Menuju konten utama
Mozaik

Riwayat Seragam Tahanan, dari Warna Netral Menjadi Oranye

Seragam tahanan awalnya bukan berwarna oranye. Namun belakangan, mempertimbangkan berbagai kepraktisan, warna ini akhirnya identik dengan pesakitan.

Riwayat Seragam Tahanan, dari Warna Netral Menjadi Oranye
Header Mozaik Seragam Tahanan. tirto.id/Tino

tirto.id - Jamal Ramadhan bersicepat. Sebagai seorang fotografer news, ia harus segera menghadiri konferensi pers di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hari itu, mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), akan dihadirkan dalam sesi jumpa pers sebagai tersangka dugaan korupsi.

Setelah beres, ia lalu mengirim sejumlah foto ke kantornya untuk ditayangkan dalam breaking news. Meski demikian, baginya masih ada yang mengganjal. Jamal lalu naik ke arah balkon, tempat beberapa wartawan sudah sedia. Di sanalah ia mengabadikan fotonya yang sempat viral di pengujung 2023.

“Saya iseng upload ke medsos, kata istri saya viral,” ujarnya di sela sebuah pameran pada Maret 2024.

Foto itu menunjukkan SYL mendongak ke atas balkon, tepat ke arah posisi Jamal memotret, dikerubungi polisi, beberapa petugas KPK, dan wartawan. Mengenakan rompi bertuliskan “Tahanan KPK” berwarna oranye dengan tatapan tajam, SYL tampak menyampaikan pesan visual yang begitu kuat ke khalayak.

Foto itu memiliki potensi besar dalam membentuk opini, memunculkan kesadaran akan bahaya kejahatan korupsi, serta memengaruhi emosi sosial. Rompi oranye yang dikenakan SYL seperti magnet yang menjadikan foto itu terlihat dominan dan terlihat kontras dengan sekitarnya.

Secara umum, warna oranye pada baju para tahanan bukan hanya berfungsi sebagai alat keamanan, tetapi juga memiliki dampak sosial dan psikologis yang lebih luas dalam konteks sistem peradilan pidana.

Stereotipe Tahanan Tradisional

Sebelum baju oranye, banyak penjara menggunakan pakaian berwarna netral, seperti putih atau abu-abu. Warna-warna ini tidak mencolok dan lebih berfungsi untuk keseragaman.

Seragam penjara bergaris hitam-putih lalu diperkenalkan dalam sistem penjara Auburn di New York pada tahun 1820-an. Dua warna ini diambil dari simbol jeruji penjara dan siluet matahari yang masuk ke ruang sel. Pakaian ini membuat tahanan mudah dikenali sebagai kriminal, sehingga jika melarikan diri, masyarakat dapat dengan mudah membedakannya dari populasi non-kriminal.

Dalam sistem Auburn, tahanan diwajibkan untuk berjalan dalam “lockstep” (langkah teratur) dan wajib menjaga ketenangan. Seragam juga berfungsi sebagai kontrol dan disiplin di dalam penjara.

Selain mengenakan seragam, tahanan di Auburn juga dilibatkan dalam kegiatan ekonomi dan menjadi buruh kontrak, seperti budidaya ulat sutra, menenun kain sutra, dan memproduksi perkakas sebagai bagian dari restitusi mereka.

Industri penjara tersebut akhirnya memindahkan operasi mereka ke luar penjara. Sistem tenaga kerja kontrak digantikan oleh sistem penggunaan tahanan negara pada tahun 1890 untuk mengurangi kemalasan di antara narapidana dan pengeluaran negara.

Saat ini, toko-toko di Penjara Auburn memproduksi barang-barang seperti pelat nomor, furnitur, dan pakaian untuk narapidana. Penjara ini memiliki sejarah memproduksi berbagai produk, termasuk tembakau, tetapi merokok kini dilarang di dalam fasilitas tersebut.

Dalam beberapa konteks, baju strip hitam putih kerap digunakan oleh aktivis untuk menyoroti isu-isu dalam sistem peradilan pidana, seperti penahanan massal dan perlakuan terhadap tahanan.

Seturut Katherine Feo Kelly dalam jurnalnya “Performing Prison: Dress, Modernity, and the Radical Suffrage Body”, seragam penjara dipakai sebagai alat untuk menunjukkan penindasan yang mereka alami. Dengan mengenakan seragam tersebut, aktivis dapat membangkitkan rasa empati dari publik, yang mungkin tidak akan terjadi jika mereka menggunakan pakaian biasa.

TARI KOLOSAL NARAPIDANA

Sejumlah narapidana atau warga binaan dan petugas Lembaga Pemasyarakatan melakukam tari kolosal Indonesia Bekerja di Lapas Kelas 1 Tangerang, Banten, Kamis (15/08/2019). tirto.id/Andrey Gromico

Para aktivis kemudian berhasil mengubah narasi dari "tahanan" menjadi "pahlawan" dengan memanfaatkan seragam tersebut. Ini menjadi bagian dari strategi retorika mereka untuk menarik dukungan lebih luas.

Seragam penjara bergaris tidak lagi populer pada pertengahan abad ke-20. Alasannya ada pandangan bahwa masuk bui alias mengenakan baju loreng hitam-putih berarti merupakan bentuk hina sehingga ada kesan merendahkan narapidana.

Anggapan itu menyebut bahwa penjara juga seharusnya dianggap sebagai tempat memperbaiki diri dan tempat mendapatkan kembali martabat mereka yang mendapat hukuman.

Lain itu, seragam bergaris hitam-putih juga kerap disandingkan dengan kerja paksa atau chain gangs, praktik kontroversial di mana narapidana diikat bersama dan dipaksa untuk melakukan pekerjaan berat di depan umum. Dampaknya membuat seragam bergaris dianggap sebagai simbol penindasan dan perlakuan tidak manusiawi.

Maka itu pada awal 1900-an, beberapa penjara mulai mengenakan seragam tahanan berwarna solid. Seragam yang lebih netral dianggap lebih sesuai dengan tujuan rehabilitasi. Dalam beberapa sistem penjara, warna pakaian digunakan sebagai kode untuk menunjukkan status tahanan, seperti tahanan yang sedang menjalani hukuman ringan atau berat.

Celana jins denim, kemeja chambray biru, dan jaket mulai dikenakan tahanan di negara bagian California. Pada 1904, giliran penjara di seluruh New York yang menghapus seragam hitam-putih pada tahanannya, disusul di Carolina Utara pada 1958 yang mengganti warnanya sesuai tingkat kejahatan para tahanan: abu-abu untuk kejahatan tinggi, cokelat untuk kejahatan sedang, dan hijau untuk kejahatan rendah.

Di Cleveland Country, otoritas penjara setempat menerapkan warna merah muda yang membuat para tahanan tak berkutik.

“Kami ingin narapidana kami dapat dikenali. Jika salah satu dari mereka melompati tembok, kami ingin segera mengetahuinya,” ujar Wakil Sheriff Rhett Burnett.

Pakaian tahanan lantas dirancang dengan fitur fungsional, seperti saku yang lebih sedikit dan bahan yang lebih aman untuk mencegah penyelundupan barang terlarang.

Transisi ke Desain Modern

Meskipun seragam bergaris hitam-putih awalnya dirancang untuk memudahkan identifikasi narapidana, pada praktiknya, pola garis-garis tersebut justru terkadang menyulitkan pengawasan, terutama dari jarak jauh atau dalam kondisi cahaya yang kurang baik.

Dari sisi kualitas, pakaian bergaris tersebut biasanya terbuat dari bahan yang tahan lama tetapi tidak nyaman, seperti kanvas atau katun kasar. Begitu baju strip hitam-putih dihapus, seragam penjara berbeda-beda warna membuat narasi seakan ada kesan rasis di dalamnya. Apalagi pada tahun 1950 dan 1960-an segregasi rasial sedang meningkat di AS.

Seiring waktu, dengan meningkatnya perhatian terhadap keamanan di penjara, banyak lembaga mulai mencari cara untuk meningkatkan keamanan dan penyeragaman tahanan, yang pada akhirnya mengarah pada adopsi baju oranye.

Dengan standar pakaian yang sama, diharapkan dapat mengurangi stigma terhadap tahanan, menjadikan mereka lebih manusiawi.

Operasi Nila Jaya 2018

Ratusan tersangka dihadirkan saat rilis hasil Operasi Nila Jaya 2018 di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (1/10/2018). tirto.id/Andrey Gromico

Warna oranye, di sisi lain, sangat mencolok dan mudah dilihat dalam berbagai kondisi, sehingga meningkatkan visibilitas dan keamanan, baik di dalam maupun di luar penjara. Sehingga para tahanan dapat berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan yang melanggar aturan.

Bagi petugas penjara ini sangat membantu dalam mencegah upaya pelarian dan memudahkan pencarian jika tahanan kabur.

Sekitar tahun 1970-an, warna oranye mulai populer di beberapa penjara di Amerika Serikat. Awalnya, penggunaan warna oranye mungkin terbatas pada situasi tertentu, seperti penahanan khusus (misalnya di fasilitas sementara), saat pemindahan narapidana, dan saat konferensi pers atau penampilan di depan publik.

Bahannya juga dianggap lebih praktis dan ekonomis untuk diproduksi dan dirawat dibandingkan seragam bergaris yang mungkin memerlukan proses pewarnaan dan penjahitan yang lebih rumit.

Penggunaan warna oranye kemudian semakin meluas dan menjadi semacam standar di banyak penjara di seluruh dunia. Terlebih setelah peristiwa 11 September 2001.

Seturut Elspeth Van Veeren dalam tesisnya “Orange Prison Jumpsuit” warna baju tersebut menjadi simbol dan identitas kolektif untuk para tahanan yang dipenjarakan di Penjara Guantanamo.

Van Veeren menggambarkan mereka sebagai super-teroris, objek yang sangat penting untuk membenarkan langkah-langkah penahanan yang ekstrem.

Baju oranye tidak hanya menjadi pakaian tahanan, tetapi juga menjadi simbol budaya populer yang terkait dengan penjara dan kejahatan, seperti serial “Orange is the New Black” yang tayang di Netflix pada 2013 hingga 2019.

Media sering menggambarkan tahanan dalam baju oranye sebagai karakter antagonis, yang membentuk pandangan publik tentang penjara dan narapidana sebagai individu yang berbahaya dan tidak dapat dipercaya.

Melalui penggambaran media, stigma sosial, dan dampak pada kebijakan, warna ini dapat memperkuat pandangan negatif terhadap narapidana dan memengaruhi cara masyarakat memahami keadilan dan rehabilitasi.

Di Indonesia, terkadang ada perbedaan warna seragam untuk membedakan tingkat keamanan atau jenis kasus. Misalnya, selain oranye, ada juga warna lain seperti merah, pink, atau biru. Namun, oranye umumnya digunakan untuk tahanan yang terlibat dalam tindak pidana umum, seperti pencurian, penganiayaan, atau penyalahgunaan narkoba, dan masih dalam tahap pemeriksaan atau menunggu persidangan.

Kasus khusus seperti yang menimpa SYL merupakan penggunaan rompi oranye oleh KPK yang diperkenalkan pertama kali pada 2013. Rompi ini dirancang khusus untuk tahanan kasus korupsi. Tujuan penggunaan rompi oranye KPK adalah untuk memberikan efek jera dan mempermalukan pelaku korupsi di mata publik.

Desain baru awalnya menampilkan satu garis hitam, kemudian diubah menjadi tiga garis yang melambangkan tingkat keparahan korupsi.

Baca juga artikel terkait NARAPIDANA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi