tirto.id - Rencana Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan yang hendak mengutamakan warga binaan pemasyarakatan (WBP) dapat dibina di luar rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas) akan sia-sia jika akar masalahnya tidak dibenahi. Aturan membina WBP di luar rutan atau lapas sejatinya bukan kebijakan baru. Namun, hingga saat ini, belum ada upaya menghentikan arus deras pemenjaraan atau over-criminalization yang dilakukan penegak hukum.
Diberitakan sebelumnya, wacana ini dilempar Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Silmy Karim, setelah dia baru saja dilantik pada Senin (21/10/2024). Menurut Silmy, WBP bisa mendapatkan proses pembinaan lewat bekerja di luar rutan atau lapas. Namun, seusai bekerja, warga binaan bakal dikembalikan ke rutan atau lapas.
Silmy menyebut, proses pembinaan di luar rutan atau lapas masih sebatas wacana yang akan dimatangkan lebih lanjut. Ia mengeklaim, proses pembinaan di luar rutan atau lapas untuk warga binaan pemasyarakatan juga sudah diterapkan di beberapa negara.
Presiden Prabowo Subianto dinilai optimistis menguatkan lembaga pemasyarakatan melalui dibentuknya Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Kementerian baru ini merupakan pecahan dari Kementerian Hukum dan HAM di era pemerintahan Jokowi.
"Ini masih wacana ya, masih kita lihat dulu kemungkinannya seperti apa, tetapi yang jelas Bapak Presiden semangatnya itu positif untuk hal ini,” kata Silmy di Istana Negara, Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (21/10/2024).
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebut bahwa ide yang dilontarkan Silmy bukan sesuatu yang baru. Aturan saat ini, kata dia, sudah mengatur soal syarat pembinaan WBP di luar rutan atau lapas, seperti diatur dalam UU Pemasyarakatan.
Fickar menjelaskan, pembinaan di luar lapas atau rutan dapat dilakukan setelah terpidana sudah menjalani dua pertiga masa hukuman. Potongan hukuman ini disebut sebagai proses asimilasi.
“Jadi, bukan sesuatu yang baru,” ucap dia kepada reporter Tirto, Rabu (23/10/2024).
Namun, jika pemberian kebijakan pembinaan di luar lapas atau rutan akan dilakukan sejak awal masa hukuman terpidana, Fickar menilai ini perlu dikaji lebih mendalam. Pasalnya, ia menilai secara filosofis dan latar belakangnya, hukuman pidana penjara berfungsi sebagai pembalasan sekaligus melakukan fungsi pembinaan.
Sebab itu dalam pelaksanaannya, dikenal pula pengurangan masa hukuman setiap tahun yang disebut sebagai remisi. Bahkan, pemberian remisi tidak hanya dilakukan sebatas hari kemerdekaan, namun juga diberikan saat hari raya keagamaan.
“Karena itu seringkali para napi itu keluar lapas sebelum 2/3 menjalani hukuman,” ucap Fickar.
Dengan begitu, ia menilai tidak efektif narapidana langsung mendapatkan kebijakan dibina di luar lapas atau rutan. Karena selain penjara, biasanya WBP juga dikenai hukuman denda sebagai bentuk ganti rugi kepada negara.
Pemerintah diminta berhati-hati agar kebijakan pembinaan WBP di luar lapas atau rutan tidak melanggar hukum. Artinya, kata Fickar, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan tidak bisa melangkahi kewenangan yudikatif yang dimiliki institusi penegak hukum.
“Mungkin yang dimaksud Wamen Silmy itu untuk memaksimalkan fungsi pembinaan, tetapi tetap tidak bisa menghilangkan aspek hukuman sebagai pembalasan terhadap perbuatan jahat,” terang Fickar.
Pengajar hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, memandang agar pemerintah harus betul-betul mempersiapkan aturan teknis terkait tindak pidana kejahatan apa saja yang bisa menggunakan mekanisme pembinaan di luar lapas/rutan. Terlebih, mesti ada kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai agar pembinaan berjalan efektif.
“Serta bagaimana mekanisme kontrolnya, termasuk pada keselamatan masyarakat umum,” kata Orin kepada reporter Tirto, Rabu.
Orin menilai, kebijakan ini memang bisa diambil sebagai solusi kapasitas berlebih di lapas dan rutan. Masalah over-capacity lapas memang saban tahun jadi masalah yang memusingkan pemangku kebijakan bagian pemasyarakatan.
Kendati demikian, Orin menilai cara pembinaan WBP di luar lapas/rutan bukan satu-satunya opsi yang bisa diambil pemerintah dalam menghadapi kapasitas berlebih lapas dan rutan.
Solusi utama untuk membereskan kapasitas berlebih lapas dan rutan adalah meninjau tindak pidana mana yang paling banyak menyumbang narapidana. Menurut Orin, sudah banyak riset dan laporan data yang menunjukkan masalah kapasitas berlebih lapas/rutan didominasi WBP kasus-kasus narkotika.
“Ini yang harusnya dibenahi baik dari substansi hukum maupun sarana prasarana rehab yang harus memadai,” ucap Orin.
Solusi Masalah Kapasitas Berlebih?
Kapasitas berlebih hunian lapas atau rutan memang jadi mimpi buruk instansi pembinaan pemasyarakatan. Kapasitas berlebih hunian lapas/rutan menyebabkan kasus-kasus seperti kerusuhan, kebakaran, narapidana kabur, hingga kekerasan antarnapi yang tak terkontrol.
Berdasarkan data SDP Publik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, total penghuni tahanan dan narapidana hingga per Rabu (23/10/2024) sudah mencapai 273.311 orang. Sementara total kapasitas hanya mencapai 143.710. Artinya, terjadi kelebihan kapasitas hampir sekitar 129.601 orang.
Jika dirinci kelebihan kapasitas total penghuni tahanan dan narapidana terjadi di LPP, Lapas, dan Rutan. Total penghuni di LPP mencapai 6.093 orang sementara kapasitasnya hanya 4.973. Sedangkan, di lapas kapasitasnya hanya 97.896 orang sementara total penghuni tahanan dan narapidananya sebanyak 189.148 orang.
Kemudian, untuk di rutan kapasitasnya hanya 36.232 orang sedangkan total penghuni tahanan dan narapidananya mencapai 75.582 WBP. Adapun untuk di LPKA, masih dalam kapasitas aman. Total penghuni tahanan dan narapidana hanya mencapai 2.488 orang, di bawah kapasitas sebesar 4.609 orang.
Peneliti dari Center for Detention Studies, Petrus Putut Pradhopo Wening, menjelaskan inti dari pemasyarakatan adalah meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian dari WBP agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana. Alhasil narapidana dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat serta dapat aktif berperan lagi dalam masyarakat umum.
Selain itu, tujuan pemasyarakat juga untuk melindungi masyarakat umum. Masalahnya, saat ini kapasitas berlebih lapas/rutan justru membuat tujuan pemasyarakat jadi tidak terlaksana.
“Malah jadi permasalahan, misalnya tidak maksimalnya pembinaan seperti pembinaan untuk pelatihan kerja, kedisiplinan, dan menyadari kesalahan,” kata Petrus kepada reporter Tirto, Rabu.
Oleh karena itu, ia melihat, pada dasarnya program pembinaan di luar lapas/rutan sangat baik jika ditujukan mengurangi kapasitas berlebih. Penanganan kapasitas berlebih di lapas/rutan sudah direncanakan bentuknya: seperti asimilasi di rumah, asimilasi di rumah singgah, dan asimilasi di mitra pihak ketiga.
Misalnya asimilasi di yayasan keagamaan, pendidikan, atau badan instansi. Rencana ini dinilai Petrus sangat baik, karena memberikan kesempatan WBP mendapatkan pelatihan kerja dan pelatihan sosial lainnya.
“Sehingga jika WBP melakukan kejahatan karena persoalan ekonomi. Hal tersebut justru menjawab kebutuhan,” ucap Petrus.
Namun, kata dia, dalam kerangka mengurangi masalah kapasitas berlebih di lapas/rutan, agenda pembinaan di luar lapas belum cukup. Kebijakan ini harus didukung pula dengan mengurangi arus masuk WBP ke dalam lapas atau rutan.
Misalnya, agar penegak hukum mempertimbangkan Pidana Kerja Sosial, Pidana Denda, maupun Pengawasan. Mekanisme membendung arus pemenjaraan ini sebetulnya sudah ada di UU nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Adapun terkait metode pembinaan di luar lapas/rutan, dinilai perlu ada pembaharuan. Petrus menilai, selama ini metode yang digunakan adalah WBP dibina di luar saat pagi dan pulang kembali sorenya ke lapas. Di beberapa negara, kata dia, sudah mulai diterapkan WBP boleh pulang ke lapas satu bulan sekali atau satu minggu sekali.
Dengan begitu, peran pembimbing kemasyarakatan (PK) menjadi sangat vital. Adalah PK yang punya tugas melakukan pengawasan dan pembimbingan terhadap WBP yang dibina di luar lapas dan rutan.
“Saat ini jumlah PK sangat kurang. Oleh karena itu, seharusnya ada penambahan PK agar pembinaan di luar lapas menjadi sangat baik,” terang Petrus.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengatakan ide pembinaan WBP di luar lapas/rutan baik untuk didorong sepanjang manajemen lapas dapat memberikan pembinaan yang baik. Namun, untuk kondisi saat ini, Erasmus meragukan hal ini mampu mengurangi masalah kapasitas berlebih lapas/rutan.
“Jadi bisakah mengurangi masalah over-capacity? Kalau settingnya ideal iya, tapi kalau kondisi masih seperti sekarang, tidak,” kata Erasmus, kepada reporter Tirto, Rabu.
Ia menilai, beban terbesar lapas atau rutan saat ini bukan mempercepat arus keluar WBP tapi justru menekan arus masuk yang deras. Erasmus menilai dua periode Pemerintahan Jokowi gagal menyelesaikan kapasitas berlebih di lapas/rutan karena gagal membenahi UU Narkotika.
Pendekatan penanganan narkotika masih menggunakan kriminalisasi pada para terpidana yang bukan merupakan bandar atau kartel narkotik. Di sisi lain, perlu ada aturan lebih teknis yang mengatur pembinaan di luar lapas/rutan dalam UU KUHP dan UU KUHAP.
Kunci keberhasilan pembinaan di luar lapas perlu dibersamai dengan upaya menekan arus pemenjaraan. Pasalnya, lapas dan rutan kapasitas berlebih tidak menghasilkan pembinaan yang baik.
Arus masuk pemenjaraan bisa ditekan jika penegak hukum memiliki alternatif pemidanaan. Selain itu, kapasitas berlebih bisa dikurangi dengan distribusi WBP ke lapas dan rutan yang masih lowong. Baru, kata Erasmus, instansi pemasyarakatan bisa mempercepat arus WBP keluar lapas/rutan dengan berbagai kebijakan, salah satunya pembinaan di luar lapas.
“Nah sebetulnya ini baru yang selama ini dibebankan ke lapas dan rutan. Jadi pembebasan bersyarat dipercepat, elektronik sistem dan asimilasi dipercepat,” pungkas Erasmus.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky