Menuju konten utama

Respons LBH Papua Soal Pembentukan Tim Penyidik Kasus Paniai

Tragedi Paniai merupakan pelanggaran HAM berat pertama di era Presiden Jokowi, berselang dua bulan setelah ia resmi jadi presiden pada Oktober 2014.

Respons LBH Papua Soal Pembentukan Tim Penyidik Kasus Paniai
Ilustrasi pembunuhan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jaksa Agung ST Burhanuddin membentuk Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat insiden Paniai berdasar Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 bertanggal 3 Desember 2021.

Keputusan itu menindaklanjuti Surat Ketua Komnas HAM Nomor 153/PM.03/0.1.0/IX/2021 bertanggal 27 September 2021 tentang tanggapan atas pengembalian berkas perkara hasil penyelidikan Paniai untuk dilengkapi.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay merespons hal tersebut. Proses penyidikan akan dilakukan menggunakan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia maka perlu mekanisme penyidikan yang sesuai regulasi.

"Diharapkan dalam Tim Penyidik yang berjumlah 22 orang itu wajib ada unsur pemerintah dan atau masyarakat dari kalangan akademisi, lembaga swadaya dan orang asli Papua yang dijadikan anggota Penyidik Ad Hoc diangkat menjadi Tim Penyidik Paniai dalam rangka menciptakan profesionalisme dan independensi dalam melakukan penyidikan ini," kata Emanuel kepada Tirto, Rabu (8/12/2021).

Bila prosesnya mengikuti ketentuan tersebut maka tempat untuk mengadili Perkara Dugaan Pelanggaran HAM Berat Paniai bakal dilakukan di Pengadilan HAM Makassar sesuai dengan ketentuan “Daerah hukum Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada Pengadilan Negeri di: Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya sebagaimana diatur Pasal 45 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pengadilan HAM.

Guna mendukung niat Jaksa Agung, maka diharapkan presiden dapat mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Papua agar proses penuntutan terhadap kasus Paniai dapat dilakukan di Lingkungan Pengadilan Negeri Klas Ia Jayapura sesuai perintah Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Emanuel juga mengingatkan Komnas HAM dan pemerintah daerah. "Ketua Komnas HAM dan Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua wajib memantau profesionalisme tim penyidik. Sementara, Gubernur Papua dan Papua Barat serta Ketua DPRP segera mendesak Pembentukan Pengadilan HAM di Papua dan pelibatan Penyidik Ad Hoc," terang dia.

Komnas HAM menetapkan tragedi Paniai sebagai pelanggaran HAM berat pada 3 Februari 2020 berdasarkan keputusan sidang paripurna. Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, disimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada saat peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

Tim Komnas HAM juga menemukan adanya indikasi obstruction of juctice dalam proses penanganan usai peristiwa yang mengakibatkan kaburnya fakta dan memperlambat proses penegakan hukum.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik berharap perkara ini rampung. "Kami berharap segera ada proses sampai ke pengadilan. Harapan besar dari korban dan masyarakat Papua secara umum agar kasus ini dapat mendatangkan keadilan," kata dia, Minggu (16/2/2020).

Tragedi Paniai merupakan pelanggaran HAM berat pertama di era Presiden Jokowi, berselang dua bulan setelah ia resmi jadi presiden pada Oktober 2014.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM DI KASUS PANIAI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Nur Hidayah Perwitasari