tirto.id - Sepulang dari pertemuan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, di St Petersburg pada Kamis (19/6/2025), Presiden Prabowo Subianto membawa 'oleh-oleh' berupa rencana kerja sama pengembangan energi nuklir di Indonesia. Kerja sama ini merupakan tawaran langsung dari Putin yang disampaikan dalam pidato pernyataan pers bersama.
Secara lugas, Putin menyatakan keinginan Rusia untuk membangun proyek nuklir damai yang akan masuk ke dalam sektor kesehatan, pertanian, dan akan melatih masyarakat Indonesia untuk mendayagunakannya.
"Kami terbuka untuk bekerja sama dengan mitra Indonesia di bidang nuklir. Kami juga berkeinginan untuk merealisasikan proyek nuklir di bidang damai, termasuk bidang kesehatan, pertanian, dan pelatihan staf. Kami berminat menambah kerja sama di bidang teknologi canggih, termasuk penggunaan luar angkasa dengan tujuan damai, smart city, kecerdasan buatan," kata Putin dalam pernyataannya yang disiarkan dalam siaran pers Sekretariat Presiden.

Pernyataan Putin tersebut disambut oleh Prabowo dalam forum yang sama, meski tidak secara eksplisit menyambut rencana investasi Rusia di pengembangan nuklir Indonesia. Namun, Prabowo tiada henti memuji Rusia dan mengingatkan perihal hubungan kedua negara yang sudah berumur 75 tahun lamanya.
"Federasi Rusia selalu menjadi mitra penting bagi Indonesia di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Sewaktu Indonesia masih baru merdeka dan masih sangat miskin, Uni Soviet pada saat itu di mana Rusia adalah inti sudah sangat membantu kami," kata Prabowo.
Indonesia bukanlah negara tunggal yang ditawari oleh Rusia untuk kerja sama di sektor nuklir. Ada banyak negara berkembang lain yang ikut disokong oleh Rusia untuk membangun teknologi nuklir yang sebagian besar digunakan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Rusia mengamanahkan kerja sama pengembangan nuklir tersebut kepada perusahaan negara, Rosatom untuk menindaklanjuti keinginan pemerintah berinvestasi di banyak negara.
Kini, Rosatom berinvestasi nuklir di Turki, Mesir, Cina, India, Iran hingga Bangladesh. Selain Indonesia yang juga sedang dalam proses penjajakan dengan Rusia, terdapat Mali yang ikut menandatangani perjanjian kerja sama untuk menyepakati pembangunan nuklir damai.
Pertemuan Prabowo-Putin mengenai rencana kerja sama nuklir kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Dalam keterangan pers yang dikutip dari Antara, Bahlil mengaku telah bertemu dengan menteri Rusia di sektor energi dan para petinggi Rosatom untuk melanjutkan pembahasan dan kerja sama nuklir damai. Selain Rusia, Bahlil juga mengaku telah bertemu dengan pemerintah Kanada untuk investasi PLTN di Indonesia.
“Kanada, saya sudah ketemu sama menterinya. Rusia (juga). Ada beberapa negara lain yang saya tidak bisa ungkapkan,” kata Bahlil.

Peta jalan kerja sama Indonesia-Rusia dalam pembangunan nuklir telah dibuat hingga 2034. PLTN yang akan dibangun memiliki kapasitas mencapai 500 megawatt (MW). Sebesar 250 MW akan dibangun di Sumatra, dan 250 MW sisanya akan dibangun di Kalimantan. Indonesia akan menggunakan PLTN dengan teknologi reaktor modular kecil atau SMR (Small Modular Reactor) di lokasi tersebut.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menuturkan bahwa pemerintah hendak membangun PLTN 500 MW yang termaktub dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang menargetkan kenaikan bauran energi baru terbarukan (EBT) hingga 34,3 persen satu dekade mendatang.
Rencana tersebut setidaknya membutuhkan anggaran yang diharapkan datang dari investasi sebesar 188 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp2.967 triliun untuk menambah produksi listrik dalam negeri dalam kurun tersebut. Khusus untuk proyek PLTN 0,5 GW, nilai investasi yang dibutuhkan sebesar 3,2 miliar dolar AS.
Kerja Sama Nuklir Indonesia-Rusia untuk Tujuan Damai
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, menegaskan bahwa rencana kerja sama pengembangan nuklir Indonesia-Rusia tidak akan menyentuh aspek pertahanan atau militer. Hal itu dilandaskan pada perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia dan Rusia yaitu Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang melarang adanya penggunaan nuklir untuk tujuan militer atau perang.
Dalam traktat tersebut berisikan tiga ketentuan yang harus ditaati oleh semua negara yang telah meratifikasi. Pertama, apabila negara tersebut tidak memiliki nuklir dilarang untuk mengembangkan senjata nuklir, apabila negara yang mengembangkan senjata nuklir diharuskan melakukan perlucutan, dan semua negara baik nuklir maupun non-nuklir harus mengakui penggunaan nuklir hanya untuk perdamaian.
"Sejak lama Indonesia dan Rusia dan banyak negara-negara lain sudah melakukan dan menjajaki hal yang sama mengenai pengembangan nuklir untuk tujuan damai sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Traktat Non-Proliferasi Pelucutan Senjata atau NPT," kata Rolliansyah di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (30/6/2025).

Rolliansyah menuturkan, proses tindaklanjut antara pemerintah Indonesia-Rusia membutuhkan waktu karena melibatkan banyak sektor lembaga dan kementerian dalam menyusun dan menandatangani MoU kedua negara. Namun, saat ini sudah dilakukan kesepakatan di sektor swasta dalam pengembangan nuklir antara Rosatom dari Rusia dan Modena dari Indonesia.
"Hanya memang ini membutuhkan waktu, memang sudah ada private to private, business to business, MOU kemarin yang ditandatangani saya lupa antara Rosatom dengan Modena," kata dia.
Di sisi lain, rencana Rusia untuk mengembangkan energi nuklir damai di Indonesia sudah dilakukan sejak lama. Sejumlah kementerian, lembaga hingga perusahaan swasta dari Indonesia telah hilir mudik ke Rusia untuk menjajaki kerja sama pengembangan nuklir. Salah satunya adalah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) yang telah membahas kerangka peraturan di bidang keselamatan nuklir dan radiasi dan keamanan nuklir dan sejumlah kesiapsiagaan pembangunan energi nuklir.
Faktor Keamanan Masih Jadi PR Utama
Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Rohadi Awaluddin, mengungkapkan Indonesia perlu memaksimalkan potensi kerja sama dengan Rusia dalam pengembangan nuklir. Menurutnya, Rusia memiliki pengalaman panjang dalam bidang nuklir baik untuk energi maupun nonenergi.
"Di bidang energi, rusia merupakan pelopor pengembangan PLTN di dunia. Sedangkan di bidang non energi, Rusia telah memanfaaatkan secara luas teknologi nulir di bidang kesehatan, industri serta pertanian dan pangan," kata Rohadi saat dihubungi Tirto, Senin.
Menurutnya, pengembangan energi nuklir saat ini tak perlu mengkhawatirkan trauma ledakan dan efek radiasi yang pernah dialami oleh Rusia di PLTN Chernobyl pada 28 April 1986. Menurutnya, pascaledakan Chernobyl, Rusia melakukan reformasi besar-besaran dalam desain, pengawasan, dan pengoperasian reaktor. Fokus kemudian diarahkan pada pengembangan reaktor jenis VVER, sebuah jenis reaktor air bertekanan (PWR) yang menjadi tulang punggung industri PLTN Rusia hingga saat ini.
Dia menerangkan bahwa, VVER-1200 merupakan PLTN generasi III+, yang memiliki fitur keselamatan pasif, efisiensi tinggi, dan umur operasi hingga 60 tahun. Sedangkan PLTN tipe SMR yang akan dikembangkan di Indonesia dirancang untuk beroperasi menjadi PLTN selama 6–7 tahun tanpa pengisian ulang bahan bakar.
"Reaktor ini telah diekspor dan dibangun di berbagai negara seperti India, Turki, Mesir dan Bangladesh," kata dia.
Untuk wilayah geografis di Indonesia, Rohadi berkeyakinan tidak akan ada masalah dengan lempengan bumi yang kerap kali menjadi penyebab gempa dan dikhawatirkan menjadi pemicu bencana di lokasi PLTN. Menurutnya, wilayah yang mengandung nuklir seperti Bangka Belitung dan Kalimantan merupakan wilayah yang aman dari sisi gempa.
"Selain itu, teknologi PLTN saat ini sudah sangat tinggi, sanggup menahan gempa yang tinggi," katanya.
Menurutnya, perkembangan teknologi saat ini telah menghasilkan PLTN yang tahan terhadap gempa dan tsunami. Sehingga, dia meminta masyarakat untuk tak khawatir terhadap insiden yang sempat PLTN di Fukushima, Daini dan di Onagawa Jepang yang menyebabkan kebocoran radiasi nuklir akibat tsunami dan gempa.
"Kasus gempa di Jepang, masyarakat hanya tahu kecelakaan di Fukushima Daiichi. Fukushima Daiichi adalah reaktor tipe lama," kata dia.

Rohadi meyakini bahwa kerja sama Indonesia-Rusia dalam pengembangan nuklir tidak akan mengarah pada sektor persenjataan ataupun kepentingan militer. Selain karena ratifikasi NPT, pengembangan nuklir juga iawasi secara ketat oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Meski demikian, Indonesia rawan menuai sanksi sosial dari negara lain terutama Amerika Serikat dan kroninya karena menjalin hubungan kerja sama di bidang ekonomi dengan Rusia. Walaupun secara gamblang Indonesia telah menyatakan bahwa hingga saat ini masih bersifat nonblok dan menjunjung ideologi 'bebas aktif' sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
"Geopolitik di sini lebih kepada sisi ekonomi. Rusia mendapat sanksi ekonomi dari berbagai negara. Maka kerja sama dengan Rusia ada kemungkinan berdampak pada kerja sama ekonomi dengan beberapa negara, khususnya Amerika Serikat," kata dia.
Dirinya berharap, dengan momentum kerja sama di bidang nuklir dengan Rusia, Indonesia mau kembali membuka Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) setelah sebelumnya dileburkan oleh pemerintah untuk menjadi satu dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Menurutnya, keberadaan BATAN menjadi corong penyaring dan penguji setiap informasi hoaks mengenai nuklir yang kerap bertebaran di media sosial. Sehingga, masyarakat dapat menerima informasi yang benar terkait nuklir.
"Sayangnya saat ini tidak ada lagi BATAN yang menggawangi program edukasi publik terkait dengan teknologi nuklir. Oleh sebab itu, seiring dengan upaya pemerintah untuk memperluas pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia, pemerintah perlu menghidupkan kembali BATAN," kata dia.
Hal serupa juga disampaikan Peneliti Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto, menurutnya teknologi nuklir adalah sebuah keniscayaan. Bambang juga berpendapat bahwa penelitian Indonesia kerja sama dengan Rusia di bidang nuklir sudah dilakukan sejak lama sehingga perlu ada tindaklanjut segera tanpa mengesampingkan faktor keamanan.
"Ketakutan-ketakutan terkait bahaya nuklir memang harus dijadikan upaya peningkatan preventif bukan hambatan untuk mengembangkan nuklir," kata Bambang, Senin.

Bambang berpendapat bahwa rencana pembangunan nuklir untuk kepentingan militer maupun persenjataan masih jauh untuk diwujudkan. Terlepas dari segala macam bentuk kepentingan politik suatu rezim, dia menilai masih ada suatu batasan dari penguasa untuk menjadikan nuklir sebagai alat politik demi mempertahankan kekuasaannya.
"Jadi tidak serta merta, pembangunan pertahanan selalu dicurigai hanya sebagai alat kepentingan kekuasaan," kata dia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, meminta kepada pemerintah untuk menelaah dan meneliti lebih lanjut perihal rencana kerja sama pengembangan nuklir di Indonesia dengan Rusia. Fabby menyoroti perihal PLTN mode SMR (Small Modular Reactor) yang akan diterapkan oleh Rusia di Indonesia apabila investasi itu jadi diteken.
Dia menjelaskan, keberadaan SMR belum tentu cocok dengan kondisi geografis Indonesia yang tropis. Sedangkan SMR di Rusia digunakan di Admiral Lomonosov atau PLTN terapung yang berada di kawasan sekitar Kutub Utara, dan beriklim dingin bahkan memiliki suhu rendah yang ekstrem.
"Apakah yang kayak begitu cocok di Indonesia, kita udaranya panas kok, tropis kok, jadi misalnya ada teknologi itu, tapi belum tentu pas dipakai di Indonesia," kata Fabby saat dihubungi Tirto, Senin.
Fabby juga meminta pemerintah menyiapkan perangkat asuransi sebelum aturan itu diteken. Dia memberi contoh bahwa di Amerika Serikat terdapat kebijakan yang Price-Anderson Act, sebuah aturan negara federal yang mengatur jaminan asuransi di setiap pembangunan teknologi berbasis nuklir.
Menurutnya, asuransi serupa perlu diterapkan di Indonesia saat PLTN akan dibangun. Hal itu demi mencegah terulangnya bencana 'Lumpur Lapindo' yang dulu sempat terjadi Sidoarjo. Fabby mengungkapkan jika kasus tersebut membuat pemerintah harus ikut bertanggung jawab karena tak ada asuransi yang menanggung kerugian kecelakaan tersebut.
"Saya ambil contoh saja, kasus Lumpur Lapindo, itu bagaimana kejadian yang kemudian menjadi beban pemerintah, beban APBN, kita ikut menanggung biayanya, gimana kalau ada kejadian seperti itu, kalau kita bicara kejadian nuklir, bencana nuklir, risiko itu pasti ada," kata Fabby.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































