tirto.id - Ini sungguh fakta yang mencemaskan. Hanya dalam rentang empat bulan, terjadi empat kali penyanderaan terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang dilakukan kelompok perompak di perairan Malaysia dan Filipina. Indonesia seolah menjadi mangsa empuk para perompak.
Sebenarnya perompak tidak pandang negara. Buktinya, bukan cuma WNI yang jadi korban. Ada warga negara lain yang juga menjadi korban penyanderaan perompak Filipina.
Pada penyanderaan terakhir, 9 Juli 2016, kapal berbendera Malaysia pun mereka libas. Meski akhirnya, dari tujuh anak buah kapal (ABK), empat warga negara Malaysia dilepas, sementara tiga WNI disandera.
Penyanderaan pilih kasih ini pun membuat para petinggi Indonesia kelimpungan. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menilai, Indonesia terlalu persuasif pada perompak. Seandainya digelar operasi militer oleh TNI, Gatot yakin perompak tidak akan berani kembali berulah.
Jika melihat ke belakang, sebenarnya kasus penyanderaan oleh perompak di Filipina sudah lama tidak terjadi. Sebelum empat penyanderaan berturut-turut di tahun 2016, kasus penyanderaan terjadi sekitar sebelas tahun silam. Tepatnya pada 30 Maret 2005. Saat itu, tiga warga negara Indonesia disandera oleh kelompok Jammiah Al Islamiah, Mindanao, Selatan Filipina. Perompak meminta tebusan 100 ribu peso atau sekitar Rp70 juta.
Kasus penyanderaan itu bisa diselesaikan dengan baik. Pemerintah Filipina melakukan operasi intelijen, sementara pemerintah Indonesia juga aktif melakukan operasi serupa. Sejak awal, pemerintah membentuk tim pembebasan penyanderaan yang melibatkan berbagai instansi, di antaranya Badan Intelejen Negara (BIN), Polri, TNI, Kementerian Luar Negeri, DPR, dan perwakilan tokoh masyarakat.
Pembebasan sandera memakan waktu sekitar tiga bulan. Irjen Pol (Purn) Benny Mamoto, pada waktu itu menjadi negosiator tunggal Indonesia. Dia akhirnya bisa membuat perompak berubah pikiran. Kapten kapal akhirnya dilepas tanpa syarat. “Sejak awal kita tegaskan, tidak ada uang tebusan,” kata Benny kepada tirto.id.
Sukses saat itu, ternyata tidak terjadi dalam empat penyanderaan terakhir. Pemerintah seolah kehilangan taji. Pada saat bersamaan, muncul Kivlan Zein yang diminta secara khusus oleh perusahaan Patria Maritime Lines, pemilik kapal, untuk melakukan negosiasi dengan perompak. Sandera berhasil dibebaskan dengan cepat.
Namun, beredar kabar, pembebasan sukses karena uang tebusan sebesar Rp15 miliar dipenuhi oleh pihak perusahaan. Hal itu dibantah oleh Kivlan. Terlepas benar atau tidak adanya uang tebusan tersebut, penyanderaan kembali berulang.
Akibat Kemiskinan
Dosen Hubungan Internasional Univesitas Padjajaran, Teuku Syahreza melihat, penyanderaan yang terjadi akhir-akhir ini bukan perkara sepele. Ada kompleksitas masalah dalam berbagai aspek. Mulai dari faktor ekonomi di Filipina hingga masalah internal di Indonesia.
Faktor ekonomi, misalnya, Reza melihat kondisi masyarakat pesisir Filipina selatan tidak berkembang. Pemerintah Filipina seolah abai dengan kondisi masyarakatnya di sana. Ditambah lagi, kondisi ekonomi dunia yang sedang lesu.
Sejak kondisi ekonomi dunia melemah inilah, intensitas penyanderaan oleh perompak di Filipina mulai meningkat. Pada tahun 2012, hanya terjadi satu penyanderaan yang dilakukan oleh kelompok yang diduga Abu Sayyaf, di dekat Kepulauan Tawi-Tawi. Pada tahun 2013, tidak ada penyanderaan.
Pada 2014, kembali ada penyanderaan. Dua warga negara Jerman diculik dari kapal pesiar di Provinsi Palawan Barat. Para perompak meminta uang tebusan. Pada 2015, terjadi dua kali penyanderaan. Salah satu korban warga negara Malaysia. Di tahun 2016, penyanderaan makin meningkat. Indonesia pun empat kali menjadi korban.
Pada tahun 2015, National Anti-Poverty Commission (NAPC), merilis 10 provinsi termiskin di Filipina. Empat di antaranya merupakan provinsi yang berada di Pulau Mindanao yang berada di Filipina bagian selatan. Yakni Provinsi Lanao del Sur dan Provinsi Maguindanao yang terletak di wilayah otonomi muslim Mindanao, Provinsi North Cotabato yang berada di Mindanao tengah dan Provinsi Sarangani di Mindanao.
Sebanyak 67,3 persen penduduk Lanao del Sur adalah keluarga miskin. Sementara penduduk miskin di Provinsi Maguindanao 54,5 persen, Sarangani 46 persen dan North Cotabato 44,8 persen. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab meningkatnya kriminalitas, termasuk perompakan dan penyanderaan untuk mendapatkan uang pada beberapa tahun terakhir.
Sementara di internal Indonesia pun memiliki masalah. Sebagai negara maritim, Indonesia seperti kehilangan jati diri. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara maritim yang luas lautnya 2/3 dari total wilayah. Sejarah membuktikan bahwa di Nusantara ada dua kerajaan besar yang pernah jaya di lautan, yakni Majapahit dan Sriwijaya.
Secara kekuatan militer, jumlah personel TNI AL pada tahun 2011 sebanyak 74.000 orang. Jumlah itu jauh jika dibandingkan dengan TNI AD yang memiliki 475.000 personel. Selain itu, jumlah kapal perang TNI AL hanya 150 unit. Tentu tidak sebanding dengan luas perairan Indonesia yang mencapai 3.257.483 km persegi.
“Pelaut kita juga sudah mulai kehilangan sense maritim. Kepekaannya berkurang. Dari jarak jauh mereka tidak bisa mendeteksi gerakan kapal lain, apakah itu friendly atau pembajak. Teknologi juga sudah canggih, pembajak sudah lebih hebat dari pelaut,” sambungnya.
Indonesia Harus Bersikap
Sebenarnya terkait penyanderaan WNI yang terjadi di wilayah Filipina, posisi Indonesia memang sulit dan tidak bisa berbuat banyak. Tidak mungkin Indonesia melakukan operasi militer di wilayah Filipina tanpa seizin pemiliknya. Satu-satu yang bisa dilakukan adalah membangun kerja sama yang baik dengan pemerintah Filipina.
Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis, meminta pemerintah Indonesia meyakinkan Filipina bahwa masalah penyanderaan tidak hanya merugikan Indonesia, tapi juga Filipina.
Selain itu, pemerintah juga harus mengingatkan perjanjian trilateral yang sudah dibuat antara Filipina, Malaysia dan Indonesia, di Yogyakarta, pada awal Mei silam. Terutama Filipina, pemerintah harus menyampaikan bahwa Filipina harus menyudahi masalah di dalam negeri mereka sendiri.
“Pergantian kepemimpinan di Filipina menjadi salah satu celah. Apalagi presiden terpilih, Duterte terkenal sebagai koboi dalam pemberantasan kriminalitas,” ujar Abdul Kharis.
Menurutnya, pemerintah Indonesia tidak mungkin mengerahkan pasukan TNI untuk melakukan pengawalan terhadap kapal dagang. Apalagi jika kapal tempur harus mengawal satu-satu kapal dari Indonesia ke Filipina. “Kita tidak mungkin membiayai TNI untuk melakukan pengamanan perdagangan swasta,” pungkasnya.
Pilihan Indonesia memang sedikit. Tapi satu hal yang harus dilakukan pemerintah, bersikap tegas dan membuktikan bahwa Indonesia bukan negara lemah di hadapan Filipina atau pun perompak
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho