tirto.id - Anggota Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Yeni Rosa Damayanti menilai, banyak kebutuhan secara hukum yang belum terakomodir untuk kaum disabilitas dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Menurut dia, hal-hal tersebut penting karena untuk kelangsungan hidup dan perjuangan kaum difabel, khususnya kaum difabel anak-anak dan perempuan.
"Karena di UU KUHP enggak ada pendampingan, enggak ada perlindungan terhadap saksi, saksi korban, misalnya enggak ada. Terus kalau kasusnya berupa pemaksaan alat kontrasepsi, pasang KB paksa enggak ada, jadi banyak hal yang enggak ada di kitab UU KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)," kata Yeni saat ditemui di DPR RI, Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Oleh karena itu, menurut Yeni, poin-poin di atas perlu dimasukkan ke dalam RUU PKS karena tidak terdapat di dalam UU KUHP.
"Mempermudah penyandang disabilitas, soalnya penyandang disabilitas misalnya kesulitan biasanya dalam memberikan pembuktian bahwa dia dipaksa. Susah karena itu penyandang disabilitas secara keseluruhan kan posisinya lemah, pelakunya sering orang dekat yang memiliki otoritas, figur otoritas," katanya.
Selain, itu, tambahnya, masih ada beberapa hal yang tidak diatur diatur dalam KUHP.
"Ya, ada banyak hal-hal yang tidak diatur dalam KUHP sehingga kita menginginkan UU PKS ini. Urgent," pungkasnya.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) sebenarnya telah diusulkan sejak 26 Januari 2016. Artinya, pembahasan tentang RUU ini sudah hampir 3 tahun. Bahkan di tahun 2018, RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2018.
Menurut draf RUU P-KS yang ada di situs resmi DPR (PDF), dokumen itu terdiri dari 16 bab.
Editor: Dhita Koesno