tirto.id - Lembaga pemeringkat Rating and Investment Information (R&I) kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB+ (Investment Grade) dengan outlook stabil pada Senin (4/7/202) kemarin. Keputusan ini mempertimbangkan terjaganya stabilitas eksternal Indonesia didukung oleh momentum pemulihan ekonomi terus berlanjut dan perbaikan postur fiskal.
"R&I melihat kebijakan moneter masih memiliki ruang di tengah inflasi yang meningkat secara gradual, dan perbaikan fiskal didukung kenaikan harga komoditas," tulis dalam laporan dikutip Tirto, Selasa (5/7/2022).
Terkait hal itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menuturkan pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia. Hal ini didukung oleh kredibilitas kebijakan yang tinggi serta sinergi bauran kebijakan yang kuat antara Bank Indonesia dan Pemerintah.
"Afirmasi rating Indonesia pada peringkat BBB+ dengan outlook stabil menunjukkan bahwa di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi, pemangku internasional masih memiliki keyakinan kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi RI," ungkap Perry.
Perry menjelaskan ke depan BI akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik dengan merumuskan, melaksanakan langkah-langkah diperlukan untuk memastikan stabilitas makroekonomi serta stabilitas keuangan. Termasuk penyesuaian lebih lanjut stance kebijakan bila diperlukan. Kemudian untuk terus memperkuat sinergi dengan pemerintah mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Selain R&I, sebelumnya Lembaga pemeringkat Fitch juga mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB (investment grade) dengan outlook stabil, pada 28 Juni 2022. Keputusan ini mempertimbangkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah yang baik serta rasio utang Pemerintah terhadap PDB yang rendah.
Pada sisi lain, Fitch melihat masih ada beberapa tantangan yang perlu direspons. Pertama, rasio pembiayaan eksternal yang meningkat. Kedua, penerimaan pemerintah masih rendah. Ketiga, beberapa indikator struktural seperti PDB-per-kapita dan tata kelola, yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lain pada peringkat yang sama.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin