perwakilan Filipina yang kemudian hadir adalah Menteri Luar Negeri Filipina Jose Rene D Almendras dan (Plt) Panglima Angkatan Bersenjata Filipina Laksamana Muda Caesar C Taccad. Sementara Malaysia diwakili Menteri Luar Negeri Malaysia Dato’ Sri Anifah Aman dan Panglima Angkatan Bersenjata Malaysia Tan Sri Dato’ Sri Jenderal Zulkifeli Mohd Zin.

Tidak hanya bersejarah, hari itu juga menjadi hari yang penting bagi ketiga negara, karena akan menyepakati perjanjian trilateral terkait sejumlah kasus penyanderaan warga masing-masing negara oleh perompak di perairan Malaysia dan Filipina.

Presiden Jokowi menyambut hangat para tamunya. “Saya berharap, pertemuan ini bisa menyelesaikan masalah kita bersama,” katanya.

Pertemuan berlangsung singkat, sekitar 1 jam. Setelah itu, Menlu Retno mengumumkan hasil kesepakatan yang terdiri dari empat poin. Pertama, ketiga negara sepakat melakukan join koordinasi patrol. Secara teknis, mekanisme akan dibahas oleh tim dari masing-masing angkatan bersenjata. Patroli akan dilakukan di laut masing-masing dengan saling berkoordinasi.

Kedua, ketiga negara sepakat segera memberikan bantuan jika ada seseorang atau kapal dalam suatu keadaan distres atau kesulitan. Jika ada kapal di perairan masing-masing negara yang mengalami distres, maka kapal terdekat negara lain boleh masuk ke wilayah perairan negara tetangga untuk memberikan bantuan.

Ketiga, ketiga negara sepakat membuat national vocal point untuk berbagi informasi intelijen dalam waktu singkat. Wujudnya, berupa crisis center yang akan digunakan oleh masing-masing negara untuk mendapat informasi secara cepat.

Keempat, ketiga negara sepakat membuat hotline untuk mempercepat respons dalam kondisi darurat. Dengan hotline ini, pemerintah dapat melakukan komunikasi secara cepat untuk penanganan masalah. Termasuk komunikasi antar pimpinan negara.

Jadi Tamparan Keras

Poin-poin perjanjian trilateral itu terlihat ampuh dan menjanjikan. Belum pernah terjadi sebelumnya, menlu dan pimpinan Angkatan Bersenjata dari tiga negara tersebut secara khusus melakukan pertemuan. Ketiga negara ASEAN ini optimistis, kerja sama akan menyelesaikan penyanderaan.

Namun, fakta di lautan berbicara lain. Sebulan setelah trilateral disepakati, ketiga negara seolah kecolongan. Pada 20 Juni, sebanyak 7 WNI kembali disandera oleh kelompok Abu Sayaf, di perairan Sulu, Filipina Selatan. Aksi penyanderaan berlanjut muncul lagi pada 9 Juli 2016. Tiga 3 WNI disandera di perairan Malaysia.

Dua kasus itu pun menambah daftar kasus penyanderaan WNI di tahun 2016. Sebelum perjanjian trilateral disepakati, sudah dua kali WNI menjadi korban penyanderaan. Pertama, pada 15 April 2016, ketika 10 WNI ABK kapal Patria Maritime Lines disandera oleh perompok di perairan Filipina. Ironisnya, berselang sehari kemudian, 4 WNI kembali menjadi korban penyanderaan oleh kelompok berbeda.

Terjadinya dua penyanderaan pascaperjanjian trilateral itu pun menimbulkan tanda tanya. Kenapa terjadi lagi? Dua penyanderaan seolah menjadi sinyal kuat dari para perompak, bahwa kesepakatan tiga negara tidak membuat mereka gentar. Patroli bersama militer tidak membuat para perompak berpikir dua kali untuk beraksi. Tidak itu saja, penyanderaan yang terjadi juga menjadi indikasi bahwa kesepakatan tidak berjalan dengan baik.

Menurut Ketua Komisi I DRP RI, Abdul Kharis Almasyahari, pemerintah perlu melakukan evaluasi perjanjian trilateral tersebut. Sebab faktanya, perjanjian tidak berarti apa-apa. Menurutnya, penyanderaan terakhir pada 9 Juli menjadi tamparan keras.

“Ini adalah pelecehan terhadap bangsa Indonesia. Indonesia dipandang lemah dan menjadi target empuk oleh para perompak. Trilateral sudah ada, tapi kita dihadapkan kenyataan. Kenyataannya tetap saja ada penyanderaan. Artinya trilateral tidak berdampak apa-apa,” katanya kepada tirto.id, pada Jumat (15/7/2016).

Uniknya, begitu terjadi penyenderaan, Panglima TNI Gatot Nurmantyo justru membuat pernyataan bernada menyindir Filipina dan bukannya mengingatkan soal kesepakatan trilateral.

Gatot justru menekankan bahwa penyanderaan terhadap kapal pengangkut batu bara oleh Abu Sayyaf justru akan merugikan Filipina sendiri. Sebab, sebagaian besar kebutuhan listrik Filipina berasal dari batu bara Indonesia. “Sekarang, biarkan saja Filipina mati lampu. Kan 96 persen batubara Filipina dari kita,” katanya kepada wartawan, di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, pada Senin (11/7/2016).

Pertanyaannya kemudian, mengapa Jenderal Gatot tak sedikitpun menyinggung soal perjanjian trilateral?

Menurut dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Syahreza, ada ketidakterbukaan antar negara pasca perjanjian trilateral, terutama Filipina. Namun, hal itu bisa dimaklumi, karena Filipina pasti tidak akan membiarkan negara lain ikut campur urusan di wilayahnya.

Urusan Abu Sayyaf memang urusan dalam negeri Filipina. Meski faktanya, operasi militer yang dilakukan Filipina di Basilan gagal. Sebanyak 18 tentara mereka tewas di tangan kelompok Abu Sayyaf.

“Tentu untuk operasi di dalam negeri sendiri, itu memalukan. Ini soal harga diri. Kita juga tidak mungkin membiarkan Filipina ikut campur urusan dalam negeri kita. Nanti dikira tidak bisa menangani,” ungkapnya.

Salah satu jalan keluar, Indonesia menyatakan siap membantu Filipina tanpa membuat harga diri mereka jatuh sebagai bangsa dan negara. “Kita harus meyakinkan Filipina, kita siap. Operasi gabungan tapi biarkan Filipina yang memimpin. Selama ini kita melihat Filipina masih ragu, padahal cukup memberikan lampu hijau saja,” pungkasnya.

Masih Ada WNI Tersandera

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, menolak menyebut kesepakatan trilateral gagal. Sebab pada dasarnya, kesepakatan tidak bisa langsung dilaksanakan. Diperlukan Standard Operating Procedur (SOP) untuk melaksanakan isi kesepakatan.

“Setelah kesepatan itu harus dibuat SOP pelaksanaan. Pihak TNI dan Angkatan Bersenjata Malaysia dan Filipina yang membuatnya bersama. Baru diselesaikan pekan lalu. Selama ini kita sudah saling koordinasi untuk menguatkan patroli di wilayah masing-masing,” katan Arrmanatha kepada tirto.id, pada Senin (18/7/2016).

Dia juga membantah jika ada komunikasi yang tidak baik antara Indonesia dan Filipina. Menurutnya, justru saat ini hubungan Filipina dan Indonesia sangat baik. Buktinya, Menlu Retno menjadi Menlu pertama yang mendapat undangan bertemu Menlu Filipina usai pembentukan kabinet.

“Tanggal 1 Juli kemarin, Menlu sudah bertemu dengan Menlu Filipina. Ini wujud komitmen untuk menyelesaikan masalah penyanderaan,” tegasnya.

Terlepas dari komitmen terkait kesepakatan trilateral, ada tugas yang lebih penting yakni membebaskan para sandera. Sebab dari empat kali penyanderaan, baru dua kelompok sandera WNI yang dibebaskan. Sementara dua kelompok WNI yang disandera para perompak pada 20 Juni dan 9 Juli masih belum jelas nasibnya.

Tentu saja, pembebasan tidak hanya bisa mengandalkan kertas yang ditandatangani tiga Menlu dan tiga pimpinan Angkatan Bersenjata.

Baca juga artikel terkait PENYANDERAAN WNI atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Indepth
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho