tirto.id - Di tengah hiruk pikuk pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), pemerintah diam-diam menyiapkan Rudiantara untuk mengisi kursi Direktur Utama PT PLN (Persero).
Kabar tersebut dibenarkan oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung usai diberondong pertanyaan soal proses seleksi calon Dirut PLN oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang bekerja di bawah arahan presiden.
Dalam waktu dekat, kata Pramono, Mantan Menteri Kominfo itu bakal menakhodai perusahaan yang tak hanya vital dan strategis, tapi juga monopolistik itu.
"Mudah-mudahan segera dilantik, yang jelas saya sudah tanda tangan," kata Pramono.
PLN bukan lingkungan yang asing bagi Rudiantara. Sebelum menjadi Menkominfo pada periode 2014-2019, Rudiantara pernah menjadi Wakil Dirut PT PLN pada periode 2008-2009 dan terlibat dalam pencarian pendanaan perusahaan—terutama untuk proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt.
Usai dari PLN, kariernya melintang luas ke berbagai sektor bisnis. Ia pernah menjabat sebagai Presiden Direktur PT Rajawali Asia Resource dan PT Bukit Asam Transpacific Railway, Wakil Presiden Direktur PT Semen Gresik, hingga General Manager Business Development PT Indosat.
Sebagai petinggi perusahaan-perusahaan papan atas, harta kekayaan Rudiantara tercatat mencapai Rp112.646.004.701, di luar utang sebesar Rp5.888.699.807. Mengutip data e-LHKPN, Rudiantara terakhir kali mengumumkan laporan kekayaan tersebut pada 29 Maret 2019.
Kekayaan itu terbagi atas harta tidak bergerak berupa tanah dan bangunan senilai Rp90.838.057.200 yang sebagian besar berada di Jakarta Selatan dan Bogor.
Ada pula alat transportasi senilai Rp1.403.000.000; harta bergerak lainnya senilai Rp5.950.000.000; surat berharga sebesar Rp1.808.550.975; kas dan setara kas senilai Rp11.084.404.967; serta harta lainnya sebesar Rp1.561.991.559.
Tantangan PLN
Sebagai calon orang nomor satu di PLN, tantangan Rudiantara sudah membentang di depan mata. Salah satunya, reformasi tata kelola PLN.
Terkuaknya kasus Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 yang menyeret nama-nama penting mulai dari Idrus Mahram hinga Sofyan Basir harus jadi bahan evaluasi.
Kewenangan PLN dalam penunjukan langsung pengampu proyek untuk pengadaan listrik 35.000 Megawatt (MW)—yang jadi ambisi Jokowi sejak Mei 2015—harus ditinjau ulang.
Di samping itu, skema pembelian listrik swasta atau power purchase agreement kepada perusahaan swasta (Independent Power Producer/IPP) juga harus diubah. Selama ini negosiasi harga beli listrik dilakukan tertutup dengan kendali di bawah Dirut PLN.
Padahal, perbedaan harga nol koma sekian sen per-kilowatt per jam (kWh) dapat memengaruhi persentase keuntungan yang bisa dinikmati IPP.
Dalam laporan Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan yang dilakukan BPK atas Perhitungan Subsidi Listrik 2018, misalnya, terlihat bahwa skema pembelian listrik yang dilakukan PLN telah menghilangkan kesempatan PLN menghemat masing-masing sebesar Rp676.989.332.638.00 dan Rp431.276.021.158,00 selama 2018.
Penyebabnya, berdasarkan laporan tersebut, adalah pembayaran dengan skema take or pay menggunakan proyeksi faktor kesediaan dan klausul pembayaran dengan nilai kurs jual USD pada jual beli listrik IPP dan pembangkit sewa.
Di samping itu, PLN berpotensi kehilangan kesempatan menurunkan BPP di periode 2019 datang atas tidak terserapnya batas minimum energi listrik masing-masing sebesar 2.1 18.256.289,62 kWh dan 1.383.317.866,00 kWh.
Rudiantara juga mewariskan total utang (liabilitas) PLN yang mencapai Rp604,46 triliun sepanjang semester I/2019. Utang tersebut mengalami pembengkakan sekitar 24 persen dibandingkan utang periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp486,89 triliun.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, rasio utang PLN terhadap pendapatan dan aset tersebut sudah "lampu kuning" alias harus hati-hati. "Apalagi, total kebutuhan pendanaan PLN untuk mewujudkan proyek 35.000 MW sangat besar," ucapnya.
Meski demikian, PLN mengatakan bahwa korporasi telah menyiapkan langkah untuk memenuhi pendanaan, di antaranya melakukan revaluasi aset, meningkatkan produktivitas aset eksisting, efisiensi operasi, dan pengadaan barang dan jasa.
Kebutuhan pendanaan melalui pinjaman diutamakan untuk dipenuhi dari lembaga multilateral development bank guna mendapatkan cost of fund lebih murah dan penarikan pinjaman disesuaikan dengan progres kemajuan proyek.Editor: Rio Apinino