Menuju konten utama

Saat Hoaks Menyelinap di Tengah Gelombang Demonstrasi

Hoaks bisa dilakukan terorganisir maupun oleh individu. Niatnya agar menimbulkan kekacauan, ketakutan, dan situasi kaos di tengah masyarakat.

Saat Hoaks Menyelinap di Tengah Gelombang Demonstrasi
Warga memeriksa kebenaran informasi melalui laman anti hoaks Kemenkominfo di Senayan, Jakarta, Kamis (4/12024). Kemenkominfo berhasil menangani 203 isu hoaks atau informasi bohong terkait Pemilu 2024 yang ditemukan dalam periode Desember 2022 hingga 2 Januari 2024 dengan sebaran di platform digital sebanyak 2.882 konten. ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/sgd/foc.

tirto.id - Gelombang demonstrasi yang pecah di sejumlah daerah sejak 25 Agustus 2025 lalu tidak lepas dari penyebaran hoaks dan misinformasi yang masif di tengah masyarakat. Unjuk rasa yang mulanya menuntut evaluasi anggaran tunjangan DPR RI, bertambah menjadi tuntutan untuk mereformasi Polri dan mengevaluasi berbagai kebijakan pemerintah. Situasi ini makin memanas menyusul jatuhnya korban jiwa imbas tindakan represif aparat selama demonstrasi.

Kericuhan juga muncul di berbagai titik, sampai terjadi peristiwa perusakan dan pembakaran gedung pemerintahan, markas polisi, serta fasilitas umum. Selain itu, terjadi penjarahan di sejumlah rumah pejabat publik yang disertai perusakan.

Narasi hoaks dan misinformasi yang tersebar di tengah-tengah unjuk rasa sepanjang pekan terakhir Agustus 2025 juga beragam. Namun, informasi palsu dan keliru yang tersebar luas di tengah demonstrasi itu berpotensi memantik kaos apabila ketika ditelan mentah-mentah. Hal ini juga menjadi salah satu tantangan dan ancaman serius bagi demokrasi.

Misal, narasi yang tersebar di WhatsApp terkait adanya penembak misterius (petrus) yang siap melumpuhkan massa demonstran. Hoaks tersebut mencatut BEM UI dengan klaim informasi diberlakukan kebijakan tembak mati di tempat bagi demonstran yang anarkistis. Ini merupakan informasi keliru, sebab sejauh ini, tidak ada kebijakan Polri untuk menembak mati massa. BEM UI juga telah mengklarifikasi lewat Kompas.com bahwa organisasi tersebut tak pernah menyebarkan informasi tersebut.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang menyatakan Presiden Prabowo Subianto meminta Polri dan TNI bertindak tegas secara terukur sesuai aturan hukum dalam menindak massa yang anarkistis. Listyo juga didapati memerintahkan jajarannya menembak massa dengan peluru karet jika ada yang merangsek ke dalam markas polisi. Namun, tidak ada informasi Polri menerapkan kebijakan tembak mati demonstran.

Demo 30 Agustus Bali

Demonstrasi di Bali oleh massa, Sabtu (30/08/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Hoaks lain yang tersebar luas adalah video diklaim sebagai aksi penjarahan di Mal Atrium Senen. Video yang menyebar di X dan TikTok itu menampilkan massa yang tampak berlari ke dalam sebuah lobby mal. Faktanya, pengelola Atrium Senen lewat Instagram resminya @mal.atriumsenen, memberikan klarifikasi bahwa video yang beredar adalah hoaks.

Juga muncul hoaks yang beredar di TikTok dengan narasi bahwa gedung DPR RI dibakar massa aksi. Faktanya, massa aksi memang sempat berhasil merusak salah satu gerbang di depan kompleks parlemen di Senayan, Jakarta. Namun tidak terjadi pembakaran gedung DPR RI.

Selain itu, beredar video TikTok terkait penarikan uang dari bank karena Indonesia diklaim sedang tidak baik-baik saja. Faktanya, tidak terjadi peristiwa yang dimaksudkan. Justru, jika terjadi penarikan uang besar-besaran di bank, berpotensi berbahaya bagi perekonomian.

Ada pula narasi yang mengklaim bahwa polisi menyiagakan sniper alias penembak jitu di gedung-gedung tinggi di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Informasi serupa juga beredar di Kota Malang, Jawa Timur. Faktanya, polisi membantah informasi ini dan menegaskan hal itu adalah hoaks yang beredar untuk memprovokasi dan menakut-nakuti massa.

 Ilustrasi Penggunaan Media Sosial

Ilustrasi Penggunaan Media Sosial. foto/ Armend NIMANI / AFP

Sirkulasi hoaks dan misinformasi memang sangat berbahaya di tengah unjuk rasa. Pembuat hoaks atau informasi palsu dinilai memiliki niatan terselubung demi keuntungan pihaknya. Ini amat berbahaya di situasi demonstrasi karena serupa api di tengah tumpahan bensin.

Pengamat IT, Heru Sutadi, menilai sirkulasi hoaks dan disinformasi sudah pasti melonjak di tengah situasi sosial masyarakat yang bergejolak. Penetrasi hoaks memiliki berbagai tujuan. Mulai dari mengacaukan fakta lapangan, propaganda politik, sampai melakukan kericuhan.

“Hoaks atau disinformasi ya jangan disebar ke yang lain, kemudian membuat kita takut atau ikut ajakan yang tidak baik. Semua kontrol di diri sendiri,” kata Heru kepada wartawan Tirto, Selasa (2/9/2025).

Menurut Heru, konstitusi memang menjamin kebebasan berekspresi dan melarang adanya pembungkaman hak bersuara. Kendati begitu, warga perlu menyadari bahwa tidak semua informasi merupakan fakta dan sudah terverifikasi.

Masyarakat perlu lebih bijak diajak mendalami literasi digital agar tidak selalu menyebarkan narasi yang belum teruji kebenarannya. Platform media sosial diharapkan turut mendukung dengan tidak mengamplifikasi hoaks atau disinformasi dengan melakukan moderasi.

“Cerdas untuk tidak percaya begitu saja informasi, lakukan double check,” ujar Heru.

Sementara itu, praktisi keamanan siber, Alfons Tanujaya, menilai hoaks dan misinformasi sangat berbahaya di tengah situasi unjuk rasa karena berpotensi mengancam keselamatan orang lain.

Alfons mencontohkan kasus Menteri Keuangan Sri Mulyani yang rumahnya di Bintaro dijarah sekelompok orang tidak dikenal, setelah beredar luas video hasil manipulasi kecerdasan buatan (AI) yang diklaim seolah Sri Mulyani menyebut guru beban negara. Padahal, penelusuran Tirto menunjukkan bahwa video tersebut adalah hasil suntingan.

Stabilitas sistem keuangan Indonesia masih terjaga

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor LPS, Jakarta, Senin (28/7/2025). ANTARA FOTO/Fauzan/nz

Alfons menilai, hoaks dan misinformasi adalah ancaman bagi demokrasi karena bertujuan menyebarkan narasi yang tidak sesuai fakta. Hoaks bisa dilakukan terorganisir maupun oleh individu secara sporadis. Niatnya, kata Alfons, agar menimbulkan kekacauan, ketakutan, dan situasi kaos di tengah masyarakat, sehingga ada pihak yang mengambil keuntungan.

“Kalau ini fitnah dan itu dipercaya maka itu berbahaya. Atau fitnah berbau SARA itu sangat berbahaya. Goalnya ada yang ini menghancurkan citra, mengadu domba, menimbulkan kaos, dan memecah belah,” ujar Alfons kepada wartawan Tirto, Selasa (2/9/2025).

Manusia pada dasarnya cenderung mempercayai informasi yang diyakininya benar. Tidak peduli informasi tersebut merupakan fakta atau keliru. Alfons menilai kondisi psikologis itu yang seharusnya mulai disadari oleh masyarakat.

Sehingga masyarakat berhati-hati setiap kali menerima informasi agar mampu menahan diri. Terutama, mengecek informasi kredibel di media massa untuk memverifikasi informasi yang diterima.

“Kalau di media massa itu ada, boleh percaya. Kalau tidak ada, harus cek berkali-kali dulu ke sumber sumber lain sebelum mempercayainya. Jangan langsung terima lalu disebarkan begitu saja,” terang Alfons.

Bisa Jadi Sistematis

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, memandang penyebaran hoaks dan misinformasi di tengah unjuk rasa yang marak pada pekan terakhir Agustus 2025, bukan sekadar fenomena spontan melainkan memiliki pola yang sistematis. Misalnya intersepsi informasi yang diarahkan untuk operasi intelijen maupun kontra-intelijen.

Menurut Kunto, terdapat sejumlah insentif yang mendorong penyebaran hoaks dan narasi keliru. Misalnya insentif politik yang memanfaatkan emosi massa atau membuat masyarakat bertindak tertentu seperti yang diinginkan oleh aktor politik.

Unjuk rasa di Temanggung

Pengunjuk rasa melempar batu ke aparat saat aksi di kantor DPRD Temanggung, Jawa Tengah, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/nz

Terdapat juga insentif ekonomi dalam pengerahan pendengung atau buzzer sebagai corong narasi tertentu. Pasalnya, kecepatan arus informasi di media sosial adalah celah manipulasi.

“Sehingga perubahan yang cepat di lapangan beradu di medsos yang memberikan peluang kepada aktor politik yang memiliki kepentingan melakukan manipulasi informasi,” ujar Kunto kepada wartawan Tirto, Selasa (2/9/2025).

Kunto menekankan, dampak disinformasi atau hoaks tidak bisa disepelekan. Disinformasi berbahaya karena mengaburkan kemampuan seseorang bertindak secara rasional. Apalagi yang bersifat memantik emosi sehingga memancing tindakan impulsif dan irasional yang bisa membahayakan orang lain atau diri sendiri.

Ia mencontohkan, narasi keliru yang mendorong massa untuk melakukan perusakan fasilitas umum atau mempersekusi kelompok minoritas. Tindakan itu termasuk dalam kategori ujaran kebencian yang berbahaya.

Lebih jauh, kata Kunto, hoaks dan misinformasi merupakan ancaman langsung demokrasi. Karena demokrasi mengasumsikan masyarakat rasional yang dapat menghimpun informasi dengan baik, sehingga keputusan diambil dari tindakan rasional.

“Ketika informasi yang dikumpulkan salah, tentu keputusan yang dilakukan salah, dan tindakan yang dilakukan juga salah,” ujar Kunto.

Penyebaran disinformasi memang bukanlah gejala baru. Namun dalam era media sosial yang serba instan, hoaks menjelma menjadi senjata politik yang murah, cepat, dan sangat efektif.

Demokrasi tanpa kejernihan menyaring informasi rawan terjebak menjadi tirani irasionalitas yang mudah digiring dan diprovokasi oleh narasi palsu. Jalan keluarnya bukan tindak represi terhadap kebebasan berekspresi, melainkan keberanian menegakkan disiplin kebenaran.

Baca juga artikel terkait HOAKS atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty