tirto.id - Penolakan sekaligus reaksi keras Kanjeng Penghulu Kamaluddiningrat dari Keraton Yogyakarta benar-benar membuat kecewa KH. Ahmad Dahlan. Sebagai ahli falak dan hisab—paling berpengaruh di Nusantara—ide-ide revolusioner Kiai Dahlan dianggap sesat karena banyak yang bertentangan dengan ketetapan Penghulu Masjid pada saat itu. Kisah yang kemudian ditulis M. Nasruddin Anshorly dalam Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH. Ahmad Dahlan (2010: 99-101)
Tidak hanya ditolak, Penghulu Masjid bahkan sampai marah besar. Kiai Dahlan dianggap kelewatan karena memiliki ide untuk mengubah arah kiblat salat di Masjid Kauman Yogyakarta pada tahun 1897 Masehi. Pada saat itu, Masjid Agung Kauman Yogyakarta memiliki arah kiblat ke arah Barat lurus, tidak tepat menuju arah Masjidil Haram di Mekah dengan sudut 24 derajat Barat Laut seperti yang kita kenal saat ini.
Haji Muhammad Syoedja’, salah satu murid Kiai Dahlan, dalam Cerita tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan (TT: 34-35)yang ditulis ulang oleh cucunya dr. H. Mu’tasimbillah al-Ghozi bahkan mengungkapkan bahwa pada saat itu malah ada beberapa masjid yang menghadap ke arah Timur Laut.
Kasus ini tidak hanya terjadi di Masjid Kauman Yogyakarta, tetapi juga Masjid di Demak, Masjid di Pasar Gedhe, sampai Masjid Ampel di Surabaya juga menghadap ke arah Barat. Saat itu persoalan arah kiblat memang bukan jadi perhatian bagi umat muslim. Pembangunan masjid pada era-era itu lebih ditekankan untuk tata kota dan kerapian arsitektur daerah masing-masing.
Sebagai ulama yang telah menimba ilmu bertahun-tahun di tanah Arab, Kiai Dahlan tentu merasa perlu untuk meluruskan hal ini. Masalahnya, arah kiblat yang keliru telanjur sudah diikuti cukup lama. Pada akhirnya ide untuk mengubah arah—meski cuma sedikit—sontak menjadi isu sensitif yang memicu ketegangan.
Kekecewaan Kiai Dahlan semakin diperparah setelah langgar miliknya yang dirubuhkan paksa oleh massa yang menganggap ide ini sesat. Pada akhirnya, Kiai Dahlan diam-diam bersama istrinya menuju Stasiun Tugu untuk meninggalkan Yogyakarta. Beruntung, Kiai Soleh, kakak iparnya, berhasil membujuk Kiai Dahlan untuk membatalkan niatan tersebut.
Pada tanggal 1 Desember 1911, Kiai Dahlan mendirikan madrasah yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Madrasah ini menjadi cikal bakal berdirinya Muhammadiyah, satu tahun kemudian pada 18 November 1912.
Koreksi Waktu Salat Subuh dengan Sains
Kisah di atas kemudian menjadi contoh dan gambaran bagaimana cara pandang Muhamadiyah sepeninggal Kiai Ahmad Dahlan memang dikenal dengan pemahaman syariat melalui pendekatan rasional. Muhammadiyah mengedepankan pendekatan sains dan teknologi untuk semakin menciptakan akurasi yang presisi dalam terapan syariat di Indonesia. Pelurusan soal arah kiblat yang dilakukan Kiai Dahlan hanyalah satu bentuk nyata dari pelurusan dengan pendekatan sains.
Hal inilah yang kemudian kembali diperlihatkan saat Prof. Tono Saksono, Ketua Himpunan Ilmuwan Muhammadiyah, mengungkapkan hasil riset soal waktu salat subuh. “Ini hasil riset kami dengan alat Sky Quality Meter (SQM), pengukur kecemerlangan benda langit,” kata Profesor Tono pada Seminar Evaluasi Awal Waktu Salat Subuh Menurut Sains dan Fikih di Jakarta, Selasa (9/5).
Ketua Islamic Sciene Research Network (ISRN) Universitas Muhamadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) ini mengungkapkan bahwa waktu salat subuh di Indonesia yang selama ini digunakan terlalu cepat 20 sampai 30 menit dari yang seharusnya.
Dengan pemahaman ilmu falak dan alat bernama SQM, hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi matahari di saat fajar terbit harusnya berada pada sudut depresi 11-15 derajat. Setara dengan 44 -60 menit sebelum matahari terbit. Sudut depresi dalam ilmu matematika merupakan sudut yang terbentuk antara garis datar dengan posisi pengamatan ke arah bawah. Posisi di mana matahari berada di bawah garis horizontal bumi.
Perlu diketahui, periode waktu salat subuh dalam ilmu fikih adalah ketika cahaya matahari sudah tampak di ufuk Timur namun wujudnya belum muncul. Artinya waktu salat subuh akan berakhir ketika matahari sudah tampak wujudnya, sekalipun itu hanya seperempat atau setengah dari bagiannya.
Selama ini perhitungan salat subuh di daerah Indonesia masih menggunakan standar 20 derajat di bawah ufuk Timur, atau setara dengan 80 menit sebelum matahari terbit. Hal yang merujuk pada para pendapat beberapa ulama Melayu pada masa lalu.
Menurut Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), posisi sudut depresi 20 derajat adalah perhitungan yang menggunakan standar yang sama digunakan di Mesir (19,5 derajat) dan Arab Saudi (18 derajat). Mengingat bahwa posisi kedua negara berada di sebelah utara dari garis khatulistiwa, maka seharusnya Indonesia memiliki standar sendiri karena berada tepat di titik nol garis lintang Bumi.
“Tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa sinar fajar sebagai tanda awal subuh telah muncul saat matahari berada pada sudut depresi 20 derajat,” kata Profesor Tono.
Hasil riset ini memang masih dibutuhkan pengujian lebih lanjut, baik dari sisi ilmu falak maupun pendekatan fikih. Namun, jika hasil ini disepakati oleh organisasi Islam lainnya dan disetujui pemerintah, maka waktu subuh akan semakin sempit bagi wilayah Indonesia. Jika tadinya waktu subuh berada di kisaran durasi 80 menit, dengan menggunakan hasil penelitian ini maka akan jadi sekitar 44-60 menit. Di sisi lain, hal ini juga berpengaruh pada masa berhenti santap sahur yang lebih panjang sekitar 20-30 menit dari waktu sebelumnya.
Dibandingkan jamaah Nahdliyin yang lebih mengedepankan pengalaman empirik dalam menghukumi sesuatu, jamaah Muhammadiyah memang cenderung lebih mengedepankan rasionalitas. Hal yang akan semakin jelas terlihat saat penentuan waktu masuk atau akhir bulan Ramadan. Jamaah Muhammadiyah lebih percaya dengan perhitungan ilmu falak dengan metode hisab, dan jamaah Nahdliyin lebih percaya dengan pengalaman langsung melihat hilal (bulan baru).
Meskipun begitu, Nahdlatul Ulama melalui Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Sirril Wafa mengemukakan siap untuk membuka peluang koreksi waktu salat subuh. Wafa bahkan mengusulkan perlunya riset kerja sama antara Muhammadiyah, NU, MUI, dan LAPAN untuk menindaklanjuti hasil riset ini demi kebaikan umat muslim di Indonesia.
Penulis: Ahmad Khadafi