Menuju konten utama

"Penyanderaan Jadi Bisnis Karena Hasilnya Besar"

Penyanderaan WNI di perairan Filipina marak terjadi pada 2016. Upaya penyelamatan diikuti dengan penyanderaan berikutnya. Seakan-akan tidak ada jeda untuk penyanderaan. Faktor ekonomi dituding ada di balik penyanderaan. Di Sulu, Filipina, penyanderaan sudah menjadi bisnis.

Inspektur Jenderal Purnawirawan Benny Joshua Mamoto [Tirto/Andrey Gromico]

tirto.id - Irjen Pol (Purn) Benny Mamoto (61) tersenyum kecut saat menonton berita pembebasan sandera WNI di Filipina. Memorinya melayang pada sebuah peristiwa yang terjadi sebelas tahun silam, tepatnya April 2005. Dia mendapat tugas dari pimpinannya, Kapolri Jenderal Dai Bachtiar, untuk bergabung dalam tim pembebasan tiga WNI yang menjadi sandera di Filipina.

Selama tiga bulan, Benny bolak-balik Indonesia-Filipina. Bermodal kaos, ransel, sepatu kets dan rompi Palang Merah Internasional (PMI) sebagai penyamaran, dia menyusup ke jaringan-jaringan Abu Sayyaf. Nyaris tiap malam dia bernegosiasi dengan para perompak melalui telepon.

Perjuangannya tak sia-sia. Tiga bulan bernegosiasi, tiga sandera dari Indonesia dibebaskan. Tanpa syarat. Tanpa tebusan. Rayuan seperti apa yang dilontarkan Benny? Berikut wawancara tirto.id dengan Benny yang kini menjadi pengajar di Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian, Pasca Sarjana Universitas Indonesia, di kantornya, pada Jumat (15/7/2016):

Bisa anda paparkan pengalaman membebaskan WNI yang disandera di Filipina?

Pada tahun 2005, saya ditunjuk Kapolri Dai Bahtiar bergabung dengan tim pembebasan sandera. Saya mewakili Polri, ada dari Kementerian Luar Negeri, juga dari TNI dan Intelejen. Saat itu Militer Filipina melakukan operasi intelijen, menyusupkan agen ke kelompok itu dengan berpura-pura sebagai pemasok makanan. Setelah masuk, mereka membisikkan pada dua sandera untuk turun ke bawah pada malam hari. Sudah ada yang menjemput.

Satu sandera adalah kapten kapal yang di tempatkan terpisah. Begitu, dua sandera berhasil diamankan, kapten dibawa lari ke tempat lain oleh perompak. Setelah itu, Filipina berjanji akan melakukan operasi lagi. Tapi sampai satu minggu tidak ada kabar. Karena tidak ada perkembangan, tim kita sudah kehabisan energi. Sudah pada pulang ke instansi masing-masing. Tinggal saya yang bertahan.

Bagaimana anda kemudian bisa kontak lagi dengan penyandera?

Salah seorang keluarga sandera memberikan nomer telepon saya ke penyandera. Saat itu, penyandera memang meneror keluarga korban. Saya lalu ke perusahaan tempat ABK itu, perusahaan Malaysia, menegaskan kalau komunikasi harus tunggal. Supaya tidak ada lelang harga.

Setiap malam saya ditelepon. Saya ladeni mereka. Mereka minta uang. Saya tegaskan tidak bisa seperti itu. Lalu mulai saya gunakan pendekatan bahwa yang disandera itu sama-sama muslim. Tak ada guna sandera orang Indonesia, tidak ada uangnya. Kenapa sama-sama muslim harus saling mendzalimi? Saya mainkan juga isu kemanusiaan. Cerita bahwa anak sandera sakit, panggil-panggil ayahnya. Poinnya, kita mainkan isu agar mereka terpengaruh.

Strategi apa lagi yang anda gunakan hingga akhirnya sandera dibebaskan?

Saya bolak-balik Indonesia – Filipina selama tiga bulan. Menyamar menjadi anggota Palang Merah Internasional. Saya cari kontak di sana. Dapat mantan anak buah Abu Sayyaf. Dari dia, saya dapat banyak cerita tentang kondisi kelompok.

Apalagi kemudian saya bisa kontak semakin dekat dengan kelompok Abu Sayyaf. Saya tidak bisa cerita mendetail bagaimana intelejen bekerja. Setelah itu, akhirnya kita tahu kondisi mereka. Terus melakukan lobi, sampai akhirnya penyandera bisa dipengaruhi dan membebaskan sandera.

Tiga bulan cara itu dilakukan. Komunikasi terus dilakukan. Kita bahkan memanggil mereka brother. Kita cerita bahwa Kepulauan Sulu juga punya sejarah yang dekat dengan Indonesia. Begitu mereka yakin kalau tidak akan dapat apa-apa, akhirnya sandera dibebaskan juga. Ingat, tidak ada sejarahnya orang Indonesia dibunuh dalam penyanderaan di Filipina.

Bagaimana anda melihat kasus penyanderaan WNI yang sekarang?

Catatan penting, terakhir penyanderaan WNI itu tahun 2005. Sebelas tahun kemudian, tahun ini, baru ada penyanderaan lagi. Kita juga harus melihat apa yang terjadi di Filipina. Jadi di kawasan sana, sejak puluhan tahun lalu sudah sering terjadi perompakan dan penyendaraan. Tapi korbannya bukan Indonesia.

Kenapa? Seperti kita ketahui, wilayah Kepulauan Sulu kondisi masyarakatnya miskin. Perhatian dari pemerintah Filipina ke selatan kurang. Beda jauh dengan Manila. Kondisi ini membuat bisnis kidnapping jadi bisnis besar karena uang hasilnya besar. Uangnya dinikmati juga masyarakat. Daya beli masyarakat menjadi meningkat.

Satu lagi yang penting, cara pembebasan hari ini menentukan apa yang akan terjadi ke depan. Dalam konteks kondisi sekarang, kita menganalisis, kenapa tuntutan lebih tinggi? Orang awam bisa menilai. Kalau modelnya cash and carry bahaya. Penyandera akan berpikir bahwa Indonesia gampang keluar duit. Kita akan terus jadi target mereka.

Pendekatan seperti apa yang menurut anda cocok untuk saat ini guna membebaskan sandera?

Kita harus melihat kondisi. Dalam kasus Filipina, saya lebih sepakat dengan pendekatan diplomasi budaya. Bukan pendekatan militer. Percuma kalau perompak itu kita takut-takuti. Mereka sudah terbiasa menghadapi negara seperti Amerika, yang kalau kita hitung kekuatan militernya lebih dahsyat. Kita tahu, saat menggunakan militer, bisa jadi sipil bahkan sandera sendiri bisa menjadi korban.

Pertama harus juga memetakan, apa sebenarnya masalah Abu Sayyaf? Tidak semua kelompok mereka itu ideologis. Ada yang murni kriminal. Seperti yang sekarang ini, mereka adalah kelompok kriminal. Kalau masalah utamanya adalah kemiskinan, kita bisa masuk. Membuat kerjasama supaya perekonomian masyarakat di sekitar daerah rawan itu membaik. Ini jangka panjang. Bisa kita jadikan sister city. Memberikan beasiswa. Ini bukan cuma dilakukan pemerintah, pihak swasta juga bisa. CSR perusahaan yang punya kepentingan bisa digunakan di sana.

Kedua, bangun komunikasi yang baik dengan tokoh mereka yang berpengaruh. Kita semua melihat, kenapa sandera yang kemarin itu dibebaskan di rumah gubernur? Berarti gubernurnya punya pengaruh yang kuat. Itu harus diajak berkomunikasi.

Ketiga, antar negara harus menjaga komunikasi dengan baik. Presiden Filipina sekarang ini kan mirip Jokowi. Sama-sama dari wali kota kemudian jadi presiden. Ini bisa digunakan untuk mempererat hubungan.

Kalau presiden dengan presiden sudah baik, akan lebih mudah penyelesaian masalah seperti ini. Perjanjian trilaretal itu sudah bagus, tapi pengalaman saya di interpol mengurus MoU, banyak yang cuma di atas kertas.

Apa saran anda agar para sandera bisa segera dibebaskan?

Pertama, beri pengertian kepada keluarga bahwa membebaskan sandera waktunya lama. Kita paham semua ingin cepat. Tapi kita harus berhati-hati, karena penyelesaian hari ini menentukan apa yang akan terjadi ke depan. Pengalaman saya, sandera itu baik-baik saja. Mereka diperlakukan dengan baik. Apalagi belum pernah ada sandera Indonesia yang dibunuh.

Waktu saya membebaskan tahun 2005, sandera itu saya tanya, waktu telepon nangis-nangis apa benar anda ditodong senjata? Dia jawab tidak. Rupanya dia hanya disuruh oleh penyadera untuk pura-pura menangis. Karena itu kita harus tenang. Pemerintah harus tenang.

Kedua, saya sepakat dengan Pak Jokowi agar media tidak membesar-besarkan. Apalagi kalau memberitakan keluarga korban. Ini akan jadi senjata gratis bagi penyandera untuk menekan pemerintah. Penyandera diuntungkan. Makin kuat posisi mereka minta tebusan. Media boleh memberitakan, tapi sebatas update kondisi korban saja biar keluarga tenang. Saya pada tahun 2005 beruntung karena media tidak membesar-besarkan. Jadi bisa leluasa bernegosiasi.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA KHUSUS atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti