tirto.id - Desakan agar Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) direvisi sudah mencuat dalam 10 tahun terakhir. Namun, hingga saat ini belum ada kesepakatan karena buruh dan pengusaha tak pernah satu suara.
Pada 2011, misalnya, politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka meminta agar revisi UU Ketenagakerjaan ditarik dari dafar prioritas Prolegnas 2012. Alasannya, kata dia, revisi itu tidak berpihak kepada buruh dan menguntungkan pengusaha.
Rieke mencontohkan dalam revisi UUK tersebut tidak diatur mengenai upah minimum kabupaten, upah sektoral serta tidak ada kewajiban perusahaan memberikan Tunjangan Hari Raya (THR). Hal itu sama halnya pemerintah berpihak kepada pengusaha.
Hasilnya, revisi UU Ketenagakerjaan tidak lagi masuk dalam prioritas legislasi nasional DPR RI sampai sekarang.
Wakil Ketua Umum Aliansi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam mengatakan revisi UU Ketenagakerjaan sebenarnya tidak sekadar menguntungkan pengusaha. Namun, revisi ini dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman.
Bob menegaskan, Indonesia memang harus merevisi UUK tersebut untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi ke angka yang lebih tinggi. Terlebih, kata dia, Indonesia sekarang sudah memasuki revolusi industri 4.0 dan berhadapan dengan kemajuan teknologi.
Menurut Bob, situasi tersebut tentu menuntut adanya penyesuaian terkait tenaga kerja. “Perubahan ini, kan, cepat sekali dan kalau kita enggak siap, ini menakutkan,” kata Bob saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (30/4/2019).
Beberapa poin yang perlu diubah dalam UUK sebenarnya masih sama sejak awal diajukan. Apindo ingin ada perubahan sistem pengupahan tenaga kerja dan juga jam kerja.
Perubahan sistem pengupahan tenaga kerja ini dibahasakan Bob sebagai "fleksibilitas." Pengusaha menginginkan ada pekerja yang bisa dibayar sesuai jam kerja dan tidak menjadi karyawan tetap.
Bob mengambil contoh, perusahaan sebenarnya kadang kekurangan pegawai ketika akhir pekan. Jika ada fleksibilitas itu, maka dia bisa mempekerjakan beberapa anak di Sekolah Menengah Atas (SMA) misalnya, untuk dibayar per jam khusus di akhir pekan.
“Jadi bukan berarti tidak ada pekerja tetap. Harus dibedakan. Pekerja tetap ada, dibayar bulanan, tapi yang harian juga ada,” kata Bob.
Bob juga menegaskan jika Indonesia ingin lebih berkembang, maka tentu perubahan jam kerja diperlukan. Jam kerja di Indonesia sebanyak 40 jam dianggap masih terlalu sedikit. Sebab, kata dia, negara lain rata-rata punya jam kerja 9 jam per hari selama 6 hari kerja.
“Ini makanya upah kita sebenarnya sudah tinggi,” kata Bob.
Selain itu, kata Bob, revisi UUK itu juga mengharuskan pengusaha untuk memberikan pelatihan kepada karyawannya. Hal ini bisa menambah dan membuka peluang kerja baru bagi pegawai.
“Setiap tahun upah nambah. Masa dia tugas gitu-gitu saja tiap tahun, nambah terus, habis kami dong. Dia harusnya bisa dapat pelatihan, terus naik cari kerjaan lain,” kata Bob.
Oleh sebab itu, Bob meyakini Apindo akan mendorong revisi UUK ini sekali lagi ke parlemen di masa jabatan DPR RI periode 2019-2024. “Ini perlu dilakukan dengan kesadaran bersama dan butuh diskusi eksekusi,” kata dia.
Rugikan Buruh
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) belum lama ini mengadakan pertemuan dengan perwakilan Apindo. Hasilnya, tidak ada kesepakatan soal revisi UU Ketenagakerjaan.
Sebab, dua poin utama yang ingin diubah Apindo dianggap sangat merugikan kaum buruh. Misalnya soal fleksibilitas pengupahan. Hal itu justru menambah peluang pengeluaran perusahaan lebih sedikit sambil menekan lapangan pekerjaan dan upah buruh.
Alasannya, perusahaan jadi bisa menggonta-ganti karyawan setiap saat dengan sistem pengupahan. Mereka juga tidak memberi jaminan penghasilan pada masyarakat karena tidak menjadikan mereka sebagai pegawai tetap.
“Kalau buat kami pekerja lepas, ya enggak masalah [...] tapi yang mereka maksud ini, kan, jadi tidak memberikan proteksi dan jaminan. Sekarang saja yang jadi pegawai tetap sedikit sekali," kata Ketua Umum Sindikasi Ellena Ekarahendy kepada reporter Tirto.
Sementara soal poin jam kerja yang ditambah, Ellena juga tidak setuju. Alasannya, pertama karena jam kerja sebanyak 40 jam di Indonesoa sebenarnya tidak sesuai. Seringkali karyawan ada yang lembur, tetapi upahnya tidak dibayar.
Jika jam kerja ditambah, kata Ellena, maka perusahaan akan semakin mengeksploitasi karyawannya. Apindo boleh saja menyontohkan Cina dan negara lain yang mempunyai jam kerja tinggi. Nyatanya, kata dia, masalah di negara lain soal jam kerja itu juga banyak, misalnya kematian.
Bahkan tidak sedikit yang bunuh diri karena masalah kondisi kerja yang berat. Oleh sebab itu, Ellena menegaskan serikat buruh akan menolak revisi UU Ketenagakerjaan.
"Serikat buruh tidak akan setuju jika revisi UU Ketenagakerjaan yang digolkan malah menguntungkan pengusaha semata," kata Ellena.
Sementara itu, Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilham Syah sebenarnya setuju dengan adanya revisi UU Ketenagakerjaan. Namun, sama seperti Ellena, dia tidak membayangkan bahwa revisi itu seperti yang disampaikan oleh Apindo.
Namun, kata Ilham, Indonesia memang belum bisa merevisi itu dengan cepat. Meski Apindo sudah mempunyai rancangan soal revisi UU Ketenagakerjaan, tapi di sisi buruh, DPR, dan pemerintah masih nihil.
Utamanya kaum buruh belum mempunyai rancangan soal revisi UU Ketenagakerjaan tersebut sama sekali. “Konfederasi - konfederasi kita menolak bukan menganggap UU Ketenagakerjaan ini lebih baik. Tapi kami butuh waktu untuk berkumpul dan menyusun UU ini lebih baik,” kata Ilham.
Beberapa serikat buruh mungkin saja ada yang setuju dengan revisi UU Ketenagakerjaan saat ini. Namun, Ilham menduga mereka malah tidak mengerti dengan masalah UU Ketenagakerjaan atau memang serikat pekerja bentukan perusahaan sendiri.
"Padahal serikat mereka tidak pernah aktif," ucapnya. "Revisi yang ingin disampaikan pemerintah dan Apindo malah membuatnya lebih buruk lagi."
Meski pengusaha dan serikat buruh sudah silang pendapat soal revisi UUK ini, tapi sejauh ini DPR masih belum memasukan perubahan UU Ketenagakerjaan ke dalam program legislasi nasional.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN, Saleh Daulay menginginkan, pembahasan ini harusnya masuk dari pemerintah.
“Karena kami khawatir kalau dari kami [DPR RI], nanti enggak ada yang mengkritisi lagi. Karena kami juga, kan, ingin memperjuangkan kebutuhan buruh,” kata Saleh kepada reporter Tirto, Rabu (1/5/2019).
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz