Menuju konten utama

Riset Koalisi Seni: UU Hak Cipta Rugikan Musisi di Era Digital

UU Hak Cipta tak mengatur secara secara khusus hak cipta musik digital, termasuk konsekuensi digitalisasi yang melibatkan banyak pihak.

Riset Koalisi Seni: UU Hak Cipta Rugikan Musisi di Era Digital
Ajang Pencarian bakat musik berbasis digital yang diikuti 600 peserta dari seluruh Indonesia karyanya kemudian diunggah di akun YouTube. ANTARA FOTO/HO/Risky.

tirto.id - Koalisi Seni—organisasi nirlaba yang fokus pada praktik dan pemantauan ekosistem seni di Indonesia—merilis riset terbaru soal kondisi terkini hak cipta musik digital di Indonesia.

Riset yang berjudul “Diam-Diam Merugikan: Situasi Hak Cipta Musik Digital di Indonesia” itu menemukan bahwa hadirnya musik digital di Indonesia tidak dibarengi dengan kebijakan yang bisa melindungi pencipta dan karyanya.

Riset yang didukung oleh UNESCO dan KFIT ini dilakukan dengan penggabungan wawancara, diskusi kelompok, dan tinjauan pustaka.

Temuan Koalisi Seni dalam riset tersebut menyebut bahwa Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta belum mengakomodir perkembangan di industri musik digital. Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, mengatakan bahwa aturan tersebut bermasalah. Tak hanya bias musik, namun memang tak mengatur secara secara khusus hak cipta musik digital, termasuk konsekuensi digitalisasi yang melibatkan banyak pihak.

Padahal, menurut Hafez, sebagian besar musisi dan pencipta lagu di Indonesia merilis karya lewat platform digital.

“Peraturan yang ada justru memberi keistimewaan bagi label rekaman dan membiarkan pihak perantara di industri musik berkontrak dengan musisi tanpa rambu-rambu perlindungan yang konkret,” katanya lewat rilis yang diterima Tirto, Kamis (25/5/2023) siang.

Riset tersebut mendapati pembentukan hak cipta di Indonesia jauh dari jangkauan sebagian besar musisi. Padahal, kata Hafez, seharusnya para musisi ini menjadi pemangku kepentingan utama.

“Lahirnya UU Hak Cipta pada 1982 didorong oleh tekanan industri dalam negeri dan organisasi dagang internasional, dengan basis data industri yang dipakai untuk mengkampanyekan retorika antipembajakan. Retorika itu membentuk paranoia dalam kebijakan yang menempatkan digitalisasi sebagai peluang lahirnya pembajakan model baru,” kata Hafez.

“Padahal bagi banyak musisi, isu utama dalam ranah digital adalah bagaimana menciptakan sistem tata kelola royalti digital yang lebih transparan dan berpihak pada mereka,” tambahnya.

Akhirnya, menurut Koalisi Seni, sejarah panjang paranoia terhadap pembajakan salinan fisik dan teknologi menjadi salah satu faktor yang membuat kebijakan hak cipta di Indonesia tak tegas mengatur ranah musik digital.

“Kebijakan masih mengidentifikasi “digital” sebagai format, bukan perubahan relasi antara aktor dan peran-peran baru dalam industri musik,” kata Hafez.

Koordinator Peneliti Kebijakan Seni dan Budaya Koalisi Seni, Ratri Ninditya, mengatakan bawah paradigma UU Hak Cipta yang berlaku saat ini masih berbasis fisik-analog.

“Kebijakan masih berfokus pada pencegahan pembajakan. Walau UU Hak Cipta mengatur soal sarana kontrol teknologi, tapi para aktor dan relasi baru yang ada di industri musik digital malah tidak digubris di dalamnya,” katanya.

Temuan lain dalam riset tersebut adalah adanya situasi industri yang eksploitatif bagi para musisi. “Ada pergeseran pola komodifikasi musik dan kepemilikan salinan, baik fisik maupun digital, menjadi penyediaan akses terhadap salinan (streaming) memunculkan aktor-aktor baru seperti aggregator, streaming platform, label rekaman berbasis kekayaan intelektual (KI), label rekaman 360, dan penerbit music,” kata Ratri.

“Hubungan musisi dengan para pelaku baru di dalam industri ini berkembang semakin kompleks dengan berbagai benturan kepentingan,” tambahnya.

Masalahnya, menurut Ratri, relasi baru saat ini yang ada antara aktor baru ini tidak seluruhnya bisa dikategorisasikan dalam kebijakan hak cipta. Seluruh relasi yang muncul dilepaskan pada mekanisme pasar.

“Tidak ada rambu yang jelas dalam menentukan persentase minimum yang harus didapatkan musisi,” katanya.

Sebagai informasi tambahan, persentase royalti pengumuman ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penyedia layanan digital (DSP), Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), dan penerbit. Sementara itu, royalti mekanis ditetapkan melalui perjanjian privat antara musisi dan berbagai pihak perantara.

Riset tersebut juga menyoroti tata kelola royalti yang belum transparan. Sampai saat ini, kata Ratri, belum ada kewajiban bagi LMK dan LMK Nasional untuk melakukan sosialisasi agar musisi menjadi anggota LMK.

Survei Koalisi Seni pada 2022 lalu menemukan lebih dari separuh responden (59,6%) tidak mengetahui siapa yang menarik royaltinya. Sebagian besar responden mengetahui soal UU Hak Cipta, tapi 41,3% di antaranya tidak pernah membaca UU tersebut. Survei juga mencatat 77,9% responden tidak bergabung dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Adapun sebanyak 36,%% responden tidak tahu kewajiban bergabung di LMK bila ingin mendapat royalti pengumuman. Terdapat 104 musisi menjadi responden survei Koalisi Seni yang disebarkan secara daring ke jejaring dan anggota Koalisi Seni ini. Responden terdiri dari pencipta, serta vokalis/pemain instrumen tetap dan tidak tetap.

Hingga saat ini, Ratri menyebut tata kelola royalti menjadi pekerjaan rumah yang rumit karena sejumlah hal belum diselesaikan. Menurutnya, sampai sekarang LMK belum dibebankan tanggung jawab jika Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) tidak sesuai tenggat waktu.

“Ada juga perdebatan soal sejauh mana Pemerintah mesti terlibat, dan bagaimana LMK bisa berfungsi mandiri. Saat masih ada yang mempertanyakan transparansi LMK, komisioner LMKN saat ini mesti membereskan alih fungsi penarikan royalty,” katanya.

Temuan lain dalam riset tersebut adalah lemahnya daya tawar musisi. Ratri menjelaskan, musisi kehilangan amunisi untuk mengartikulasikan kepentingan mereka. Kecenderungan kebijakan yang tidak berpihak membuat musisi selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.

“Digitalisasi justru semakin melanggengkan ketimpangan kuasa antara pengguna dan penguasa teknologi, antara musisi dan DSP, label rekaman, dan pihak-pihak perantara,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PEMENUHAN HAK ROYALTI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - News
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri