tirto.id - Filep Jacob Samuel Karma siuman dalam keadaan telentang. Kedua kakinya diikat menggunakan ikat pinggang, lalu dia diseret di atas batu oleh dua tentara. Tubuhnya diangkat lalu diayun ke dalam mobil boks. Ia mengira badannya akan mencium lantai mobil. Tapi ternyata tidak.
Dia mendarat di atas tumpukan manusia yang merintih dan sebagian tak bergerak--entah karena mati atau pingsan. Pintu boks ditutup. Semua jadi gelap. Filep pingsan karena tendangan, injakan, dan benturan di kepala. Ia hanya sanggup menghitung sepuluh hantaman, selebihnya pasrah bila harus mati.
Hari itu, Senin 6 Juli 1998, jadi hari yang kelam baginya dan penduduk Biak lain.
Empat hari sebelumnya, Filep seorang diri berorasi di bawah menara air belakang Puskesmas Biak Kota. Biak berada di sebelah barat laut Papua Nugini, pulau terbesar di antara rantai kepulauan kecil, secara administratif ada di Provinsi Papua. Belum ada yang bergabung dalam kerumunan tapi toh Filep tetap bicara lantang. Makin siang, seiring dengan semakin ramainya pasar inpres, orang sedikit demi sedikit berdatangan melihat. Massa terbentuk perlahan. Spontan.
“Menyuarakan kebebasan berekspresi dari orang Papua, yang selama sekian tahun di bawah era Sukarno dan Soeharto di bawah penindasan,” kata Filep kepada saya, Senin (6/7/2020) kemarin. Ketika itu baru dua bulan Soeharto lengser oleh gelombang rakyat yang marah.
2 Juli pukul 2 pagi, bendera Bintang Kejora berbahan kain dan dipiloks dipancangkan di menara air. Massa berinisiatif membuatnya. Ada yang menaiki menara air untuk menjaga bendera; ada yang bertahan mengelilingi bangunan itu.
Bupati Biak Numfor Amandus Masnembra sempat meminta Filep dan massa angkat kaki. Si bupati juga menginstruksikan para PNS agar kembali bekerja, tak ikut-ikutan aksi. Filep meminta sebaliknya: “Saya juga perintahkan para pegawai negeri maupun siapa pun yang mendukung Papua merdeka tidak pergi, tetap tinggal di tempat. Ini aksi damai tidak bersenjata.”
Sehari kemudian Filep mendengar kabar kalau massa akan ‘dilibas’ jika nekat bertahan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi setelahnya memperkuat dugaan itu.
Pukul 15 waktu setempat, pesawat Hercules terbang ke sana kemari di langit Biak. Sementara di pelabuhan, nelayan mengabarkan ada kapal TNI AL merapat. Di antara dua hari itu Filep juga mendapatkan informasi ada warga Biak Barat digerakkan oleh Koramil setempat. Mereka diminta membawa tombak, parang, panah, dan pisau. “Mereka diberangkatkan dengan truk untuk menyerbu kami. Ini mengadu masyarakat dengan masyarakat,” kata Filep.
Tangan para ‘calon penyerang’ diberikan pita, penanda kalau mereka bukanlah massa menara air. Tapi penyerbuan itu gagal karena masyarakat Biak Barat telah mengetahui duduk perkaranya. Bahkan ada bagian dari rombongan calon penyerang yang turut bergabung dengan Filep cs.
Sehari kemudian, 4 Juni, Komandan Resor Militer 173/PVB Letkol Armen Tony dan Ketua DPRD Biak Numfor Ayub Sumerta kembali membujuk massa. Perundingan lagi-lagi gagal meski tentara juga telah mengerahkan 10 pendeta. Pendeta berjanji “kasih hidup” Filep jika aksi dihentikan, tapi dia menolak. Negara harus menjamin seluruh rakyat Papua, bukan Filep saja, katanya.
Hingga 5 Juli ratusan massa tetap bertahan di menara air.
Jalan Damai, Hari Pembantaian
Buat Filep, sebagaimana ia sampaikan dalam orasi pada 2 Juli, pada zaman Soeharto orang Papua berjuang memerdekakan diri dari Indonesia di hutan-hutan dengan cara angkat senjata; gerilya. Menurutnya cara sebaliknya harus ditempuh di masa reformasi. “Saya berpikir sudah saatnya kami mereformasi perjuangan. Tidak lagi dengan kekerasan, tapi mengandalkan kemampuan berpikir kami dan cara-cara damai di dalam kota,” katanya.
Ia melanjutkan: “Bukan eranya lagi saling membunuh. Kita semua berketuhanan, mengakui perikemanusiaan. Saatnya kita berembuk, ada hal-hal tidak benar yang harus diluruskan. Yang salah, akui kesalahan.”
Prinsip anti kekerasan ini yang ia pegang teguh saat menjadi motor demonstrasi.
Sekira 75-80 demonstran masih bertahan hingga 6 Juli. Mereka membagi empat zona penjagaan.
Pukul 03.30, massa di ring empat memukul-mukul tiang listrik mebunyikan tanda bahaya. Pukulan itu merambat, Filep cs menduga sebentar lagi hal mengerikan terjadi. Dan benar saja: aparat pertama-tama memuntahkan peluru ke udara, sisanya menyisir perkampungan dengan radius satu kilometer dari menara.
“Semua (penduduk) disuruh keluar, berbaris menuju pelabuhan. Sampai di pom bensin, mereka disuruh lepas baju dan merayap hingga ke pelabuhan kapal. Siapa pun yang haus disuruh minum air kubangan,” kata Filep. Tentara bersenjata lengkap jadi barisan penebar teror. Filep mendengar cerita kalau penduduk diminta naik ke kapal TNI AL. Tak tahu mereka berlayar ke mana.
“Terakhir dapat kabar banyak mayat dimutilasi dan dibuang ke laut,” katanya.
Sebuah LSM HAM, Elsham Papua, menyebut dalam peristiwa yang kelak dikenal sebagai ‘Biak Berdarah’ ini delapan orang meninggal dunia, tiga hilang, empat luka berat, 33 luka ringan, 50 orang ditahan sewenang-wenang--termasuk Filep. Laporan yang sama menyebut 32 mayat ditemukan di sekitar perairan Biak. Filep dihukum penjara 6,5 tahun. Ia banding dan menang setelah dipenjara 10 bulan.
Filep menduga ada instruksi dari petinggi tentara dalam pembantaian tersebut. Tak mungkin pasukan melakukan hal semenyeramkan itu jika tak ada suruhan dari atasan, pikirnya. Tapi toh pengusutan kasus ini jalan di tempat, hingga sekarang, setelah 22 tahun berlalu, setelah lima presiden bergantian memimpin negeri.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan anggota Komnas HAM sebelum periodenya sudah menyelidiki perkara Biak Berdarah, tapi belum ada hasil signifikan. Sementara komisioner terkini, selama 2,5 tahun pertama, fokus merampungkan penyelidikan tiga kasus pelanggaran HAM lain, yakni peristiwa Dukun Santet, Rumoh Geudong, dan Paniai.
“Saya akan mencoba mengangkat kasus [Biak] ke dalam sidang paripurna atau mendiskusikan dengan kawan-kawan yang lain bagaimana penyelesaian yang adil dan bermartabat untuk seluruh korban dan keluarga korban,” Beka berjanji.
Sementara Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat Biak Berdarah merupakan salah satu peristiwa pelanggaran HAM serius di Papua yang menimbulkan duka mendalam di masyarakat Biak. “Keluarga korban hingga kini terus menginginkan adanya pertanggungjawaban negara,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (6/7/2020).
===
Tineke Rumkabu, seorang penyintas, mengatakan meski peristiwa ini sudah terjadi 22 tahun yang lalu, korban yang masih hidup “hidup dalam ketakutan dan trauma, apalagi melihat militer.” “Kami menolak lupa,” katanya.
Ia menegaskan dari dulu sampai sekarang Indonesia masih memperlakukan orang Papua seperti binatang. Itu satu dari sekian banyak alasan kenapa dia, juga banyak orang Papua lain, “mau keluar dari NKRI.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino