tirto.id - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, per 2018 Indonesia menempati posisi kedua sebagai produsen sampah makanan terbesar di dunia setelah Arab Saudi.
Namun di saat yang sama, per 2018, data stunting (kasus anak tidak tumbuh sempurna selama 3 tahun pertama setelah lahir) Indonesia masih mencapai 30 persen dari bayi di bawah 5 tahun.
Bambang mengatakan, berdasarkan data riset Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka itu dinilai sudah lebih membaik dibanding 2013 yang berada di angka 37 persen. Padahal, menurutnya, angka itu masih harus ditekan lagi.
"Indonesia salah satu penghasil sampah makanan kedua terbesar dunia. Ini ironis ada sisi kelompok masyarakat yang kekurangan makanan terutama kualitasnya," ucap Bambang dalam sambutannya di Workshop Nasional Fortififikasi Pangan di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Salah satu caranya, menurut Bambang, dapat dilakukan dengan meningkatkan asupan nutrisi yang terkandung di dalam makanan. Selain berupa gizi secara makro yaitu karbohidrat, protein, dan lemak, Bambang menuturkan intervensi juga harus dilakukan pada level mikro.
Mengenai gizi mikro, ia mencontohkan vitamin, yodium, mineral, hingga zat besi. Kekurangan jenis gizi ini menurutnya lebih berbahaya karena tidak terlihat pada kondisi fisik, tetapi berpengaruh pada kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM).
Sejalan dengan itu, Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyatakan, upaya ini menjadi penting lantaran Presiden Joko Widodo menargetkan pencapaian stunting hingga di angka 0. Bahkan standar WHO pun masih mengharuskan agar nilai itu berada di bawah angka 20 persen.
Ia menilai, menghadapi fakta bahwa Indonesia adalah produsen sampah makanan kedua, maka perlu ada perubahan budaya konsumsi. Dalam hal ini, menggunakan makanan yang ada dengan efektif sehingga tidak banyak yang di buang.
"Tidak hanya dari pemerintah saja. tapi perlu juga dari perubahan perilaku makan," ujar Nila.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno