tirto.id - Anak kecil duduk di bangku sekolah dasar dekat dengan kompleks perumahan tentara. Agus namanya. Selama beberapa hari dia mendengarkan orang lalu-lalang sambil berteriak “Papua Merdeka”. Pada pengujung hari keempat, giliran derap langkah militer melintas tidak berhenti. Langkah kaki kian bergema pada pukul 04.00 pagi. Bedanya kini dengan iringan tembakan. Selama tiga jam, letusan peluru tidak berhenti.
Agus memang hanya bisa meringkuk ketakutan di ruang kelas bersama temannya, tapi dia paham di luar sana orang Papua jadi korban pembantaian tentara.
Kelak, hari itu, Senin 6 Juli 1998, hanya berselang dua bulan setelah Soeharto jatuh, dikenal dengan nama Biak Berdarah.
Filep Jacob Semuel Karma ada di tempat tersebut pada hari itu. Bukan di sisi tentara, tentu saja. Ia ada di pihak yang menginginkan kemerdekaan.
Empat hari sebelumnya Filep seorang diri berorasi di menara air belakang Puskesmas Biak Kota yang berada di sebelah barat Papua Nugini. Ia lantang bersuara meski sendirian. Perlahan ia menarik perhatian orang. Massa terkumpul secara spontan dan mereka lantang menyuarakan kemerdekaan Papua. Bendera Bintang Kejora dikibarkan.
“Menyuarakan kebebasan berekspresi dari orang Papua, yang selama sekian tahun di bawah era Sukarno dan Soeharto di bawah penindasan,” kenang Filep tentang hari itu kepada reporter Tirto Adi Briantika dua tahun lalu.
Masalahnya adalah, seperti kata Jason MacLeod dalam buku Merdeka and The Morning Star: Civil Resistance in West Papua (2015), mundurnya Orde Baru tidak begitu saja membuat orang Papua merasakan demokrasi. Pemandangan orang Papua bernama Filep Karma yang mengibarkan bendera Bintang Kejora dan berorasi bukanlah sesuatu yang dapat diterima apalagi menyenangkan militer. Demonstrasi harus dibubarkan, apa pun caranya. Titik.
Selain personel, Jakarta juga mengirim setidaknya tiga kapal tempur dari Jerman Timur dan pesawat C-130 Hercules dari Australia untuk membungkam aspirasi Papua merdeka di Biak.
MacLeod menggambarkan situasi itu seperti persiapan Indonesia sebelum menumpahkan darah di Timor Leste tahun 1999. Bedanya, jika Timor Leste berhasil lepas dari Indonesia, Papua tidak (atau belum). Tanah Biak menjadi saksi bagaimana orang-orang Papua justru diberondong tembakan dari segala penjuru.
Filep adalah salah satu korban selamat, tapi dia tidak lolos begitu saja. Dia siuman dalam keadaan telentang dan tentara tengah menyeretnya di atas batu dengan kedua kaki yang terluka akibat peluru karet terbelenggu ikat pinggang. Badannya diayun dan dilempar begitu saja ke dalam mobil boks.
Di sana Filep tidak sendiri, tapi menindih orang Papua lain yang juga merintih karena luka. Sebagian lain diam tak bersuara: pingsan atau mati. Filep tak lagi bisa membedakannya.
Beberapa waktu sebelumnya mereka yang turut bergabung dengan massa di menara air jadi korban kebrutalan tentara. “Semua (penduduk) disuruh keluar, berbaris menuju pelabuhan. Sampai di pom bensin, mereka disuruh lepas baju dan merayap hingga ke pelabuhan kapal. Siapa pun yang haus disuruh minum air kubangan,” kata Filep.
Filep juga mendengar kabar ada warga yang diangkut menggunakan kapal TNI AL dan tak jelas rimbanya. “Terakhir dapat kabar banyak mayat dimutilasi dan dibuang ke laut,” katanya.
Pernyataan Filep belum terkonfirmasi karena penyelidikan kasus ini juga mangkrak--sudah lima kali ganti presiden. LSM Elsham Papua mencatat setidaknya ada delapan orang meninggal, tiga hilang, empat luka berat, 33 luka ringan, dan 50 orang ditahan sewenang-wenang. Laporan yang sama juga menemukan ada 32 mayat di sekitaran perairan Biak. Filep sendiri memperkirakan ada lebih dari 100 orang meninggal yang dikubur di pulau sekitar.
Filep termasuk dari kelompok yang ditahan. Dia dijatuhkan hukuman penjara 6,5 tahun. Ini kali pertama Filep bersentuhan langsung dengan kasur dan jeruji penjara. Filep kemudian mengajukan banding dan berhasil mengurangi masa tahanan hingga 10 bulan.
“Mereka (orang tua saya dan penatua) mengatakan bahwa jika suatu bangsa ingin bebas dan merdeka, benderanya harus dinaikkan dan dikibarkan selama 24 jam tanpa turun sama sekali. Jika itu tercapai, PBB akan menganugerahkan kemerdekaan kepada bangsa tersebut […] Jadi aku ingin menguji teori tersebut dan kami berhasil mengibarkan bendera dari hari Kamis pukul 02.00 hingga Senin pukul 09.00,” kata Filep menjelaskan mengapa dia bersikeras mengibarkan bendera.
Tentu saja perkara kemerdekaan tidak sesederhana itu. Dan Filep baru sadar kemudian. Maka dari itulah ia menganjurkan: “Mari kita mencari pilihan lain yang lebih realistis.”
Jalan Damai Filep Karma
Jika saja Filep memilih hidup seperti kebanyakan orang, mungkin dia sudah jadi kepala daerah. Dia berasal dari keluarga elite di Papua. Andreas Filep, ayahnya, menjabat Wakil Bupati Jayapura 1968-1971, lalu jadi Bupati Wamena di tahun 1970-an dan Bupati Serui di tahun 1980-an.
Pengalaman hidup yang mengubah Filep untuk selamanya, yang membuat matanya terbuka terhadap penindasan di Papua, adalah merantau ke Jawa pada 1979 untuk menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Solo. Dia lulus tahun 1987.
Setelah lulus, Filep mendapat pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Port Numbay, kemudian meneruskan studi dengan beasiswa kursus 11 bulan di Asian Institute of Management, Manila, tahun 1997. Setahun berselang, ketika Kerusuhan Mei 1998 merebak, ia sedang di Jakarta. Siapa sangka kalau dua bulan kemudian giliran Biak yang jadi lokasi kekacauan.
Peristiwa Biak Berdarah membuat Filep dipenjara dari Januari hingga 20 November 1999. Dan itu bukan kali terakhir. Penjara berikutnya adalah tahun 2004.
Saat itu Filep membuat gebrakan dengan menggelar upacara peringatan 1 Desember–tanggal tersebut tahun 1961 lalu bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda. Sebelum upacara di Lapangan Trikora, Abepura, Jayapura itu Filep, yang juga anggota Forum Mantan Tahanan dan Narapidana Politik TPN-OPM, berpidato tentang kemerdekaan Papua.
Tidak ada satu pun ajakan memobilisasi kekerasan terhadap pemerintah, tentara, atau rakyat Indonesia dari belahan daerah lain. Filep menganggap mencapai kemerdekaan itu tidak melulu dengan cara angkat senjata. Selain itu ia juga mengingatkan orang-orang bahwa Papua tidak akan bisa merdeka jika tidak ada bantuan dari orang Indonesia lain.
“Kalau kitong hanya berpikir ras, kadang-kadang dorang tidak dukung. Saya bilang takut jangan sampai terjadi pembunuhan. [...] Ini kitong orang di Papua tidak mau. […] Kitorang merdeka bukan untuk kitorang baku bunuh,” ucap Filep. “Ini perjuangan damai. Senjata kita hanya Injil.”
Polisi tidak terima. Sebenarnya situasi masih tenang sebelum bendera Bintang Kejora dikibarkan. Polisi, tanpa berpikir panjang, langsung menurunkan bendera saat dikibarkan–yang menurut saksi dalam persidangan Filep terjadi secara spontan. Polisi berhadapan dengan massa. Massa melempar kayu, batu, dan botol, sementara polisi menggunakan tembakan.
Keesokan harinya Filep ditangkap–meski tanpa bukti yang cukup. Human Rights Watch (HRW) menyebut Filep ditangkap karena “konspirasi untuk melakukan pemberontakan dengan maksud menyebabkan perpecahan Republik Indonesia dan menyebabkan keresahan sosial.”
Sedang dakwaan kedua berbunyi Filep telah “melakukan atau memberikan perintah atau ikut serta dalam tindakan pemberontakan dengan maksud menyebabkan perpecahan atau pemisahan Republik Indonesia.”
Dakwaan ketiga yang digunakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah makar. Filep dianggap telah “secara terbuka menyatakan permusuhan, perasaan kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Republik Indonesia.”
Filep memang orang nekat. Dia bisa berorasi, berani mengibarkan bendera, dengan lantang dan terbuka menolak otonomi khusus (otsus), bahkan dengan bangga mengeratkan pin Bintang Kejora di dadanya. Tapi Filep tidak pernah mendorong upaya-upaya kekerasan agar Papua bisa merdeka dari Indonesia. Dia hanya ingin berdialog tatap muka, bukan dengan senjata.
Pada akhirnya hakim A. Lakoni Harnie dari Pengadilan Negeri Abepura menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Filep. Dia baru bebas pada tahun 2015 setelah diberikan grasi oleh Jokowi.
Penjara tidak bisa menyurutkan perjuangan damai Filep. Tahun 2018, tepatnya 2 Juni malam hari, ia dibawa TNI AU menuju ruang keamanan bandara karena pin bintang Kejora di bajunya. Filep dipaksa melepas pin itu, dan dia menolak.
Di sana Filep dimaki bahkan dengan intensi rasis: “goblok!” “bodoh!” hingga “monyet!”
Meski baru tiga tahun bebas, Filep justru menantang tentara untuk memenjarakannya kembali. Akhirnya, setelah sekitar empat jam, Filep dibebaskan. Pin Bintang Kejora yang menjadi pertanda perjuangan damai Filep pun masih melekat erat.
“Mereka teriak, memaki-maki saya: 'Teman kamu itu OPM bunuh orang'. Saya bilang, 'Saya pejuang sipil, saya tidak ada urusan',” ujar Filep mengisahkan kejadian itu kepada reporter Tirto.
“Saya tidak mau berjuang dengan kekerasan, saya berjuang dengan jalan damai.”
Penjara Gagal Bikin Filep Bungkam
Penjara yang dibikin agar pesakitan jera ternyata tidak mampu mengubah kepercayaan Filep. Dia justru makin yakin tentang kemerdekaan Papua karena di penjara banyak tahanan politik orang Papua seperti dirinya yang jadi korban kesewenang-wenangan aparat.
Salah satunya adalah Ferdinand Pakage. Pakage ditangkap tahun 2006 karena dianggap membunuh polisi bernama Rahman Arizona saat berlangsung demonstrasi di depan Universitas Cenderawasih. Pakage mengaku berada di rumah saat kejadian. Tentu polisi tidak percaya dan saat interogasi aparat menyiramkan air panas ke badannya. Tidak lupa bogem mentah didaratkan ke kepala, bibir, kaki, tangan, dan badan.
Polisi mencari pisau yang diduga dijadikan senjata, tapi mereka tak berhasil menemukannya. Akhirnya Pakage menyebut ada pisau di rumahnya dan polisi menjadikan pisau masak itu sebagai alat bukti.
Nama Pakage muncul dari kesaksian Luis Gedi. Gedi adalah teman Pakage yang juga diinterogasi dengan kekerasan. Sebanyak 20 polisi ikut menganiaya Gedi. Tak kuasa menahan nyeri membuatnya menyebut asal nama Pakage.
Papa Ferdinand, Petrus Pakage, mengatakan kasus ini “tipu-tipu.” “Saya menandatangani dokumen itu dan menyerahkan kaos dan pisau dapur. Tapi pisau itu dipakai buat potong sayur. Dorang pu mama selalu simpan di rumah,” ucap Petrus dilansir dari tulisan Andreas Harsono.
Di dalam penjara, Pakage masih tak lolos dari kekerasan. Mata kanannya dipukul gembok sampai tertusuk kunci.
Kondisi Filep tak lebih baik. Dia sakit-sakitan selama di penjara. Ini tak mengherankan karena kualitas makanan dan air minum di penjara Abepura memang termasuk dalam kategori buruk kala itu.
Tahun 2009, Filep mengeluhkan ada masalah buang air kecil. Dokter klinik penjara hanya menyarankannya untuk minum lebih banyak air.
Beruntung, dengan bantuan para aktivis, Filep akhirnya berhasil dirujuk ke Rumah Sakit Dok Dua yang kemudian berujung pada operasi urologi di Jakarta tahun 2010. Namun prosesnya berlangsung sangat alot dengan alasan negara tidak ada biaya. Akhirnya Filep harus operasi dengan bantuan biaya teman-teman aktivis.
“Ini menjadi pelajaran untuk teman-teman yang sudah jadi tahanan politik atau pun yang mungkin akan jadi tahanan politik. Di kala sakit dan mau berobat ingat bahwa kita ini seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Tapi dalam praktik, biasanya, mereka berusaha untuk melepaskan tanggung jawab ini,” kata Filep dalam wawancara yang dimuat di buku Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua (2014, PDF).
Setelah keluar penjara, dalam wawancara dengan KBR, Filep menegaskan bahwa penjara bukanlah tempat yang bisa membungkam suaranya. Ia paham kalau pemenjaraan adalah upaya pemerintah untuk menanamkan rasa takut kepada dirinya sebagai aktivis kemerdekaan Papua. Jika seorang Filep menyerah, maka itu akan jadi contoh yang bagus buat aktivis-aktivis lain yang menentang pemerintah Indonesia dengan tuntutan kemerdekaan.
“Saya tetap menjaga semangat untuk kemerdekaan Papua. Jadi saya memotivasi dan saya tunjukkan kepada masyarakat bahwa penjara bukan sesuatu yang menakutkan, penjara tidak bisa membatasi hak kita untuk merdeka, penjara tidak bisa membungkam kami dan jangan takut pada penjara,” tegasnya.
Toh, meskipun sudah bebas, selama Papua belum merdeka, Filep yakin dia masih ada di penjara bernama “Indonesia” yang “diskriminatif dan rasialis.”
Tahun 2021 Filep kembali membuat panik orang yang mengenalnya. Tapi ini bukan karena perkara aktivisme. Orang bingung karena Filep menghilang disapu ombak di Teluk Humboldt kawasan Pantai Base G, Jayapura. Saat itu ia berhasil ditemukan dan kondisinya berangsur membaik.
Lebih dari setahun kemudian, tepatnya 1 November 2022, hanya berselang sebulan sebelum peringatan kemerdekaan Papua, Filep ditemukan di lokasi yang sama. Bedanya kali ini Filep ditemukan sudah tidak bernyawa.
Orang-orang bersedih atas kepergiannya, termasuk mereka yang bukan Papua. Fahri Salam, Pemimpin Redaksi Project Multatuli, mengenang pada suatu ketika Filep pernah berucap tentang kealpaan soal hidupnya sendiri: Kenapa saya diizinkan masih hidup, saya pun tidak tahu.
“Tapi bagi saya, masih hidup berarti Tuhan masih izinkan saya berjuang, dan saya akan tetap berjuang sampai Papua merdeka.”
Papua memang belum merdeka, tapi perjuangan Filep sudah mencapai garis finis. Setidaknya ia berhasil merdeka dari Indonesia dan mengembuskan nafas terakhir di tanah kesayangannya.
Editor: Rio Apinino