tirto.id - Ada sedikit ketegangan dalam Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta pada 1928 itu. Gara-garanya muncul permintaan agar gambar Kiai Haji Ahmad Dahlan diturunkan dari dinding. Yang meminta justru Ketua Umum Muhammadiyah ke-2 penerus Ahmad Dahlan, yakni K.H. Ibrahim.
Ibrahim tentu punya alasan. Bukan lantaran tak menghormati pendiri Muhammadiyah itu. Sebaliknya, ia tidak ingin Ahmad Dahlan terlalu dikultuskan karena gejala tersebut sudah mulai tampak (Lustia Bekti Rohayati, K.H. Ibrahim: Kepemimpinan dan Perjuangannya dalam Muhammadiyah, 2009:39).
Baca Juga:
Kisah Ahmad Dahlan dan Koreksi Waktu Subuh Muhammadiyah
Tujuan utama Muhammadiyah adalah meluruskan penyimpangan dalam pelaksanaan ajaran Islam dengan bersandarkan kepada Alquran dan Hadis. Jadi, pengkultusan terhadap siapapun tentu saja harus dihindari. Dan itulah yang selalu diperjuangkan oleh K.H. Ibrahim selaku penerus kepemimpinan Sang Pencerah.
Pewaris Pilihan Ahmad Dahlan
Boleh dibilang, Ibrahim adalah pewaris sah kepemimpinan Muhammadiyah, organisasi kemasyarakatan berbasis Islam yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tanggal 18 November 1912. Sebelum wafat pada 23 Februari 1923, sang kiai berpesan agar kepemimpinan Muhammadiyah diserahkan kepada Ibrahim.
Ibrahim awalnya menolak karena ia merasa tidak sanggup mengampu tugas sebesar itu. Terlebih lagi, ia merupakan adik kandung Siti Walidah yang tidak lain adalah istri K.H. Ahmad Dahlan. Artinya, ia adalah ipar Kiai Dahlan. Ibrahim khawatir akan timbul anggapan atau persepsi miring jika ia memimpin Muhammadiyah.
Namun, banyak pihak yang mendukungnya menjalankan wasiat Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah. Atas besarnya sokongan tersebut, Ibrahim pun luluh. Dalam sidang tahunan pada Maret 1923, Ibrahim dikukuhkan sebagai voorzitter hoofdbestuur atau Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (H. Soedjak, Riwayat Hidup K.H. Dahlan, 1933:227).
Ibrahim memang menjadi harapan besar bagi masa depan Muhammadiyah, bahkan sejak usianya masih sangat muda. Dilihat dari jejak rekamnya, putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, Penghulu Hakim Negeri Kraton Yogyakarta pada masa Sultan Hamengkubuwana VII, ini dinilai punya bakat dan kemampuan mumpuni sebagai pemimpin.
Baca Juga: Game of Thrones ala Kraton Jawa dan Yogyakarta
Ketika umurnya baru menginjak 17 tahun, Ibrahim sudah menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Ia bahkan menetap di Mekkah antara 7 hingga 8 tahun selanjutnya untuk memperdalam ilmu dan pengetahuan tentang ajaran Islam (Hery Sucipto, et.al., Tajdid Muhammadiyah: Dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Maarif, 2005).
Ibrahim pulang ke tanah air pada 1902 lantaran ingin mendampingi ayahnya yang sudah berusia lanjut. Di kampung kelahirannya di Yogyakarta, Kauman, yang dekat dengan lingkungan kraton, Ibrahim berbagi ilmu agama yang didapatnya kepada anak-anak muda setempat dengan membuka forum pengajian setiap hari.
Untuk Kaum Muda dan Perempuan
Muhammadiyah di bawah pimpinan K.H. Ibrahim mengalami perkembangan pesat dengan berdirinya banyak cabang di berbagai daerah di Indonesia. Ibrahim memang tidak ingin Muhammadiyah hanya terpusat di Yogyakarta saja, termasuk dalam pelaksanaan kongres, muktamar, atau rapat-rapat penting lainnya.
Sejak 1923, kongres besar Muhammadiyah selalu berpindah-pindah lokasi penyelenggaraan. Surabaya, Pekalongan, Solo, Semarang, bahkan Bukittinggi hingga Makassar pernah merasakan menjadi tuan rumah kongres. Tujuannya adalah agar Muhammadiyah semakin dikenal dan kian menyebar luas ke seluruh wilayah Hindia atau Indonesia.
Meskipun berperan sebagai orang nomor satu di Muhammadiyah yang mempunyai puluhan ribu anggota, Ibrahim tidak lantas memasang gengsi tinggi. Ia justru tidak segan-segan turun ke bawah, memberikan perhatian dan bimbingan langsung kepada kader-kader Muhammadiyah di berbagai daerah.
K.H. Ibrahim punya minat besar terhadap angkatan muda dan organisasi sayap perempuan Muhammadiyah. Sang ketua umum selalu siap setiap kali Hizbul Wathan atau Aisyiyah membutuhkan bantuannya (Nur Ahmad & Pramono Tantowi, Muhammadiyah “Digugat”: Reposisi di Tengah Indonesia yang Berubah, 2000:67).
Baca Juga:
Cara Ahmad Dahlan Memuliakan Perempuan
Sebagai pengembangan dua organisasi otonomi Muhammadiyah itu, kepengurusan pusat di bawah komando K.H. Ibrahim membentuk Pemuda Muhammadiyah untuk kaum remaja putra dan Nasyiatul Aisyiyah (NA) untuk kaum remaja putri. Dua organ angkatan muda Muhammadiyah ini masih eksis hingga kini.
Gebrakan Sang Pemimpin Besar
Muhammadiyah melakukan berbagai terobosan baru selama masa kepemimpinan Kiai Ibrahim. Pada 1924, misalnya, ia memelopori dibentuknya Fonds Dahlan yaitu lembaga sosial yang bertujuan membiayai sekolah anak-anak kurang mampu.
Hal-hal yang terkesan “remeh” pun tidak luput dari perhatiannya. Ia menyelenggarakan khitanan massal pada 1925, juga membentuk badan perkawinan sebagai wadah untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah (A.R. Fachruddin, Memelihara Ruh Muhammadiyah, 1996).
Program yang diberi nama “Anak Panah Muhammadiyah” juga dicetuskan Ibrahim. Melalui program ini, kader-kader muda terbaik Muhammadiyah dikirim ke berbagai wilayah di tanah air, hingga ke pelosok-pelosok, untuk mengabdikan diri kepada masyarakat.
Tahun 1927, atas andil K.H. Ibrahim, Muhammadiyah meresmikan dibentuknya Majelis Tarjih, lembaga khusus yang membidangi masalah keagamaan untuk menyatukan seluruh umat Islam. Sedangkan untuk menangani berbagai persoalan ekonomi dan sosial, Muhammadiyah mendirikan Majelis Perekonomian dan Wakaf, juga koperasi Koperasi Adz-Dzakirat.
Dalam kongres di Solo pada 1929, Ibrahim turut merumuskan Uitgeefster My, badan usaha untuk menerbitkan buku-buku bagi sekolah-sekolah milik Muhammadiyah (M. Yunan Yusuf, Ensiklopedi Muhammadiyah, 2005:308). Ia juga mencetuskan diterbitkannya surat kabar harian (daagblad) untuk mendampingi majalah Suara Muhammadiyah yang telah terbit sebelumnya.
Baca Juga: Kisah Lukman Harun Melawan Amien Rais
Sama seperti K.H. Ahmad Dahlan, Ibrahim menjalankan amanat sebagai pemimpin utama Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Berkat kemampuan memimpinnya yang telah teruji, Ibrahim selalu terpilih menjadi ketua umum dalam setiap kongres (muktamar) sampai tahun 1932 di Makassar.
Tanggal 14 Oktober 1932, K.H. Ibrahim meninggal dunia karena sakit (Solichin Salam, Muhammadijah dan Kebangunan Islam di Indonesia, 1965:135). Ia wafat tanpa meninggalkan harta benda, namun mewariskan pondasi yang lebih kuat tetap tegaknya panji-panji Muhammadiyah yang nyatanya masih berdiri kokoh hingga kini.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS